Elegi Asa di Langit Granada

Halifa Zari
Chapter #3

Zara; Agama Kuno

Ini perjalanan terjauh yang pernah saya tempuh, rasanya seperti sedang mengunjungi ujung dunia. Menghabiskan waktu lebih dari 23 jam di udara, membuat tubuh saya pegal-pegal luar biasa.

Sayangnya, begitu tiba di Bandara Federico Garcia Lorca, saya malah menerima “sambutan” yang menyebalkan. Saya kesulitan mencari taksi. Butuh sekitar 15 menit sampai akhirnya saya bisa mendapatkan taksi. Akan tetapi, saya sudah tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Sebab setelahnya, mata saya dimanjakan oleh pemandangan indah yang saya lihat selama perjalanan menuju penginapan.


Dan menurut pencarian yang telah saya lakukan, dikatakan bahwa perjalanan ini akan membawa saya melewati Universitas Granada, lebih tepatnya melewati fakultas sains universitas tersebut. Tertulis bahwa fakultas itu ada di dekat Avenida de Fuente Nueva. Saya yang begitu penasaran akan penampakan universitas di Granada ini, pun, bersiap-siap untuk memandanginya dengan penuh perhatian.


Namun, saat taksi melaju santai di pertengahan jalan Avenida de Fuente Nueva, yang bisa saya lihat hanyalah hamparan taman luas dengan beragam jenis pohon yang menghiasinya. Pohon-pohon itu begitu banyak, berdempetan, dan lebat, sehingga mata saya tidak bisa menangkap apa yang ada di baliknya.


Aduh ... mengecewakan sekali! Padahal saya sangat ingin melihatnya! Masalahnya adalah, saya ingin melihat langsung bangunan universitasnya, bukan hanya lewat gambar.


Mengapa saya tidak langsung saja mengunjungi Universitas Granada? Mengapa malah mengandalkan perjalanan ini untuk melihat sekelebat penampakan universitasnya? Alasannya adalah karena saya ragu, apakah universitas itu boleh dikunjungi oleh turis atau tidak.


Yah, sudahlah, akhirnya saya melalui perjalanan itu sambil menenteng dua plastik kekecewaan.


Saya tiba di penginapan pada pukul 13.10. Penginapan saya ini berupa kondominium yang tidak terlalu besar, sehingga hanya mampu menampung 4-8 orang. Namun, bagi saya itu adalah hal yang bagus, sebab saya tidak suka tempat yang terlalu ramai.


Saya disambut dengan ramah oleh pemilik kondominium yang saya sewa, seorang nenek yang usianya mungkin sudah lebih dari 70 tahun. Saya memanggilnya “Abuela”, yang berarti “Nenek”.


Begitu memasuki unit yang saya sewa, saya takjub akan kenyamanan yang disuguhkan oleh bangunan ini. Saya tidak menyesal sudah menyewanya hingga 90 hari ke depan. Yah, walaupun di dalam kamarnya tidak ada guling—benda kedua yang saya cintai setelah novel, tetapi saya senang sudah memilih penginapan yang tepat.


Awalnya saya pikir begitu. Saya pikir, saya sudah memilih penginapan yang tepat, tapi ternyata saya salah ....



Aku menuliskan pengalaman paling buruk yang aku alami di Granada. Pengalaman apa lagi? Tentu saja pengalaman menerima perlakuan islamofobia dari Diego!

Akan tetapi, aku tidak terlalu frontal saat menceritakan pengalaman yang satu itu di dalam blog-ku. Aku takut kalau blog yang aku tulis sampai ke depan mata Diego suatu hari nanti. Bisa-bisa aku dituntut telah mencemarkan nama baiknya.

Seram. Jangan sampai itu terjadi.

Memang sih, sejak awal yang salah itu Diego, karena dia telah membuat tamu neneknya sendiri merasa tidak nyaman—dengan terang-terangan menunjukkan kebenciannya pada orang dari agama lain, tapi tetap saja ... bagaimanapun sekarang aku sedang berada di negeri orang. Walau Diego yang salah, sebagai “pengunjung”, akulah yang harus mengalah.

Namun, boleh saja ‘kan kalau aku ingin menceritakan pengalamanku ini di blog yang aku punya? Apalagi pengalaman yang aku ceritakan ini memang ada hubungannya dengan topik yang sedang aku tulis di dalam blog-ku.

Aku sudah lama berkecimpung di dalam dunia blog ini, lebih tepatnya sudah sejak tahun pertama perkuliahan—hampir tujuh tahun yang lalu. Blog pribadiku ini isinya seputar pengalaman hidup dan opini mengenai suatu topik. Dan setiap tiga bulan sekali, aku menyuguhkan topik baru. Topik itu aku tampilkan bersama pengalaman yang aku alami selama tiga bulan, juga opini yang aku punya terhadap topik tersebut.

Pada pertengahan Januari kemarin, aku baru saja mengakhiri perjalanan dari Aceh untuk sebuah topik mengenai hukum-hukum Islam yang diterapkan di sana. Aku mencari tahu, hukum-hukum Islam apa saja yang diterapkan, bagaimana cara penerapannya, bagaimana efeknya terhadap perilaku masyarakatnya, dan lain sebagainya.

Lalu selama sebulan penuh aku mengambil waktu beristirahat di rumah, mempersiapkan diri untuk topik lain di tempat yang jauh sekali dari tempatku tinggal. Biasanya aku hanya mengunjungi daerah-daerah di dalam negeri, tapi kali ini kuputuskan untuk menjelajah ke luar negeri.

Jadilah aku pergi ke Granada, Spanyol, sambil membawa topik baru. Topik mengenai pengalamanku sebagai turis muslim di negara yang muslimnya menjadi minoritas. Dan menurutku, Granada adalah tempat yang tepat untuk aku pilih. Karena di sini tersimpan sejarah Islam.

Pengalaman sebagai turis muslim, di daerah yang muslimnya minoritas—tapi menyimpan sejarah Islam. Aku sudah membayangkan betapa luar biasanya pengalaman yang akan aku dapat, bahkan sejak jauh-jauh hari sebelum keberangkatan.

Dan benar saja, baru memasuki hari kedua, aku sudah mendapatkan pengalaman yang luar biasa. Baik pengalaman yang positif maupun yang negatif.

Aku bermonolog pelan, “Semoga besok tidak terjadi hal yang aneh-aneh.”

Karena aku tidak mau blog pribadiku dipenuhi pengalaman-pengalaman yang negatif. Bagiku, itu menyebalkan.

***

Hari ini tanggal 17 Maret 2024, memasuki hari ketigaku di Granada.

Pada pukul 07.30 yang cerah ini, aku duduk-duduk di balkon lantai empat; menulis blog di laptop sambil menikmati pemandangan Albaicín di pagi hari. Untung saja aku datang ke Spanyol saat musim semi, karena memang, musim semi adalah musim terbaik untuk mengunjungi Spanyol!

Matahari baru saja terbit sekitar sembilan menit yang lalu. Jadi, meskipun cerah, tetapi angin yang bertiup cukup membuatku kedinginan.

Aku menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Kursi ini terbuat dari rotan, tetapi dudukan dan sandarannya dilapisi semacam bantal yang sarungnya berwarna putih-hijau. Aku menarik kedua tanganku dari pegangan kursi, lalu menggosokkan kedua telapaknya.

Kemudian, aku memeluk diriku sendiri, merasakan hangatnya sweter hitam yang sedang aku kenakan.

Memang bodoh, harusnya tidak sepagi ini aku keluar dari kamar—aku menduduki kursi di balkon ini sudah sejak setengah jam yang lalu. Niat hati ingin menulis sambil menghirup segarnya udara pagi, eh malah diserang semburan angin dingin!

Habisnya mau bagaimana lagi? Aku sangat ingin menulis, tapi pegal sekali rasanya menulis di dalam kamar. Soalnya di kamar tidak ada bangku dan kursi yang bisa dipakai untuk bekerja—selain untuk bersantai—seperti ini; biasanya aku menulis menggunakan ponsel sambil rebahan atau duduk bersandar di ranjang.

Namun, kali ini aku ingin menulis menggunakan laptop, agar lebih rapi dan fokus. Dan tentunya, akan sulit menulis menggunakan laptop bila tidak ada meja untuk menyangganya.

“Udah ah, ayo lanjut nulis lagi!”

Lihat selengkapnya