Di bawah langit Granada yang telah menghitam; aku, Maria, dan Samuel menapakkan kedua kaki kami ke jalanan berbatu calle Elvira. Di atas sana, bulan yang bentuk bulatnya mencapai 99%, mengintip langkah santai kami dari balik atap-atap terakota. Sementara itu, rekannya—bintang-bintang—tengah menghamburkan diri di tiap petak-petak langit.
Jarum jam tanganku menunjuk pada angka 11, mengabarkan bahwa kini telah tiba pukul 11 malam. Namun, meski malam sudah semakin larut, meski angin sudah berembus semakin dingin, kawasan kota tua ini masih diramaikan oleh para anak Adam.
“Dingiiin!” Maria merapatkan jaket kulit yang dipakainya. “Abis ini kita langsung pulang aja, ya? Minumnya di rumah aja.”
“Iya, Maria, iya ... abis ini kita langsung pulang, kok.” Samuel menjawab lebih dulu.
Mata Maria tersorot ke arahku, menodong sebuah jawaban. Ada harapan yang terbinar dari iris cokelat gelapnya.
Aku pun segera mewujudkan harapan itu, dengan mengatakan, “Iya, aku setuju, kok.”
“Yeeeyy!” seru Maria senang.
“Tumben kamu minta langsung pulang? Padahal biasanya senang-senang aja keliling sampe tengah malem,” kataku, mengungkapkan kebingungan yang sempat mendekam di kepala.
Karena seingatku, Maria suka sekali berjalan-jalan. Bahkan walaupun bulan telah menyapa, juga gelap telah semakin memakan langit, ia tak ambil peduli. Maria akan terus berlenggak-lenggok dengan riang sembari menenteng tas-tas belanja. Mungkin pikirnya, toh, baik lampu-lampu Barcelona maupun Granada, sumber cahaya kedua—setelah matahari—itu pasti akan menerangi jalan yang akan dipijaknya.
Jadi, ia akan bisa terus berjalan. Tanpa harus takut tersandung ranting yang terlelap di pinggir jalan, ataupun takut menabrak hewan yang terbirit-birit entah ingin ke mana.
Samuel menambahkan, “Iya, tumben banget.” Lalu, ia menempelkan telapak tangannya di dahi Maria. “Apa kamu lagi sakit?”
“Nggak, kok!” Jawaban itu membuat Samuel langsung menarik kembali tangannya.
Langkah kami terhenti tepat di depan sebuah pertigaan. Di sebelah kiri, ada papan berukir indah yang di tengahnya tertulis kata “Elvira”. Sedangkan di sebelah kanan, berdiri kokoh bangunan tiga lantai. Bangunan bercat putih, yang bagian lantai satunya didominasi warna hijau lumut yang tampak belum lama dicat. Di atas pintu kacanya, terpampang sebuah tulisan “Al Sur de Granada”.
Begitu masuk ke dalam, kami bertiga langsung disambut berderet-deret rak kayu yang menjulang tinggi. Di tiap dudukan rak, berdiri anggun botol-botol minuman beralkohol. Botol-botol yang tinggi besar dan kebanyakan di antaranya berwarna gelap itu, ada yang berisikan anggur, vodka, tequila, wiski, sake, rum, bir, dan lainnya yang tidak dapat aku sebutkan.
Suara seorang wanita paruh baya hinggap ke telinga kami. Wanita yang rambutnya sangat pendek—seperti lelaki—itu menyambut kedatangan kami, lalu bertanya, “Ingin minum di sini atau beli untuk dibawa pulang?”
Kami mendekat padanya yang sedang berdiri di balik lemari kayu pendek. Dia tampak sedang menaruh kue-kue ke dalam lemari kaca pendek yang terletak di sebelah kanannya. Karena lemari kayu dan lemari kaca itu diletakkan di sudut ruangan, wanita tersebut jadi terlihat seperti sedang terjebak dalam sebuah ruang pendek persegi. Tapi tentunya, terdapat sedikit tempat untuknya bisa keluar masuk.
“Kami beli untuk dibawa pulang,” jawabku.
Karena tempat ini memang bukan hanya dipergunakan untuk menjual minuman beralkohol saja, tapi juga untuk makan—dan tentunya “minum”. Jadi, ini seperti toko minuman yang disatukan dengan restoran.
Kini, wanita berkaus hitam lengan pendek itu sudah selesai memasukkan kue-kue ke dalam lemari kaca, jadi dia langsung memberi perhatian penuh pada kami. Dengan kedua iris cokelat yang terang disiram cahaya lampu gantung di atasnya, ia menatap kami sembari bertanya lebih lanjut, “Mau beli yang mana?”
Aku mengedarkan pandangan. Tatapanku jatuh ke botol-botol yang permukaannya mengilap terkena pantulan cahaya lampu. Di bagian depan—agak ke bawah—tiap botol tertulis merek-merek. Ada Lebrel, Cauzón, Cap de Nit, Syrnacha, Joanots, Ramōn Bilbao, dan lain-lain.
Mataku memang tidak menemukan merek yang ingin aku beli, tetapi bisa saja sebetulnya ada dan disimpan di tempat lain. Jadi, aku balik bertanya, “Barón de Ley yang Finca Monasterio ada?”
“Ada. Selain itu, mau apa lagi?”
Samuel menjawab, “Kalo Marqués de Murrieta yang Reserva ada juga?”
“Ada. Lalu?” Wanita berambut sangar pendek itu mengalihkan pandangan menuju Maria.
Namun, malah Samuel yang buka suara, “Dia tidak.”
Wanita yang tak kunjung kuketahui namanya itu—padahal aku sering sekali datang ke sini—hanya mengangguk, lalu beranjak untuk mencari apa yang ingin kami beli.
Aku memandang heran pada Maria. Sudah dua kali dia bersikap aneh hari ini, benar-benar tidak seperti biasanya. Apakah ini semua karena dia mulai berteman dengan Zara?
Sial, sudah kuduga!
“Tanggal 26 nanti ‘kan kami mau ada penerbangan ke Barcelona, jadi gak bisa terlalu banyak minum. Makanya aku pilih minum dari botol yang sama aja dengan Samuel,” kata Maria, memberi penjelasan sebelum aku sempat bertanya.
Ah, benar juga. Tanggal 26 nanti ‘kan Maria dan Samuel akan pergi ke Barcelona.
Ternyata dugaanku salah.
“Oh, iya. Aku lupa kalau kalian akan pulang,” jawabku.
Obrolan kami terputus kala wanita berambut sangat pendek tadi kembali mendatangi kami. Dia menenteng dua botol tinggi besar berukuran 750 ml yang berisi anggur merah. Di tangan kanannya adalah botol yang seluruh tubuhnya didominasi warna hitam, dengan sebuah logo di bagian depan agak ke atas—bergambar lonceng yang menggantung di antara batu beraksara, dan di bawah logo itu terdapat tulisan “Barón de Ley, Finca Monasterio”.
Keanggunan yang ditampilkan botol itu, membuatku tidak sabar untuk bisa segera menenggak anggur merah yang tengah bersemayam di dalamnya. Anggur merah variasi tempranillo—anggur hitam—itu mengandung setidaknya 15% kandungan alkohol; kadar sedang dalam sebuah minuman beralkohol.
Sementara itu, di tangan kiri si wanita adalah botol hitam yang bagian tengahnya dilapisi kertas putih dan bagian ujung atasnya berwarna serupa tembaga. Ada dua logo “M” yang dikelilingi sebuah lingkaran dan di atasnya terdapat mahkota, yang tertempel baik di kertas putih maupun bagian atas kertas itu—dengan ukuran yang berbeda. Dan di bawah logo yang ada di kertas putih, tertulis “Marqués de Murrieta, Reserva”.
Anggur merah yang satu itu memang kesukaan Maria dan Samuel; kandungan alkohol yang terdapat di dalamnya hanya 14%, sedikit lebih rendah dibanding anggur merah Barón de Ley-ku.
Wanita yang bertugas menjadi pelayan toko sekaligus resto ini segera mengemasi dua botol minuman kami. Dan setelah kami membayar, kami pun bisa menenteng botol-botol yang dua-duanya berukuran 750 ml itu keluar untuk dibawa pulang.
***
Kami menikmati minuman beralkohol yang setengah jam lalu kami beli, di dalam kamarku yang suhu AC-nya sedang kuatur menjadi lumayan dingin ini.
Sebetulnya, udara malam sudah cukup mendinginkan kamarku yang bercat putih ini, dan dinginnya jadi bertambah-tambah bila AC kamar disetel pada suhu yang lumayan—18 °C. Akan tetapi, aku ini suka sekali pada udara dingin; baik dingin alami yang diembuskan oleh angin, ataupun dingin buatan yang dihasilkan oleh pendingin ruangan. Maka dari itu, jadilah kubiarkan saja kamarku ini terasa sedingin Antarktika.
“Heh, Diego, dingin banget kamarmu!” protes Maria.
“Tau, nih. Kamu ini kayak beruang kutub saja!” Samuel ikut memprotes.
Sambil mengistirahatkan punggung pada bantal ungu yang kusandarkan di dinding belakang ranjang, aku melirik sekilas pada Maria dan Samuel yang tengah terduduk di pinggiran ranjangku ini. “Kenapa, sih? ‘Kan enak, dingin begini.”