Saat ini jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Karena ulah Zara, sekarang kami sudah kembali ke kediaman masing-masing; Zara menuju unit kondominiumnya, sedangkan kami berempat pulang ke rumahku dan Abue.
Menyebalkan sekali!
Padahal aku masih ingin berkeliling Granada hingga tengah malam. Namun, karena Zara dan aturan agamanya yang merepotkan itu, perjalanan menyenangkan ini harus terhenti dengan cepat.
“Diegooo! Ayo ke bawah, nonton film!” Teriakan Maria menggelegar menabrak pintu kamarku.
Ya, dia dan Samuel masih menginap di sini. Maria tidur di kamar Abue, sedangkan Samuel tidur di kamarku. Sebetulnya mereka bisa saja memilih dua unit kondominium untuk disewa selama berada di distrik ini—dan sebelum-sebelumnya pun seperti itu, tetapi karena tidak ada unit yang tersedia, jadilah mereka menginap di rumahku dan Abue.
Tidak mengapa kok, mereka boleh menginap di mana pun mereka mau, termasuk di rumah ini. Sebab Maria dan Samuel sudah kami—aku dan Abue—anggap sebagai keluarga sendiri; Abue telah menganggap mereka sebagai cucunya sendiri.
Aku menjawab ajakan Maria dengan teriakan juga, agar dia dapat mendengarnya, “Iya, nanti aku ke bawah!”
Nanti dulu, ya, Maria. Aku masih ingin berdiam diri di kamarku sambil memaki Zara sampai puas.
Gadis sialan itu!
Tak bisakah sehari saja, dia tak membuatku kesal?!
Dan mengapa semakin hari tingkahnya malah semakin kurang ajar?!
Kejadian beberapa menit lalu di Artesania Fatima contohnya. Bisa-bisanya gadis itu mengatakan sesuatu yang membuatku terdiam dan tidak bisa membalas! Belajar dari mana dia mengatakan hal yang menyebalkan seperti itu? Dari mana juga dia mendapatkan keberanian untuk melawanku?
Padahal pada saat-saat awal pertemuan kami, dia penakut sekali. Payah! Pengecut! Tak mampu melawanku sedikit pun. Akan tetapi, akhir-akhir ini dia mulai melawan. Yah, walaupun terkadang dia membalas dengan terbata-bata karena masih sedikit takut, tapi tetap saja ... dari lumbung mana dia dapatkan tumpukan persediaan rasa berani itu?
“Aaarrgghh!” Aku membanting botol minuman bersodaku ke lantai kayu.
Sambil berdiri di depan jendela kamar, kupandangi unit yang disewa Zara dengan tatapan sengit. Di kepalaku terputar interaksi demi interaksi yang hadir di antara kami; pun perkataannya, perbuatannya.
Ketika mendapati hal yang agak janggal dari sikap Zara, alisku lantas terkernyit.
...,
... Zara itu aneh. Dan mencurigakan.
Bagaimana bisa pada jam delapan malam dia berbicara seolah sedang membelaku, lalu dua puluh lima menit setelahnya malah mengataiku?
Berarti pembelaan yang sempat dia tunjukkan pada kami berempat tidaklah tulus.
Ya, benar. Dia mengatakan hal itu hanya untuk menggaet simpati Abue, Maria, dan Samuel saja. Karena saat kami sedang berduaan, dia malah menyerangku.
Dia pasti sengaja. Dia ingin cari perhatian. Cari muka. Ingin menjambret kasih sayang dan kepedulian Abue, Maria, dan Samuel dariku. Dia ingin ketiga orang yang berharga dalam hidupku itu berpihak padanya, dan membuat kehadiranku jadi terpojokkan.
Mengapa?
Tentu karena dia dendam padaku! Dia ingin membalas tiap gangguan yang aku hantamkan padanya. Memang bangsat! Untung saja aku belum sempat terkungkung dalam perangkapnya. Untung aku belum terjerat tipuannya. Untung aku belum termakan tingkah sok tulusnya itu.
Memang sudah benar firasatku. Gadis muslim ini berbahaya. Dia tak dapat dipercaya. Sedikit pun! Syukurnya aku bisa langsung memasang tameng kewaspadaanku kembali. Tak akan kubiarkan dia berhasil mengelabuiku, apalagi sampai mencuri Abue, Maria, dan Samuel dariku.
“Suara itu lagi ...!” keluhku tatkala suara azan berkumandang.
Memang, segala hal yang berhubungan dengan agama Zara selalu sukses membuatku kesal. Terutama umatnya, yang contohnya, tentu saja Zara sendiri.
Sambil memandang marah ke arah unit kondominium Zara, aku bergumam, “Sejak gadis muslim itu datang, suasana hatiku jadi sering kacau. Dia betul-betul perusak suasana hati.”
***
“Diego, bisa tolong bantu Abue, Nak?” Permintaan itu menyapa langkahku yang baru saja menapaki anak tangga terakhir.
Aku segera menghampiri Abue yang sedang sibuk di dapur. “Iya. Abue mau dibantu apa?”
“Ini,” kata Abue sambil menyerahkan secarik kertas dan beberapa lembar uang, “ini daftar kebutuhan mingguan kita. Tolong bantu belanjakan di minimarket, ya!”
Aku meraih kertas dan uang-uang itu. “Baik, Abue.” Kemudian, kakiku melangkah menuju tangga yang menurun ke lantai satu sambil mengatakan, “Aku pergi dulu!”
“Eh, tunggu dulu!”
Langkahku langsung terhenti. Dengan tangan kiri yang memegangi susur tangan—pegangan tangga, aku menoleh ke belakang. “Iya, Abue?”
“Nanti belanjanya bareng Zara, ya? Tolong temani dia. Dia juga mau ke minimarket. Jadi sekalian saja kalian pergi sama-sama. Ya?”
Aku langsung membalikkan tubuh. “Nggak mau, Abue! Kenapa aku harus nemenin dia? Dia ‘kan bisa pergi sendiri.”
Kesegaran yang menyelimuti tubuhku yang baru saja disapu air mandi sejam lalu—sekarang pukul sebelas siang—ini langsung sirna. Mendengar nama Zara meluncur dari mulut Abue membuat panas dan gerah terasa membakar tubuhku.
“Jangan dong, kasihan dia kalau sendirian. Bagaimana kalau dia tersasar di tengah jalan?”
“Ya biarin aja. Salah sendiri bodoh, masa rute sedekat itu bisa nyasar.”
“Hush! Kamu ini kalo ngomong!” omel Abue. “Dia ‘kan belum lama di sini, jadi wajar kalau masih belum hafal jalan. Nah, sebagai warga lokal yang baik, kamu bantu temani dia, ya?”
“Gak.”
“Abue, aku bisa pergi sendiri, kok.” Suara itu muncul dari anak tangga. Kemunculan Zara, Maria, dan Samuel yang menaiki tangga dari lantai satu membuatku langsung menyingkir.
“Tuh, Abue. Dia bisa sendiri,” ucapku menambahkan.
“Atau gimana kalau aku aja yang nemenin Zara?” Maria menawarkan diri.
Samuel pun ikut-ikutan, “Atau aku?”
“Tidak, Diego saja yang temani Zara,” balas Abue dengan keras kepala.
“Tapi Abue—”
“—Sudah, sana! Sana!” Abue mendorong pelan punggungku dan Zara, menuntun kami ke arah tangga yang menurun ke lantai satu.