“Aku tidak sudi hidup berdampingan dengan seorang muslim!”
Kedua tangan ini mengepal kuat. Menahan marah pun sedih. Muak mendengar amukan Diego, aku memutuskan untuk melangkah pergi.
Halaman kondominium yang berbatu dan agak berlumut membuatku harus memelankan langkah. Namun, begitu sampai di anak tangga, aku buru-buru berlari.
Unitku ada di lantai tiga, tepatnya di sebelah kanan atau paling pojok. Pintu terbuka, menampilkan ruang tamu kecil yang bisa digunakan untuk bersantai. Aku berjalan melewati ruang tamu dan sebuah tembok yang menjadi pembatas, kemudian membuka pintu kamar dan masuk ke dalamnya.
Unit ini cukup luas dan cantik, nyaman untuk ditempati dalam waktu yang lama. Di dalamnya terdiri dari tiga ruangan; ruang tamu mini yang terletak di paling depan, kamar tidur terletak tepat di belakang ruang tamu—di antara dua ruang itu terdapat tembok besar yang menjadi pemisah antar ruang, lalu ada kamar mandi yang terletak di sebelah kiri kamar tidur.
Aku melepaskan hijab bergo yang semula kupakai dan melipatnya, untuk kemudian aku taruh di atas ranjang berlapis seprai merah muda yang halus.
Dengan dada yang masih bergemuruh amarah, kulangkahkan kaki menuju ke kamar mandi. Jarang sekali kurasakan amarah sebesar ini. Aku tidak tahu, bagaimana harus meredakannya? Apakah air wudu bisa menghanguskan api di hatiku ini? Mungkin bisa. Aku akan mencobanya.
Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan pantulan diriku di muka cermin. Kulit kuning langsatku memerah dengan guratan amarah tertahan yang hiasi wajah. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan pelan. Pantulanku di cermin melakukan hal serupa.
Genggaman tanganku pada gagang pintu terlepas. Aku berjalan ke sebelah kiri, tepat di mana terdapat area shower—pancuran. Di dalamnya terdapat dua pancuran; yang besar tertempel di dinding, sedangkan yang kecil ditaruh di dudukan yang juga tertempel di dinding.
Aku menarik kedua ujung lengan kaus panjangku hingga ke atas siku, lalu menggulungnya. Hal yang sama kulakukan pada kedua ujung celana panjangku—hingga ke pertengahan betis. Lalu, aku meraih pancuran yang kecil dan menyalakan air.
Di dalam kamar mandi ini hanya ada dua pancuran itu, tidak ada keran air. Karena itu, dengan terpaksa aku berwudu menggunakan pancuran yang kecil. Merepotkan sekali berwudu tanpa menggunakan keran. Air yang mengalir sering kali menciprat ke baju atau celanaku.
Ketika air menyapu wajahku, aku merasakan kesejukan yang luar biasa. Kesejukan yang menenteramkan raga dan jiwaku.
Kesejukan yang memadamkan bara di hatiku.
***
Sekarang hampir jam sepuluh malam. Aku baru selesai melaksanakan salat tarawih secara munfarid. Sebetulnya bisa saja aku pergi ke masjid, tetapi tubuhku sedang dikekang rasa lelah yang menyebalkan. Penyebabnya adalah karena aku baru tiba di daerah Albaicín ini tadi siang. Lalu, hanya ada satu masjid di sini, itu pun lokasinya agak jauh dari kondominium yang kutempati.
Jadi, yah ... aku tidak bisa ke sana, sekarang. Mungkin nanti, dua atau tiga hari lagi. Setelah lelah di tubuhku terbabat habis, juga setelah kuketahui sedikit demi sedikit lingkungan baru ini—aku akan ke sana.
Usai melipat mukena dan sajadah yang tadi kupakai, lalu menyimpannya di dalam lemari kecil, aku naik dan duduk bersandar di ranjang yang empuk ini. Kuambil ponsel yang tergeletak di atas nakas, mencari-cari grup keluarga di WhatsApp, lalu memencet ikon panggilan video.
Beberapa detik kemudian, dua orang yang bergabung dalam panggilan video grup ini menampilkan wajahnya. Mereka tersenyum.
“Assalamualaikum Abah, Kakak,” sapaku.
“Waalaikumsalam, Nak,” balas Abah—ayahku.
“Waalaikumsalam, Zara,” jawab Kak Fara—kakak perempuanku.
Saat ini, keluarga kecil kami sedang terpisah ruang dan waktu. Aku di Granada, dikungkung oleh gelapnya malam dan baru saja selesai melaksanakan salat tarawih. Sedangkan Abah berada di Bekasi dan Kak Fara di Jakarta. Namun, aku tidak tahu pasti di sana jam berapa sekarang.
“Eh? Di sana lagi sahur, ya?” tebakku saat melihat Abah dan Kak Fara sama-sama sibuk menyiapkan makanan.
“Iya, Nak. Di tempatmu jam berapa, ini?” tanya Abah.
“Di sini udah mau jam sepuluh malam, Bah. Tadi Zara baru aja selesai salat tarawih.”
“Loh, di sana tarawihnya jam segitu?” Kak Fara tampak terkejut.
“Iya, Kak. Di sini buka puasa jam setengah delapan, terus waktu tarawih jam sembilan kurang.”
“Malem banget, ya?” kata Abah, membuatku tersenyum saja. “Oh iya, gimana perjalanan kamu? Lancar?”
“Alhamdulillah lancar, Bah, tapi ...,” ucapku menggantung. Aku agak ragu untuk bercerita lebih lanjut.
“Tapi kenapa?” tanya Abah dan Kak Fara berbarengan.
“Pas aku sampe di bandara dan lagi cari-cari taksi, aku ngerasa kayak dicuekin gitu sama taksi-taksi yang lewat. Awalnya aku kira karena saat itu cuma aku yang pake hijab di sana, jadi mereka takut sama aku, tapi ternyata aku salah paham.” Aku terdiam sebentar.
Melihat Abah dan Kak Fara masih fokus makan sambil sesekali melihat ke arahku, aku pun melanjutkan, “Ternyata mereka cuekin aku karena gak ngerti aku ngomong apa. Soalnya kata nenek pemilik sewa, di sini tuh jarang ada orang yang bisa berbahasa Inggris.”
“Terus kamu naik apa, dong, ke rumah sewanya? Kata kamu kemarin, ‘kan, jarak dari bandara ke rumah sewa lumayan jauh.” Kak Fara menunjukkan kekhawatirannya.
“Aku tetep naik taksi kok, Kak, tapi emang agak lama dapetnya. Sopir taksi yang akhirnya aku dapetin bisa bahasa Inggris, tapi aku harus setaksi sama penunpang lain.”
Abah bertanya, “Kok bisa?”
“Soalnya emang susah banget dapet taksi yang sesuai, Bah. Taksi yang sopirnya bisa berbahasa Inggris cuma sedikit, sedangkan peminatnya banyak.”
“Lalu bagaimana dengan rumah sewamu? Nyaman gak, di sana?” tanya Abah lagi.
“Sebenernya tempat ini enak sih, nyaman, tapi ....” Ucapanku terhenti. Aku tak bisa menahan isak tangisku. Tangisan marah.
Kulihat Abah dan Kak Fara sama-sama menghentikan aktivitas makan mereka. Air muka keduanya tampak bingung sekaligus kaget.
Abah lebih dulu buka suara, “Ada apa, Zara?”
“Kamu abis diapain? Ada yang jahat sama kamu?” Aku mengangguk, mengiyakan pertanyaan Kak Fara.
Kemudian, kuceritakan semua yang kualami beberapa jam yang lalu. Tentang Diego yang langsung menatapku sinis begitu tiba di kediaman Abuela, lalu ucapan-ucapannya yang menyakitkan, juga perkataan terakhirnya yang menyatakan bahwa ia tidak sudi hidup berdampingan dengan seorang muslim. Namun, selain itu, aku juga menceritakan perlakuan baik neneknya Diego kepadaku—untuk membuat mereka tidak terlalu cemas.
“Zara, kamu harus kuat, harus sabar. Di luaran sana emang ada banyak orang yang benci sama agama kita,” kata Abah, berusaha menguatkanku, “Tapi Abah yakin, kamu pasti bisa menghadapi orang-orang itu. Kamu wanita yang cerdas. Kalau ada orang resek yang ngatain kamu atau agamamu dengan aneh-aneh lagi, balas aja ucapannya. Balas dengan argumen yang baik, manfaatkanlah kecerdasan otakmu sebagai wanita muslim.”
“Kamu itu pemberani dan tegas, Zara. Seenggaknya sifat-sifat itulah yang Kakak kenal dari kamu.” Kak Fara turut bicara. “Kamu boleh kesel dan sedih, boleh juga ngeluh atau nangis, tapi ... kamu gak boleh nyerah! Kalo kamu keliatan lemah, nanti orang yang jahat sama kamu bakal senang. Ini bukan soal menang atau kalah, tapi tentang memberikan pelajaran. Dia harus tahu, bahwa kamu bukan muslimah yang lemah. Agar nanti, dia gak akan bisa mengejekmu lagi.
“Dan agar suatu hari nanti, dia gak akan bisa memperlakukan muslim dengan buruk lagi.”
***
Aku mengunci pintu unit kondominiumku, lalu memasukkan kunci itu ke dalam tas selempang yang kusampirkan di bahu. Sejurus kemudian, kulangkahkan kedua kakiku menyusuri koridor.
Koridor ini tidak terlalu panjang, sebab memang hanya ada satu unit yang harus kulewati. Ya, hanya ada dua unit di setiap lantai, dan kondominium ini terdiri dari tiga lantai—yang disewakan. Lantai dua dan tiga berisikan masing-masing dua unit tempat sewa, sedangkan lantai satu hanya berisikan gudang yang cukup besar.
Ujung koridor ini adalah pintu menuju dapur dan ruang makan untuk para penyewa. Selain itu, di dalam sana juga terdapat tangga yang menuju ke lantai empat; lantai yang di dalamnya hanya terdapat ruang untuk berkumpul—yang digabung dengan meja kerja untuk umum—dan sebuah balkon tepat di seberangnya. Di bawahnya merupakan lantai satu dan dua yang dijadikan satu ruangan; menghadap ke luar kondominium dan menjadi tempat parkir juga tempat penyewaan sepeda untuk tamu-tamu.
Oh, iya ... sebetulnya aku belum menelusuri seluruh bagian kondominium ini, tetapi aku dapat mengetahuinya karena sempat melihat-lihat kondisi kondominium ini—di aplikasi yang kugunakan untuk memesannya—secara terperinci.
Aku berbelok ke kiri. Dalam posisi ini, kondominium yang aku sewa jadi tampak seperti huruf “U” bentuknya. Di sebelah kananku berdiri tegak unit yang ditinggali oleh Abuela dan Diego. Sementara itu, di tengah-tengah kondominium adalah sebuah halaman berbatu—yang sudah mulai dipenuhi lumut; di atasnya terdapat air mancur dan beberapa pohon kecil.
Aku menuruni anak tangga yang dilapisi keramik berwarna oranye kecokelatan. Pembatas di sisi kanan dan kirinya berwarna hitam, sama seperti warna pagar yang membatasi bagian kiri koridor lantai dua dan tiga. Warna gelap pagar dan cerahnya warna anak tangga begitu kontras dengan dinding kondominium yang bercat putih.