Elegi 98

Sarwono
Chapter #1

Sepotong Kisah

"Untuk Aku, Dia, juga Kamu!"

Cerita ini fiktif. Meskipun sebagian tragedinya mungkin ada dalam sejarah, tapi tokoh dan jalan ceritanya adalah fiktif, dibuat-buat, dan tidak nyata.

-=-=-=-=-=-=-=-=-=-

Film dilayar menunjukan adegan seorang gadis SMA yang menangis kesal sambil menyatakan cinta secara membentak, sebelum kemudian gadis itu memeluk tokoh lelaki yang juga seorang anak SMA. Dan tulisan besar, "Sekian!" Segera muncul dilayar. Nama-nama dari mereka yang terlibat dalam pembuatan filmpun segera muncul pada layar hitam, bersama lampu-lampu yang kembali menyala menerangi ruang.

Duduk dikursi bagian tengah, Surya menatap bingung kekursi sebelah. Dia masih belum bisa beranjak, gadis itu mendekap lenganya dengan begitu erat, seperti ingin menjadi bagian dari tubuh fisiknya.

Surya tidak mengerti mengapa gadis itu menangis begitu sedih. Padahal menurut Surya sendiri, film yang baru mereka saksikan cenderung datar, canggung, dan tidak begitu sinkron untuk menarik keluar emosi sedih. Yang bahkan, dia samasekali tidak bersimpati pada tokoh cerita. Dan, meskipun adegan terakhirnya memang cukup menyentuh, tapi sayangnya adegan sebelum itu sangat tidak sesuai.

"Cerita yang gagal!" Pendapat Surya. Meskipun dia sendiri sadar, kalau levelnya dalam berkarya masih belum setingkat itu. Belum terealisasikan menjadi sebuah tontonan sinema. Tapi sebagai penonton, dia juga menuntut kepuasan.

"Apa Aku harus mengelus kepalanya, dan bilang, kalo itu cuma film?" Tanya Surya di-alam pikiranya, di-antara tatapan tajam para penonton lain yang berangsur menuju pintu keluar.

Itu, adalah kali pertama seorang gadis menangis mendekap dirinya. Dan, Surya tidak tau apa yang harus dilakukan. Lebih lagi, tangisan itu mungkin berlebihan, karena Nurani benar-benar sesenggukan membasahi lengan atas bajunya. Bahkan juga membuang ingus.

Dikursi sebelah, Nurani mungkin sedang berusaha membahasakan keresahan yang mengusik batinya. Tapi, memangnya siapa yang bisa menerjemahkan keresahan seseorang, ketika yang ditunjukan hanya airmata tanpa kata-kata.

Kesedihan, terlalu jamak untuk diterjemahkan dan dicari penyelesaianya, ketika sebab tidak ternyatakan.

Ruangan sudah sepi dari pengunjung lain. Para pekerja bioskop juga sudah masuk dan mulai membersihkan ruangan, saat tangisan Nurani akhirnya mereda.

Surya pun heran, saat melihat Nurani yang kaget karena tidak mendapati penonton lain selain mereka berdua diruangan itu. Padahal, sudah sejak tadi Surya memberitahukan hal itu sambil berharap Nurani segera berhenti menangis dan mau melangkah kepintu keluar. Yang sayangnya hal itu samasekali tidak berhasil, dan malah membuat Surya turut meneteskan airmata, karena tidak tahan melihat Nurani menangis sendiri. Berfikir, kalau itu mungkin adalah hal yang sangat menyedihkan untuk sosok cinta dalam hidupnya.

"Cowok, kok nangis!" Kata Nurani, memaksakan senyum dan menghapus airmata diwajah Surya.

Begitusaja Surya berusaha mematuk bibir Nurani, karena terlalu malas untuk mengungkap dan membuat alasan. Tapi, Nurani tidak akan begitusaja mau untuk menerima pencurian kesempatan semacam itu. Dengan sigap gadis itu berpaling, menghindar.

Wajah Suryapun masih tertahan di-udara, saat kemudian Nurani bangkit dan mengajak Surya untuk keluar.

Seorang pekerja bioskop yang secara diam-diam memperhatikan drama kedua orang itu, langsung terkekeh saat melihat usaha Surya yang gagal.

Nurani, bukanlah seorang gadis yang suka berdandan, dia terbiasa untuk menampilkan dirinya apa adanya, sederhana. Dan setelah menangis seperti itu pun, Nurani hanya perlu mencuci muka untuk mengembalikan kepercayaandirinya.

Gadis itu memang tidak memiliki sesuatu yang orang katakan sebagai, cantik. Surya sadar betul akan hal itu. Tapi, wajah yang sederhana dan sorot mata yang memancarkan keteduhan itu, selalu bisa membuat Surya betah untuk menatap. Meskipun, tidak jarang wajah itu berubah menjadi judes, secara seketika.

"Apa?!" Tanya Nurani, setelah tiga kali memergoki Surya menatap ke-arahnya, selagi mereka berjalan menyusuri trotoar, bersama dengan lampu-lampu jalan yang mulai menyala menyambut senja, menerangi langkah kedua orang itu.

Menggeleng, Surya menjawab, "Nggak papa?"

"Apa...? Udah, bilang!"

"Nggak papa, Nuuur!"

Dan, begitusaja Nurani duduk pada kursi halte bis yang sepi, melipat tangan didepan dada. Mogok, tidak mau jalan.

Suryapun berhenti untuk menatap gadis itu, seperti juga wanita karir yang berdiri ditepi trotoar, yang sedang menunggu bis.

"Drama senja!" Pikir wanita itu. Dan kembali melihat arloji dilenganya, untuk yang kesekian kali. Dan untuk sekali lagi menatap ke-kejauhan, tapi biskota masih juga belum muncul. 

Lihat selengkapnya