Elegi 98

Sarwono
Chapter #2

Membatu!

Ketika Surya kemudian sampai diberanda rumah Nurani. Anak itu langsung membeku didepan pintu, saat akan mengetuk.

Pada ruang tamu dibalik pintu itu, pak Busri, Ayah Nurani sedang bicara. Dan meskipun Surya sempat memikirkan kata-kata itu, tapi dia tetap merasa tidak percaya saat mendengar kalau pak Busri menerima lamaran itu, dan masih diperkuat dengan kata, "Iya, Kami terima lamaranya!" Dari Nurani.

Mendengah itu, organ dalam Surya serasa remuk, runtuh, hancur, menjadi debu-debu yang berserakan dilantai, dan lalu hilang dihembus angin malam. Hingga, kemudian yang tersisa hanya hampa, berlubang, memanjang dan melorong, kosong. Dimana, kata-kata cinta yang manis kemudian menggema membentur dinding raga yang kosong itu. Jangankan janji, kata-kata sayang dari masalalu bahkan turut kembali, turut berteriak hingga ke-ujung ubun-ubun, seperti ingin meretak'kan raga. Membuat, Surya seperti kehilangan akal, lupa tempat, lupa diri, lupa pada kehidupan.

Berdiri sediam patung batu, Surya tetap tidak bergerak, meski batinya memaksa untuk pergi. Dia tetap tidak bergerak, meski amarah ingin mendobrak, masuk dan mengamuk. Dan dia masih berdiri ditempat yang sama, ketika Santi, adik Nurani kemudian membuka pintu, terus masuk, dan menutup lagi pintu itu.

Surya, mungkin lupa bagaimana menggerakan sendi tubuhnya. Tapi, dia masih memiliki telinganya, masih mendengar canda tawa bahagia dibalik pintu. Masih mendengar, saat Santi kemudian berkata, "Kak Nur! Didepan, ada kak Surya!"

Ringan, Nurani menjawab, "Iya, percaya!"

"Serius, Kak! Kak Surya beneran didepan!"

"Suruh masuk lah, Dek!"

"Gimana mau disuruh masuk! Orang, disapa aja nggak jawab. Dia, diem kek gini nih, Kak!"

Suara tawa diruangan itupun pecah, di-ikuti dengan perintah dari Ibunda Nurani, untuk melihat kedepan.

"Pergi! Aku harus minggat!" Begitu Surya berfikir. Tapi, raganya yang kaku tidak mau bergerak, tidak mau menurut. Mungkin juga, karena dia berharap adanya kenyataan yang lain, meski sadarnya memberitakan ketidakmungkinan dari hal itu.

Nuranipun tertegun, setelah membuka pintu dan mendapati patung diri Surya berada tepat didepan pintu. Beberapa kali dia melihat kedalam, untuk melihat Santi yang sedang menghibur keluarga dan para tamu dengan menirukan patung diri Surya, yang tampak sama persis.

Nuranipun tersenyum terkekeh. Tidak paham, drama macam apa yang sedang Surya mainkan.

"Kakak, ngapain?" Tanya Nurani.

Surya tidak habis pikir. Bagaimana wanita didepanya masih bisa memasang raut wajah yang gembira seperti itu. Yang bahkan, tidak tampak sedikitpun penyesalan, atau semacam rasa bersalah saat berjumpa dengan kekasih yang dia hianati. Setidaknya, Nurani bisa sedikit berpura-pura sedih, sedikit saja. Suasana batin Surya mungkin akan sedikit berbeda jika dia melihat kesedihan, duka, airmata, atau apapun diwajah Nurani. Bukan, malah ekspresi gembira yang begitu absolut dan tidak terbantahkan. Surya benar-benar tidak tau, sesadis dan semunafik apa wanita dihadapanya itu. Dimana, semua kata cinta dan rindu yang pernah terucapkan? Dimana, semua sabar dan tunggu yang terucapkan dengan kata, pasti? Dimana ini, dimana itu, dan dimana semua hal yang telah mereka lalui selama ini? Apa benar semua itu samasekali tidak memiliki magna? Surya benar-benar tidak paham. Kecuali kenyataan, bahwa wanita dihadapanya memang mahluk sakti, yang bisa menipu dan menghipnotis dirinya dengan begitu halus, hingga dirinya begitu rela untuk terus mabuk, dan terjebak dalam candunya.

Panas dan dingin bergelut dengan begitu hebat ditubuh Surya, masing-masing berusaha untuk saling mendominasi, samasekali tidak mau akur. Pergi, mungkin memang menjadi jalan terbaik untuk Surya, sebelum kemudian tubuhnya bertindak tanpa akal sehat. Tapi, bagaimana pergi, Surya tidak tau. Selama ini, dia cenderung menjadi yang bertahan, yang mencari jalan untuk menerima kenyataan karena ditinggalkan. Yang, meskipun Surya tidak bisa terbiasa dengan hal itu, tapi dia lebih tidak terbiasa dengan, pergi dan meninggalkan. Yang, bahkan Surya tidak tau bagaimana melakukanya.

Mendapati Surya tetap diam, Nurani bertanya lagi, "Kak? Kakak nggak papa, kan?" Dan menyentuh kening Surya, "Kok panas sih, Kak? Perasaan, tadi enggak! Masuk, yuk!"

Ingin menjawab, tapi bibir Surya yang cenderung ingin memaki dan berkata-kata kasar, hanya bergetar, kebingungan. Tidak tau, bagaimana cara untuk berpura-pura baik-baiksaja.

"Udah, Kak! Udah selesai jadi patungnya. Ayok, masuk!"

Nurani, mungkin berusaha menarik tangan Surya, untuk menyeret bocah itu masuk. Tapi, sekuat tenaga Surya berusaha mempertahankandiri agar tidak tergerakkan.

Susah payah Surya berjuang untuk berkata, "Aku, ... pulang aja!"

Lihat selengkapnya