Sebenarnya, aku ingin merayakan Paskah hanya di puncaknya saja, yaitu di hari Minggu Paskah-nya. Namun, Abue memaksaku untuk ikut merayakan sejak awal hingga akhir. Karena itu, sejak hari Minggu Palma (Domingo de Ramos)—seminggu sebelum Paskah—hingga hari-hari setelahnya, Abue terus saja mendatangiku untuk “mengingatkan” agar aku bisa berpartisipasi dalam acara yang akan diadakan pada hari-hari tersebut.
“Huft ....” Embusan napas panjang keluar dari lubang hidung dan mulutku.
Aku menatap langit-langit kamar yang berupa kayu-kayu cokelat mengilap. Terdiam sejenak, menikmati semilir angin sore yang masuk lewat jendela kamar yang terbuka. Di atas bantal bersarung kain biru, kepalaku yang bersandar memikirkan banyak hal.
Aku berpikir akan sampai kapan aku “dikejar” Abue seperti ini?
Aku tidak mau, sungguh tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan apa pun yang diselenggarakan dalam agamaku. Hanya untuk mengikuti kegiatan misa saja, rasanya sudah sangat berat bagiku, apalagi kalau harus terlibat dalam perayaan besar seperti ini?
Aku sudah sering melawan, bahkan sambil berkata bahwa urusan spiritualitas dan religiusitasku adalah tanggung jawabku pribadi. Dan, sebagai seorang pria yang telah mencapai usia dewasa, aku ini telah berhak untuk menentukan hal-hal yang mau aku lakukan, dan yang tidak mau aku lakukan.
Inginku adalah ... Abue bisa menghargai pilihanku yang memutuskan untuk menjadi manusia yang tidak terlalu taat beragama. Bila aku tidak ingin melaksanakan ibadah, seharusnya Abue membiarkan saja hal itu terjadi. ‘Kan ini adalah urusanku dengan Tuhan, kenapa Abue ikut-ikutan?
Entah aku menjadi manusia yang dilimpahi kasih Tuhan, atau justru menjadi manusia yang berlumuran dosa, ya, itu semua urusanku. Aku akan mengatasinya sendiri. Aku akan menerima akibatnya sendiri. Tidak perlu Abue ikut bertanggung jawab akan hal tersebut.
Aku bukan anak-anak yang masih perlu diberi pengawasan dan tuntunan hingga sebegitunya.
“Diego,” panggil Abue sambil mengetuk pintu kamar.
Ah, sepertinya aku tahu apa yang ingin nenekku itu sampaikan, sehingga beliau mesti repot-repot mendatangiku di kamar seperti ini. Meskipun begitu, aku tetap berusaha menyambut panggilannya dengan baik.
“Ya, Abue. Masuk aja.”
Suara derit pintu yang bergerak terbuka memenuhi ruangan kamar. Kala kutolehkan kepala ke kanan, kulihat Abue berdiri sambil memegang gagang pintu.
“Kamu jadi ikut Kamis Putih, ‘kan?” Beliau memandangku dengan lembut. Namun, aku mendapati bahwa ada setitik cahaya ketegasan yang menyorot dari kedua mata tua nenekku itu.
Aku diam sejenak.
Kenapa Abue harus bertanya segala? Aku yakin, beliau pasti sudah paham kalau aku benar-benar tidak ingin ikut dalam acara itu, tetapi kenapa pula masih bertanya?
“Iya, Abue,” jawabku singkat.
Abue yang paham kalau aku menyimpan keengganan dan rasa malas di dasar hatiku pun, berkata, “Ikut, ya, Sayang. Kamis Putih selalu dirayakan dengan meriah di distrik Albaicín kita ini. Jadi, sebagai warga lokal, kamu pun harus menjadi bagian dari kemeriahan acara itu.” Melihatku belum merespons ucapannya, Abue melanjutkan perkataannya, “Selain itu, tidak boleh juga merayakan Paskah dengan tidak lengkap. Harus lengkap. Ikuti sejak awal hingga akhir. Mengerti?”
Tuh, ‘kan, Abue “mengingatkan”-ku lagi. Bahkan, beliau menggunakan kalimat yang sama tiap kali mendatangiku, seolah ingin menekankan “peringatan”-nya. Dan aku yakin, Abue pasti akan menggunakan kalimat itu lagi hingga beberapa hari ke depan, tepatnya hingga Minggu Paskah.
Sabar, Diego, tahan. Sedikit lagi! Setelah Jueves Santo (Kamis Putih) ini, hanya tersisa tiga hari yang harus kamu jalani; Viernes Santo (Jumat Agung), Sábado Santo (Sabtu Suci), dan Domingo de Resurrección (Minggu Paskah).
Dan setelahnya, kamu bisa langsung bersantai—hidup tenteram dan bebas dari tuntutan religiusitas. Ya, semoga saja.
“Ya, Abue, aku mengerti.”
Seulas senyum terbit di wajah Abuela. Beliau pun bertitah, “Kalau begitu, segeralah bersiap-siap,” sambil menutup pintu kamar dengan perlahan.
Aku beranjak dari tempat tidur, berjalan ke arah jendela untuk menikmati sejenak pemandangan di luar. Sambil memandangi daun-daun di halaman yang bergoyang tertiup angin, aku membatin, “Kenapa kakek-nenek dan kedua orang tuaku taat sekali dalam beribadah, sedangkan aku justru sangat malas dalam beribadah?”
Setelah memikirkan keanehan itu sekitar sepuluh menit lamanya, akhirnya aku sampai pada sebuah jawaban,
Agama memang bisa diwariskan, tetapi tidak dengan keimanannya.
***
Prosesi dimulai pada pukul delapan malam. Aku yang saat ini tengah mengenakan jubah hitam, melangkah keluar dari gereja—Iglesia de Santa María de la Aurora y San Miguel—dengan kaki yang terasa berat untuk diayunkan.
Selain itu, aku juga mengaduh pelan, sebab bahuku tertindih balok kayu yang menopang andas Kristus. Bersama dengan tujuh pria lainnya yang bahunya juga tertindih balok kayu, aku melanjutkan langkah menjauhi kawasan gereja.
Agak sulit rasanya berjalan dengan menopang sesuatu yang sangat berat di atas bahu. Duh, padahal prosesi ini belum lama dimulai, perjalanan yang harus dilalui pun masih panjang dan jauh, tetapi aku sudah merasa terbebani sekali.
Kenapa, ya? Apakah ini semua akibat dari ketidaktulusanku dalam menjalankan prosesi ini? Apakah Tuhan sedang “menghukum”-ku karena telah ogah-ogahan dalam melayaninya?
Ah, tidak mungkin! Sebab aku masih ingat, kalau Abue pernah berkata bahwa Tuhan kami itu penuh kasih.
“Udahlah, Diego. Fokus! Ayo, fokus!”
Setelah sekitar lima belas menit berjalan di bawah naungan langit Granada, yang keindahannya mendukung kesyahduan prosesi ini, langkah kami pun memasuki kawasan calle Elvira. Jalanan berbatunya benar-benar menjadi tantangan tambahan bagi tapak-tapak kaki kami, membuatku merasa beban yang kuterima ini terasa semakin berat dan membuatku semakin kelelahan.
Mata cokelat tuaku melirik sejenak ke arah para warga yang berjejer di sepanjang jalan. Dalam lirikan yang hanya sepersekian detik itu, aku bisa menangkap wajah tenang seorang wanita muda berambut lurus, juga air mata yang mengalir di pipi seorang ibu yang rambutnya mulai beruban. Dan di dekat kedua wanita yang berbeda usia itu, kulihat ada anak-anak kecil yang berdiri diam sambil memegang lilin.
Suasana malam ini benar-benar sunyi, tenang, dan khidmat. Seluruh warga menyampaikan hormatnya untuk prosesi ini dalam bentuk keheningan. Bahkan, alam pun seakan mendukung kesyahduan prosesi ini dengan mengirimkan angin yang berembus pelan, dan memunculkan bulan yang tampil jernih—tanpa terhalang gumpalan awan—di atas sana.
“Abue di mana, ya?” Aku mengedarkan pandangan lagi, mencari di mana kiranya nenekku itu berdiri untuk menyaksikan prosesi ini.
“Ah, itu dia!” Seulas senyum dengan spontan terbit di wajahku kala wajah Abue terlihat.
Abue membalas senyumanku. Senyumannya melebar saat ia melihat ke arahku dan ke arah andas yang kami—aku dan beberapa pria yang bersamaku—bawa secara bergantian. Genggaman pada lilin yang sedang dipegangnya mengerat, bersamaan dengan turunnya setetes air mata dari netranya yang sebelah kanan.
Aku tertegun menyaksikannya. Pemandangan yang baru saja kulihat membuatku jadi tertunduk lesu selama perjalanan. Aku melanjutkan perjalanan dengan langkah yang gontai, ditemani pikiran yang berkecamuk mengingat ekspresi Abuela.
Ekspresi itu ..., sebuah ekspresi yang menunjukkan rasa haru, serta harapan.
Harapan agar kelak, aku bisa seperti dirinya, seperti Abuelo, seperti Papá, dan seperti Mamá ... dalam hal keimanan, bukan hanya agama.
Aku terus melangkah dengan pikiran yang masih berkecamuk. Semakin langkahku tergerak maju, semakin pula dapat kudengar nyanyian yang muncul dari sebuah balkon di ujung jalan. Suara seorang wanita tua yang terdengar lirih dan serak, melantunkan saeta—lagu patah hati untuk Bunda Maria. Potongan liriknya bukan hanya memecah keheningan malam, tapi juga membuat sekujur tubuhku merinding sejadi-jadinya.
“¿Dónde está tu hijo, María, si lo bajan esta noche del madero?”
***
Prosesi berakhir pada pukul dua belas malam. Bersama rombonganku, aku kembali ke gereja dengan keadaan nyeri yang menjalar dari bahu hingga ke tengkuk. Rasa nyeri itu bertambah-tambah terasanya sebab muncul juga rasa panas yang menyelimuti otot-otot bahuku.
Ah ... rasanya aku jadi ingin cepat-cepat pulang. Aku ingin segera memanjakan bahu dan tengkukku yang pegal dengan empuknya bantal.
“Aku juga pengen cepet-cepet ketemu Abue.”
Usai salib diturunkan, aku memandangi patung Yesus itu agak lama, sedikit lebih lama dari yang biasanya kulakukan. Tidak, tidak. Bukannya prosesi Kamis Putih ini telah membuatku jadi umat yang taat hanya dalam waktu sekejap. Tidak, atau belum. Ya, mungkin belum. Aku belum berubah sedrastis itu.
Aku masihlah aku. Masih Diego Garcia Fernández yang sama seperti sebelumnya.
Getar-getar aneh memang sempat menghinggapi ragaku, tetapi belum cukup “menyentuh” jiwaku.
“Ah ....” Desah itu lolos dari mulutku yang hari ini sedang absen mengucapkan kata-kata kasar—sebab aku berusaha menghormati Semana Santa atau Pekan Suci yang sedang berjalan semingguan ini.
“Yah ... semoga hari ini, juga sampai Minggu Paskah nanti, gak muncul hal-hal yang menyebalkan yang akan membuatku terpancing untuk berkata kasar.”
Dan hal itu hanya akan terwujud, bila aku tidak dihadapkan dengan situasi yang membuatku harus berinteraksi dengan Zara.
***
Aku membuka pintu rumah dengan perlahan, takut akan membangunkan Abue yang mungkin saja sudah terlelap di kamarnya. Namun, setelah pintu cokelat ini terbuka sempurna, kudapati nenekku itu sedang duduk di sofa sambil menyesap isi cangkirnya dengan tenang.