Elegi Asa di Langit Granada

Halifa Zari
Chapter #4

Zara; Teman Baru

Bunyi alunan lagu pop memekakkan kedua telingaku.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk fokus pada bacaan salatku, tapi tetap saja, rasanya sulit sekali. Dalam sujud kedua pada rakaat ketiga, aku memperpanjang waktu menempelkan kening dan hidung di atas sajadah. Berkali-kali kubisikkan permohonan ampun kepada Allah, karena salatku kali ini benar-benar tidak khusyuk.

Usai menyelesaikan salat magrib, aku tidak langsung melepas mukena yang aku pakai. Aku hanya melipat sajadah dan menaruhnya di atas ranjang, lalu buru-buru berjalan menuju ruang tamu mini di unitku.

Suara alunan musik pop masih terdengar jelas, pun gelak tawa masih membahana; menusuk-nusuk telinga.

Aneh. Selama enam hari tinggal di kondominium ini, sepertinya baru kali ini kudengar suara bising yang cukup parah. Biasanya di sini cukup sepi, baik karena jumlah penghuninya yang tidak banyak maupun karena keberadaan mereka yang terkadang ada dan terkadang tidak ada.

Apalagi sekarang baru akan memasuki pukul delapan malam, masih waktu yang cocok digunakan untuk jalan-jalan mengelilingi Albaicín. Dan seingatku, tetanggaku yang sesama penyewa baru akan kembali ke unitnya saat nyaris tengah malam. Mereka benar-benar memanfaatkan waktu berlibur dengan baik.

Aku? Aku juga, kok. Akan tetapi, aku ‘kan ke sini bukan untuk bertamasya. Aku ke sini untuk menulis! Menulis puisi dan blog pribadi.

Apakah aku tidak berkeliling? Aku melakukannya, kok, tetapi jarang dan masih yang dekat-dekat saja. Soalnya aku sedang punya banyak ide untuk menulis, jadi aku memilih untuk fokus dulu pada tulisanku. Selain itu, aku juga sedang berusaha menyesuaikan jadwal mengunggah tulisanku dengan jadwalku selama di sini.

Satu lagi. Alasanku tidak menggebu-gebu pergi ke sana dan kemari juga karena aku akan tinggal di sini selama tiga bulan. Sembilan puluh hari!

Yah, walaupun sekarang tersisa delapan puluh empat hari, tetapi tetap masih banyak, ‘kan? Jadi, tenang saja!

Waktuku masih panjang.

Aku mendekati jendela, menyibak sedikit gorden berwarna krim yang terjuntai menutupi pemandangan dari luar. Tatapanku langsung jatuh pada jendela di lantai tiga yang ada di rumah Abuela. Jendela itu terbuka lebar, menampilkan isi di dalamnya dengan lumayan jelas.

Di atas tempat tidur berseprai putih dengan corak geometri biru-ungu, duduk tiga anak manusia. Salah seorang adalah pria berkulit putih pucat yang rambutnya sewarna dengan kopi. Dari jarak yang cukup jauh ini, aku dapat melihat matanya yang biru terang berseri-seri. Keceriaan itu tampak kontras dengan rahangnya yang tegas—yang seolah memberi kesan galak.

Salah seorangnya lagi adalah wanita berkulit kecokelatan yang rambut dan matanya berwarna cokelat gelap. Cahaya dari lampu yang menggantung tepat di atas ranjang itu, membuatku dapat menangkap jelas fitur-fitur di wajahnya. Mata besar, hidung mancung, bibir tebal, dan pipi tirus yang ia miliki benar-benar membuatnya jadi tampak begitu cantik.

Lalu, salah seorang yang tersisa tentu saja Diego. Aku tidak ingin mendeskripsikan penampilannya. Malas.

Aku masih kesal padanya lantaran kejadian tiga hari yang lalu. Kesal sekaligus takut.

Ketiga orang itu tampaknya adalah sekumpulan sahabat. Kini, mereka sedang mengobrol dan tertawa dengan riang. Kesenangan mereka itu diiringi dengan alunan musik pop yang disetel begitu kencang; suara bising yang muncul dari pengeras suara yang bertengger di atas nakas sebelah ranjang.

“Loh, eh, bentar! Aku baru sadar ... ternyata kamarku dan kamar Diego hadap-hadapan, ya? Idihhh! Males banget, deh!” Aku berdecak kesal.

Masih kutatap pemandangan di dalam kamar Diego. Rasa kesal karena menyadari bahwa kamar kami saling berhadapan, bercampur dengan rasa kesal karena suara mereka makin terdengar berisik. Namun, aku bisa apa? Aku hanya seorang penyewa salah satu unit kondominium ini, sedangkan Diego adalah cucu dari sang pemilik kondominium.

Tiba-tiba saja kulihat Diego menengok ke arahku, dilemparkannya tatapan yang menusuk tajam bak anak panah. Sepertinya dia menyadari ketidaknyamananku, tetapi memilih untuk tidak peduli. Sebab sejurus kemudian, dia malah menaikkan volume suara lagu yang sedang diputar.

Aku menggerutu sebal, “Dasar resek!” lalu menutup gorden dengan kasar.

***


“Kepalaku kopong.

Isinya entah di mana.

Mungkin ada di dalam laci,

Mungkin pula di sebalik lembaran buku,

Atau terinjak kaki kursi.”


Sepertinya aku mulai kehabisan ide untuk menulis puisi. Namun, fenomena kehabisan ide ini tetap bisa memberiku ide. Puisi tadi buktinya.

Jadi, sebenarnya aku ini sedang kehabisan ide atau tidak?

Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak. Namun, kurasa aku memang mulai kehabisan ide. Karena biasanya setiap hari aku bisa menulis—entah blog ataupun puisi, atau sekadar mendapat ide, tetapi hari ini aku merasa sulit berpikir. Aku merasa pikiranku kurang segar, ideku pun kurang menarik. Aneh. Padahal sampai kemarin, aku bisa menulis dengan lancar.

Apakah ini artinya aku harus mulai berkeliling lebih jauh, untuk menjemput ide-ide?

“Tapi enaknya ke mana, ya?” batinku bertanya-tanya. “Hmm ....” Aku menyandarkan punggung pada sandaran sofa koral yang sedang kududuki. Lalu, aku menaruh ponselku di sebelah kiri—masih di atas sofa—dan mengambil salah satu bantal untuk dibawa ke pelukan.

Telapak tanganku meraba halusnya sarung bantal yang bergaris-garis putih-oranye ini. Kuangkat kedua kakiku ke atas, menjadikanku duduk bersila di atas empuknya sofa. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, melihat-lihat benda-benda di sekitarku.

Tepat di depan sofa yang kududuki adalah meja kayu berwarna cokelat muda-kekuningan, di atas permukaan segi empatnya berdiri tegak sebuah pot alumunium—yang di dalamnya terdapat kumpulan bunga putih. Terhampar di lantai sebuah karpet krim dengan corak hijau muda, sebagian tubuh menawan karpet itu terinjak kaki meja.

Di ruang berkumpul ini ada banyak tanaman, kira-kira ada sepuluh pot. Selain itu, ada banyak lukisan juga di sini—baik yang ditempel di dinding ataupun sekadar berdiri di atas meja dan lantai sambil bersandar pada dinding putih.

Terdapat tiga jendela besar yang terpasang pada dinding sebelah kiriku. Lalu, ada dua jendela besar lagi di dinding depan sana yang mengapit pintu kaca berbingkai kayu. Di sebelah kiri pintu ada meja kerja—sepaket dengan kursi yang bisa berputar—dan di sebelah kanannya ada tangga menurun menuju lantai tiga.

Dari tempatku duduk, semuanya bisa terlihat dengan sudut pandang yang pas. Dinding putih menjalar di sisi kiri dan kanan mata, ubin cokelat di bawah sana, atap kayu cokelat tua di sisi atas kepala, dan terakhir balkon lantai empat yang tampil tepat di depan mata.

Matahari pagi menampar wajahku, mataku agak menyipit saat memandanginya.

Cerah.

Aneh, mengapa cuacanya cerah melulu, ya? Padahal dari informasi yang sempat kubaca, katanya akan turun hujan selama beberapa hari pada musim semi di negeri Spanyol ini.

Tidak, tidak. Bukannya aku tidak senang dengan cuaca yang cerah ini, hanya saja aku sedikit bingung dengan ketidaktepatan informasi tersebut. Selain itu, aku sudah menyiapkan pakaian yang cocok untuk menghadapi curah hujan, dan pakaian-pakaian itu agaknya kurang cocok bila dipakai saat cuaca sedang cerah begini. Aku takut persediaan pakaian “untuk cuaca cerah”-ku kurang.

Oh, iya! Kalau kurang, ‘kan, tinggal beli saja nanti!

“Aduh, Zara, Zara ... gimana sih, kamu!”

Sepertinya saat berkeliling nanti, aku akan membeli barang yang cukup banyak. Duh ... rasa-rasanya ingin kudatangi semua toko yang ada di Granada ini!

“Hei ...!” Aku tersentak mendengar seruan itu. Saat menoleh ke arah kanan, tampak seorang wanita berdiri di dekat tangga. Sejak kapan dia ada di sana?

“Eh, aku bikin kamu kaget, ya? Maaf,” lanjutnya sambil tersenyum meringis. Mungkin dia merasa tak enak hati.

“Tidak, kok. Santai saja,” balasku. Yang salah adalah aku. “Ngapain coba bengong di sofa?”

“Kamu juga santai aja, ngomongnya ... gak usah formal-formal, lah. Lagian kayaknya umur kita gak begitu jauh, deh.” Wanita itu berbicara sambil berjalan mendekat, ia pun duduk di sofa berwarna koral ini bersamaku.

Jarak kami yang hanya tiga jengkal ini membuatku bisa menghirup aroma parfumnya yang segar. Sepertinya ia menyemprotkan parfum beraroma buah-buahan ke pakaiannya, tetapi aku tidak tahu tepatnya ini aroma buah apa.

Aku mengenali wanita yang duduk di sebelah kananku ini. Dia adalah wanita berkulit kecokelatan yang kulihat berada di kamar Diego bersama salah seorang pria lainnya.

Aku tersenyum. “Soalnya kita baru bertemu, aku gak enak kalo ngomongnya terlalu santai.”

“Pokoknya kalo sama aku, kamu santai aja. Soalnya aku gak suka kalo terlalu kaku.” Wah, dia orangnya santai sekali, padahal rupanya seperti wanita anggun yang tegas dan agak kaku. Aku tidak tahu mengapa dia terlihat seperti itu.

Apa karena fitur wajahnya yang tampak dewasa sekali, ya?

“Eh, kita belum kenalan.” Wanita itu mengulurkan tangan kanannya. “Aku Maria Lopez. Panggil Maria aja,” ucapnya sambil tersenyum lebar. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, sampai-sampai aku bisa melihat deretan giginya yang putih, bersih, dan rapi. Sedangkan netra cokelat gelapnya memandangku berseri-seri, hingga aku merasa bahwa ada sekelompok bintang yang tertabur di sana.

Aku menyambut tangan itu dan menjabatnya singkat sambil menjawab, “Panggil aku Zara aja.”

“Apa nama panjangmu?”

“Zara Medina Yasma.”

“Eh, apa gak masalah kalo nama belakangmu kamu sebut begitu?”

Lihat selengkapnya