Elegi Asa di Langit Granada

Halifa Zari
Chapter #5

Zara; Pertengkaran di Puerta de Elvira

Dua hari setelah obrolan kami di ruang berkumpul lantai tiga, kami memutuskan akan jalan-jalan bersama mengelilingi Albaicín. Sebetulnya, ini tidak terlalu bisa disebut sebagai keputusan, sih. Karena kami tidak duduk bersama, berbincang-bincang, lalu berakhir membuat keputusan—sebelumnya. Melainkan, Maria datang kepadaku pada kemarin sore dan tiba-tiba mengatakan bahwa besok, kami akan jalan-jalan bersama berkeliling Albaicín.

Karena itu, sekarang, di sinilah aku; mematut diri di depan cermin panjang yang menempel pada lemari kayu di kamarku. Aku melihat pantulan diriku di cermin itu dari atas ke bawah berulang kali.

“Kayaknya yang ini pas, deh,” monologku memutuskan.

Maria bilang, kami akan memulai sesi jalan-jalan pertama kami ini dari yang terdekat dulu, jadi masih di sekitar kompleks kondominium ini. Mungkin terdengar aneh karena kesannya kami jalan-jalan hanya di situ-situ saja, tetapi hei, percayalah ... kompleks kota tua ini sangat padat! Jadi, banyak tempat wisata yang lokasinya saling berseberangan atau bahkan berdempetan.

Lalu, karena kegiatan jalan-jalan ini akan dimulai pada pukul 17.00 dan akan berakhir saat hari mulai malam, aku pun memutuskan untuk memakai pakaian yang agak tebal. Sebab aku khawatir tiupan angin malam akan membuatku sakit.

Dan akan sangat merepotkan, bila aku jatuh sakit saat sedang berada di negeri orang.

Aku berjalan ke arah yang berlawanan dari lemari kayu, melewati ranjang, dan mendekat ke lemari kayu pendek yang terletak di sebelah ranjang. Saat aku membungkukkan sedikit punggungku untuk mengambil produk kosmetik yang terletak di atas lemari ini, bagian kanan wajahku dihantam sinar matahari yang mendobrak jendela kamar.

Aku melihat ke arah jendela. Berpikir sejenak.

Sekitar dua setengah jam lagi waktu magrib akan tiba, sedangkan pada saat itu, aku pasti masih berkeliaran di luar kondominium. Jadi, sepertinya akan lebih baik bila kututup sekarang saja gordennya.

Usai menarik gorden hingga menutupi seluruh muka jendela dan mengambil produk kosmetik yang kuperlukan, aku kembali berjalan ke arah lemari kayu yang terletak tepat di depan dan di hadapan ranjangku itu. Lemari kayu ini sangat tinggi, benar-benar tinggi sekali! Bagian atasnya bahkan hampir menabrak atap kamar yang juga terbuat dari kayu. Selain tinggi, lemari kayu ini juga besar dan lebar. Bahkan, sepertinya ini adalah lemari kayu paling besar yang pernah aku lihat.

Aku menaruh lipbalm dan liptint-ku di atas ranjang terlebih dulu, lalu mendekat ke cermin untuk menari-narikan kuas maskara di bulu mataku. Setelah selesai, secara bergantian aku mengoleskan lipbalm dan liptint ke bibir tipisku. Kali ini, aku memakai liptint yang berwarna merah muda keunguan; sengaja agar cocok dengan kardigan dan kerudung segi empatku yang berwarna ungu.

Aku sengaja tidak memakai riasan yang terlalu banyak dan tebal, sebab riasanku ini pastilah hanya akan bertahan dalam dua setengah jam ke depan—mengingat bahwa aku harus menghapusnya saat akan berwudu untuk salat magrib nanti.

Kudengar pintu unitku diketuk bersamaan dengan teralunnya suara ceria seorang wanita. “Zara! Zara! Kamu udah siap?”

“Iya, udah. Tunggu sebentar, Maria!” teriakku dari dalam kamar. Usai menyampirkan tas selempang ke bahu kanan, aku berlari kecil ke arah pintu.

Pintu terbuka, menampilkan Maria yang kini tersenyum lebar kepadaku. Ia tampak begitu cantik dalam balutan gaun putih tipe square neckline bertabur motif bunga-bunga biru. Gaun itu menjuntai hingga ke mata kaki. Saat pandanganku mengarah ke ujung gaun, terlihat pula sepasang selop biru membungkus kedua kakinya.

“Ayo, ayo! Aku udah gak sabar, nih!” Maria mengayun-ayunkan tas jinjing putihnya.

Wah, dia lebih bersemangat dibanding aku!

Aku memasukkan kedua kaki ke dalam sepatu unguku sambil tertawa. “Iya, iya ... ayo!”

Usai mengunci pintu unitku, aku mengikuti langkah Maria menelusuri koridor kondominium. Saat kami sedang menuruni anak tangga, Maria berkata kepadaku, “Kita ke rumah Abue dulu sebentar, ya!”

“Oke.” Hanya itu balasanku.

“Aku gak mau ikut, Abue! Jangan paksa aku kayak gini, dong!” Ucapan bernada kekesalan itu kudengar saat aku dan Maria mencapai pintu kediaman Abuela.

Begitu memasuki rumah berlantai tiga itu, kudapati Abuela sedang bersedekap sambil duduk di atas sofa. Bibirnya yang cemberut membuat kerutan-kerutan di wajahnya terlihat semakin jelas. “Kamu tuh jangan kayak anak kecil!” omelnya.

Di sudut ruangan dekat anak tangga, Diego juga tampak cemberut. Bibirnya manyun semanyun-manyunnya. Dia jadi tampak seperti anak lelaki berusia 7 tahun, bukan pria dewasa yang nyaris mencapai 27 tahun—aku ingat pernah melihat tanggal lahirnya yang tertulis di sudut foto yang pernah kulihat di ruang makan. Sungguh menggelikan.

“Abue juga,” balasnya dengan songong.

Aku, Maria, dan Samuel terdiam mematung di tempat kami berdiri masing-masing. Bergantian memandang ke arah Abue dan Diego, menyaksikan tingkah dua manusia yang terpaut usia begitu jauh, tetapi sama-sama bertingkah seperti bocah.

Melihat sang nenek yang tampak sangat ngambek, Diego pun menghela napas panjang. “Ya udah deh, aku ikut,” katanya sambil masih cemberut.

Abuela berhenti mengerucutkan bibir dan menggantikannya dengan senyum senang. “Nah, gitu dong!” serunya girang. “Sudah sana, kamu siap-siap dulu! Kasihan tuh, ketiga temanmu sudah menunggu sejak tadi.”

“Temanku hanya dua!” balas Diego sambil melengos pergi menaiki tangga.

Tentu saja akulah yang tidak dianggap sebagai teman itu.

“Tapi bodo amat juga, sih! Aku juga ogah temenan sama dia.”

“Sini, sini, duduk dulu!” Aku dan Maria menyambut ajakan Abuela untuk duduk di sofa bersamanya. Samuel yang semula menyedekapkan tangan sambil bersandar di tembok, pun, kini ikut menduduki sofa.

“Diegooo! Jangan lupa bawa kamera, ya!” teriak Abuela.

Diego membalas dengan teriakan juga, “Iyaaa!”

“Kita mau ke mana dulu, Abue?” Akhirnya aku buka suara.

“Ke Puerta de Elvira dulu, ya.”

“Di mana itu? Apakah dekat dari sini?”

“Iya, dekat kok, cuma satu menit dari sini.”

“Oohh.”

Suara hentakan kaki menginterupsi kami. Diego muncul dari jalinan tangga dengan hoodie hijau dan celana hitamnya. Di leher putih pucatnya tergantung sebuah kamera, sedangkan tangan kirinya menjinjing sepasang sandal hitam.

Setelah memastikan semuanya sudah siap, kami keluar dari rumah. Kami semua—kecuali Diego, langsung berjalan keluar dari area kondominium, sedangkan pria itu mengunci pintu di belakang sana.

Kami menapaki jalanan berbatu dengan langkah hati-hati, takut tergelincir akibat lumut yang menyelimuti batu-batu ini. Begitu menemui pertigaan, kami berbelok ke kanan, memasuki calle Elvira yang juga berbatu.

Di depan sana, Maria berjalan dengan riang, tangan kanannya menggandeng tangan kiri Abue. Sementara itu, di sebelah kiri Maria, Samuel berjalan dengan santai. Terkadang kulihat Maria dan Abue berbincang-bincang hangat, terkadang pula kulihat Maria dan Samuel saling melempar canda.

Lalu, kudengar Samuel berkata, “Kamu kok pake bajunya pendek gitu, sih?”

“Ih, pendek apanya?” Maria mengibas-ngibaskan rok gaunnya. “Panjang gini, kok!”

“Atasnya, Maria. Lenganmu itu, loh—”

“—Kenapa lenganku?!” potong Maria tanpa membiarkan Samuel menyelesaikan ucapannya. “Jangan atur-atur pakaianku, ya! Walaupun kita udah sahabatan lama, tapi aku gak mau ya kamu atur-atur gitu. Pokoknya gak mau!”

“Dengerin aku ngomong dulu, dong.” Samuel mencolek pipi Maria. Iya, betul sekali. Aku masih memperhatikan mereka.

“Kita tuh bakal jalan-jalan sampe malem, loh. Kalo pake gaun lengan pendek kayak gitu, nanti kamu kedinginan, terus sakit, terus—”

Dengan secepat kilat, Maria melepas genggaman tangannya pada Abue dan beralih membekap mulut Samuel. “—Ssstt! Berisik, ah!”

Samuel melepaskan bekapan tangan Maria dari mulutnya, lalu menggenggam tangan cantik itu. “Kamu itu, ya, kalo dibilangin ....”

“Gara-gara kau.”

“Hah?” Suara yang kudengar tadi membuatku menoleh ke kanan—berhenti memperhatikan Maria dan Samuel, ternyata Diego berjalan di sampingku. Sudah berapa lama dia berada di sana?

Diego menatapku tanpa emosi. Tatapannya tak kalah dingin dari puncak pegunungan Sierra Nevada. “Gara-gara kau, aku jadi dipaksa ikut,” ucapnya setengah berbisik. Sepertinya dia takut ucapannya itu akan terdengar oleh Abue, yang berakhir malah akan membuatnya diomeli habis-habisan oleh sang nenek.

“Apa, sih? Kok jadi aku?”

“Mereka semua setuju untuk melakukan kegiatan jalan-jalan ini hanya untuk menemanimu. Untuk kau, Zara. Jadi, gara-gara kaulah aku dipaksa oleh Abue. Dasar licik.”

“Licik apa, sih? Aku bahkan gak melakukan apa-apa.”

Diego mendengkus. Ia membuang pandangan dariku. “Pokoknya gara-gara kau.”

Lihat selengkapnya