Elegi Asa di Langit Granada

Halifa Zari
Chapter #6

Zara; Lampu Gantung

Langit semakin menggelap. Semburat keunguan mengejar matahari yang sedang menenggelamkan diri, berusaha kabur dan bersembunyi hingga esok hari tiba. Tak lama lagi malam akan datang. Ketika kutengok jam tanganku, jarumnya sedang menunjuk pada angka tujuh. Kira-kira setengah jam lagi adalah waktunya berbuka puasa.

Sepertinya Abue memahami apa yang sedang aku pikirkan, makanya beliau berkata, “Malam ini kita makan di Pizza Shawarma Pakistani, ya!”

“Kok di sana sih, Abue?” protes seseorang.

Tentu saja Diego.

“Kenapa gak di Focacceria Siciliana aja? Aku pengen makan piza di sana,” lanjutnya.

“Di Pizza Shawarma ‘kan juga ada piza,” jawab Abue dengan lembut.

“Tapi aku lebih suka piza yang di Focacceria Siciliana.” Diego berusaha mempertahankan pendapatnya.

Ya ampun .... Hari sudah semakin gelap, dan kami malah sibuk memperdebatkan akan makan piza di mana—sambil berdiri di pinggir jalan.

“Sekali saja makan pizanya di Pizza Shawarma, ya? Soalnya kalau di tempat lain, takutnya tidak halal. Kasihan Zara, nanti dia tidak bisa makan, padahal sebentar lagi harus berbuka puasa.”

Diego mengalihkan pandangannya dari sang nenek kepadaku. Alisnya mengerut dan bibirnya mengerucut. Ada cahaya api amarah yang terpancar dari kedua netranya. Namun, tak seperti dugaanku, dia hanya diam. Padahal kukira dia akan langsung mencecarku dengan omelan panjang-lebar.

“Heh ... tumben sekali si mulut mercon itu gak ngomel-ngomel! Apa baterainya sedang habis kali, ya, jadi gak ada tenaga buat ngamuk?” batinku bertanya-tanya.

“Ya, Diego?” Abue berusaha membujuk cucunya sambil mengusap-usap bahu kokoh pria itu.

Terdengar sebuah decakan sebal meluncur dari bibir Diego. “Ya sudah ....”

Dan, di sinilah kami, berdiri bergerombol di depan tempat pemesanan makanan Pizza Shawarma Pakistani. Diego dan Samuel berdiri paling dekat dengan pelayan resto, sebab merekalah yang akan membantu memesankan makanan. Sementara itu, aku berdiri di tengah-tengah Abue dan Maria, celingak-celinguk memandangi daftar menu yang tertempel di spanduk yang tertempel memanjang di bagian atas dinding resto.

Di sana tertulis ada pollo con salsa con pan, lentejas con pan, cordero con salsa con pan, cuscus con verdura, shawarma, dürüm, patatas fritas, dan lainnya yang aku bahkan tidak paham artinya apa.

Aduh ... aku jadi bingung harus memesan yang mana?

“Kamu mau beli makan apa?” tanya Maria. “Kalo aku mau beli pollo con salsa con pan,” sambungnya menjelaskan, padahal aku belum bertanya. Sepertinya dia sudah sangat lapar, makanya jadi begitu tidak sabar.

“Aku belum tau mau pesan makan apa ...,” balasku menggantung, berharap Maria akan peka atas apa yang sedang aku alami, lalu menawarkan untuk—

“—Mau aku pilihkan?” Syukurlah, dia betulan peka.

Aku mengangguk sambil tersenyum simpul.

“Kamu mau makan ayam, kebab, burger, atau nasi?”

“Nasi, deh. Udah ada lauknya, ‘kan?”

“Ada nasi yang udah sepaket sama lauknya. Nasi biryani, mau?” Usai mendengarku mengiyakan tawarannya, Maria bertanya lagi, “Minumnya mau air mineral atau soda?”

“Air mineral aja.”

“Oke, aku bilang ke Diego dan Samuel dulu.” Dua detik setelah mengatakannya, Maria beranjak pergi menemui Diego dan Samuel untuk menyampaikan menu yang ingin kami pesan.

Sementara itu, aku dan Abuela berjalan beriringan memasuki resto lebih dalam lagi untuk mencari tempat duduk.

Dua puluh menit telah berlalu sejak kami mendatangi restoran ini, dan kami masih terduduk lesu di atas kursi masing-masing—menunggu pesanan datang dengan perut yang mulai murka menanti diberi makan. Lama sekali!

Yah, tetapi wajar sih, soalnya restoran ini sedang ramai pengunjung. Pihak resto pun jadi sibuk sekali.

Aku hanya berharap ... semoga makanannya datang tepat sebelum azan magrib berkumandang. Agar setelah panggilan salat itu datang, aku bisa segera melafalkan doa berbuka, lalu menyantap nasi biryaniku.

Suara Diego terdengar, “Kasihan sekali para muslim ini ... sudah disuruh puasa seharian, untuk makan berbuka pun repot sekali harus yang halal segala.”

“Aaarrghh! Aku sedang sangat lapar, dan si mulut mercon ini malah berulah!”

Kukira dia tidak akan membalas—sebab sebelumnya hanya diam dan menurut saja pada neneknya, tetapi ternyata aku salah! Diego memang tak akan bisa hidup tenang bila tidak mengusikku sedikit saja!

“Gak perlu merasa kasihan, kami senang kok menjalaninya,” balasku dengan tenang.

Tidak, tidak. Aku bersikap tenang bukan karena aku sedang berusaha untuk bersabar, melainkan karena aku sedang dibuat lemas oleh rasa lapar yang menusuk tajam.

Diego memasang tampang tidak percaya. Netranya menyipit menatapku. “Masa? Tidak tertekan? Sama sekali?”

“Kenapa harus tertekan?”

“Ya ‘kan kalian diatur sampai sebegitunya, tidak bebas.”

Baru saja mulutku terbuka dan akan membalas ucapan Diego, tiba-tiba saja azan magrib berkumandang. Mulutku langsung terkatup lagi. Aku tidak memperhatikan yang lain, tetapi kulihat Maria, Samuel, dan Abuela ikut terdiam bersamaku. Kami sama-sama membiarkan hanya suara azan yang mendominasi pendengaran kami.

Sementara itu, saat aku melirik pria yang duduk di hadapanku—Diego, dia terlihat duduk dengan tidak nyaman. Aku berspekulasi bahwa dia risi dengan alunan merdu yang sedang berkumandang ini.

Di tengah-tengah kumandang azan, pesanan kami datang. Aku menengadahkan kedua tangan, sedangkan empat lainnya menggenggamkan kedua tangan mereka. Kami berdoa menurut kepercayaan kami masing-masing.

Saat tangan kananku meraih botol air mineral, aku teringat sesuatu. Ya Allah, aku lupa ... seharusnya aku menyiapkan “yang manis-manis” untuk berbuka. Namun, tidak ada makanan atau minuman manis di sini. Satu pun, sedikit pun.

“Ah, udahlah, mau gimana lagi?”

***

Lihat selengkapnya