Elegi Asa di Langit Granada

Halifa Zari
Chapter #10

Diego; Habas con Jamón

Jam di ruang melukis menunjukkan pukul sebelas malam. Sekitar satu jam lagi adalah pergantian dari hari Rabu menjadi hari Kamis.

Aku masih belum tidur, masih sibuk mengerjakan proyekku. Dan karena perut ini telah berbunyi, aku berencana untuk menuju dapur dan memasak sesuatu untukku dan Abue makan. Pada larut malam begini, aku dan Abue sama-sama belum makan malam. Kami memang sering kali makan malam terlalu larut, hanya di saat-saat tertentu saja makan malam di awal waktu—misalnya saat menemani Zara berbuka puasa.

Tenanglah, ini bukan karena kami menerapkan gaya hidup yang tidak sehat, atau apa pun itu yang ada di pikiranmu. Hanya saja, memang sudah menjadi sebuah kebiasaan di Spanyol ini, bahwa orang-orang akan makan malam di waktu yang begitu larut. Jadi, karena aku dan Abue adalah orang Spanyol, kami pun memiliki kebiasaan yang sama.

Aku merapikan sedikit peralatan bekerjaku di atas meja—sebab sehabis makan aku akan lanjut bekerja, lalu berjalan keluar dari ruang melukis. Tatkala kedua kakiku sampai di anak tangga terakhir, aku mendapati pemandangan Abue dan Zara yang sedang memasak bersama di dapur. Pantas saja saat menuruni tangga tadi, aku sempat mendengar suara alat masak diiringi canda tawa. Ternyata itu suara Abue dan Zara.

Gadis itu tampak agak rapi, mengenakan blus cokelat susu dengan ujung baju bagian lengan yang mengerut, kulot karamel dengan lipatan vertikal di setiap bagiannya, dan jilbab berwarna senada dengan blusnya. Sepertinya dia habis dari luar kondominium. Mungkin habis salat tarawih.

Iya, aku tahu. Aku memang tahu beberapa hal tentang Islam. Bukan karena aku tertarik, justru karena aku benci.

Iya, benar. Aku mencari tahu hal-hal tentang Islam, adalah untuk mencari celah yang bisa kugunakan, sebagai alat untuk menyerang Zara atau siapa pun yang sekelompok dengannya.

“Eh, Diego. Kamu sudah lapar?” tanya Abue.

“Iya, Abue. Tadinya aku mau masak,” jawabku. Aku masih berdiri di anak tangga terakhir, memperhatikan kedua perempuan yang umurnya terpaut jauh itu.

“Abue sedang memasak bersama Zara. Kamu mau ikut masak bersama kami, atau mau menunggu sampai makan malam selesai dimasak saja?”

“Aku ikut masak bareng kalian aja,” kataku sambil berjalan mendekat ke arah dapur bernuansa koral itu. “Kita akan masak apa malam ini?”

Habas con jamón. Kita akan masak itu, sebab sekalian Abue mengajari Zara memasak makanan Spanyol.”

Kali ini, giliran Zara yang bersuara, “Oh iya, Abue, tadi aku lupa mau tanya. Kenapa menu habas con jamón yang akan kita masak malam ini, Abue?”

“Karena habas con jamón adalah makanan yang cocok dimakan pada musim semi. Sekarang ‘kan sedang musim semi. Jadi pas sekali, bukan?” balas Abue.

“Tapi Abue ...,” ucapku menggantung. Aku agak ragu, tapi merasa harus mengatakannya, tapi juga takut gadis menyebalkan itu akan kegirangan kalau mendengar ucapanku nanti.

“Kenapa?” tanya Abue yang sedang membersihkan habas tiernas (kacang fava) di wastafel. Baju tidur berbentuk gaun sebetisnya terkena cipratan air. Tak jauh darinya, Zara yang tengah mencincang halus bawang bombai dan bawang putih ikut bereaksi dengan menoleh padaku.

“Tapi kenapa, Diego?” tanya Abue lagi.

“Bukankah ... habas con jamón terbuat dari daging babi?” Akhirnya kalimat itu keluar juga.

Abue dan Zara langsung tersenyum mendengar pertanyaanku. Entah kenapa, aku merasa senyuman mereka tercipta dari perasaan senang bercampur geli. Pasti mereka mengira aku susah mulai “lunak” pada Zara, makanya jadi bisa “mengkhawatirkannya” seperti itu. Sial.

Jangan salah paham kau, Zara! Aku masih membencimu!

Hanya saja, aku ...—

“—Tenang saja, Diego, ini kita bakal masaknya pakai daging sapi, kok,” jawab Abue.

“Iya, bener. Tuh, daging sapinya.” Zara menunjuk setumpuk daging sapi di atas wadah yang tampak telah dibersihkan.

“Oh, baiklah ....” Usai mencuci tangan, aku menghampiri konter dapur yang di atasnya terdapat setumpuk daging sapi itu, lalu mengambil talenan lain—karena yang satunya sedang digunakan Zara—dan sebuah pisau khusus untuk memotong daging.

Hening sejenak. Aku yang sedang mengiris tipis daging sapi sesekali melirik ke arah Zara dan Abue. Mereka tampak tengah bertatapan sambil tersenyum lebar. Sepertinya masih terbayang-bayang akan pertanyaan yang sempat aku ajukan.

Ah, tuh, ‘kan ... jadi salah paham begini!

“Lagian juga, ngapain sih aku pake segala nanya-nanya begitu? ‘Kan aku harusnya udah tau, kalo Abue gak mungkin ngasih Zara makanan yang pake babi. Dan kalo pun ternyata hal itu Abue lakuin, terus kenapa? Biarin aja dia makan babi! Kenapa aku harus peduli?!” batinku mengomel, menyesali perbuatanku beberapa menit lalu.

“Zara, sekarang kamu tumis bawang bombai dan bawang putihnya dulu, ya? Jangan lupa tumisnya pakai minyak zaitun, itu minyaknya ada di dekat wadah pisau.” Ucapan Abue itu langsung membuatku kembali tersadar dari lamunan.

“Nanti kalau warnanya sudah mulai kecokelatan dan harumnya sudah tercium, pinta Diego untuk memasukkan daging tipis yang sedang diirisnya ke situ. Sekarang Abue mau rebus kacang favanya dulu.”

Aku mempercepat gerakan mengiris daging sapi ini, takut “terlambat” saat memasukkannya ke tumisan—yang akan mengacaukan masakan sebab tumisannya gosong.

Beberapa menit kemudian, terdengar seruan kecil dari arah kompor, “Diego! Dagingnya udah selesai diiris, belum?”

“Sudah. Sebentar,” jawabku. Aku berjalan ke arah Zara sambil membawa hasil irisanku. “Minggir dulu,” titahku.

Usai Zara menyingkir dari depan kompor, aku pun langsung memasukkan irisan daging sapi itu ke dalam tumisan. Setelah semua irisan daging sapi kumasukkan, aku menoleh pada Zara tanpa mengatakan apa pun.

Namun, dia memahami maksud tindakanku. “Biar aku aja yang lanjut,” ujarnya sembari kembali mendekat ke kompor. Kini aku yang menyingkir.

Sejenak, aku memperhatikan Zara yang sedang mengaduk tumisan. Kami bertatapan sesekali, tanpa mengatakan apa-apa. Di sebelah kiri Zara—aku berada di sebelah kanannya, Abue terlihat masih sibuk merebus kacang fava. Jarak kami bertiga saling berdekatan, terutama antara Abue dan Zara. Sedangkan antara Zara dan aku, meski berdekatan tapi tidak sedekat itu.

“Ngapain kamu berdiri aja di situ? Sana!” kata Zara setengah berbisik, dia agak memiringkan kepalanya ke arahku saat mengatakannya. Dia pasti takut perkataannya itu akan terdengar oleh Abue.

Apa-apaan? Kok aku malah diusir begitu? Dasar tamu resek!

Aku melayangkan tatapan kesal, Zara membalasnya dengan tampang tak peduli dan langsung buang muka, kembali fokus pada tumisan.

Ah, sial!

Andai saja sedang tak ada Abue di dekat kami, pasti sudah kumaki gadis itu. Kalau begini keadaannya, ‘kan, aku jadi tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan sekadar membalas untuk membela diriku sendiri.

Sebelumnya aku memang tetap akan mengusik Zara di depan Abue, meski hanya sesekali. Namun, sekarang aku akan lebih berhati-hati untuk melakukannya. Aku tidak akan mengusik Zara di depan Abue lagi, meskipun hanya sesekali. Sebab aku takut nenekku itu akan marah dan sedih melihatnya.

Apalagi, baru dua hari berlalu sejak Abue memintaku untuk memperlakukan Zara dengan baik.

“Diego, ambilkan paprika bubuk di wall cabinet paling ujung sana, ya? Nanti masukkan ke tumisannya,” titah Abue.

Aku langsung melaksanakan perintah itu. Membuka wall cabinet yang berada di paling ujung kanan—dekat kulkas—dan mengambil wadah paprika bubuk. Usai mengambil wadah bening bertutup krim itu, aku kembali ke dekat Zara. Saat sendok bumbu yang kupegang sudah terisi butiran paprika bubuk, aku pun langsung memasukkan butiran-butiran halus itu ke dalam tumisan.

Melihatku yang berdiri terlalu dekat dengannya—sampai-sampai ujung bahu kami nyaris bersentuhan, Zara langsung menancapkan tatapan tajamnya padaku sambil melangkah mundur. Aku tak peduli. Aku hanya meliriknya sekilas dengan ekor mata, lalu kembali menaburkan paprika bubuk ke dalam tumisan. Setelah menaruh wadah bubuk itu ke konter dapur di sebelah kompor, aku merebut spatula dari tangan Zara untuk mengaduk tumisan yang telah ditambahkan bubuk paprika itu.

Kulirik gadis berjilbab cokelat susu yang kini berdiri di belakang itu. Dia tampak sebal. Alisnya bertautan dengan mata yang masih menyorotkan murka. Namun, sebelum ia sempat melayangkan amukan, ucapan Abue sudah lebih dulu terdengar.

“Kalian minggir dulu, Abue mau memasukkan kacang fava.” Abue memasukkan kacang fava yang telah direbus dan ditiriskannya itu ke dalam tumisan. “Diego, biar Zara saja yang lanjutkan. ‘Kan dia yang sedang Abue ajari,” katanya kemudian, kala melihat tanganku memegang spatula.

Mendengar penuturan Abue, Zara langsung tersenyum lebar dan merebut kembali spatula yang tadi sempat aku curi. Api kekesalannya telah dihanguskan oleh air bernama rasa menang.

“Aduknya pelan-pelan ya, Zara, biar kacangnya tidak hancur. Lalu kamu, Diego, ambillah sedikit air dan masukkan ke tumisannya. Abue mau menyiapkan piring dulu.”

Abuela berlalu pergi dari sekitar kompor, lalu kulihat beliau menuju wall cabinet yang menyimpan piring, mangkuk, dan gelas yang ada di sebelah kiri wastafel. Sementara itu, aku memasukkan sedikit air ke tumisan, dan membiarkan Zara yang mengaduknya.

“Diego, Zara ... coba kalian periksa rasanya dulu,” titah Abue dari belakang sana. Beliau pasti sedang menata piring di atas meja makan.

“Kayaknya kurang garam, Abue,” ujar Zara usai mencicipinya.

Sehabis mencicipi menu yang tengah kami masak ini, aku ikut berujar, “Iya Abue, kurang garam ini.”

“Tambahkan saja, tapi jangan banyak-banyak!”

“Oke!” balas aku dan Zara bersamaan.

Kami menoleh ke arah masing-masing, saling menatap selama dua detik, lalu kembali memperhatikan masakan kami. Akhirnya, karena aku yang berdiri paling dekat ke arah wall cabinet yang menyimpan wadah-wadah bumbu, jadi akulah yang mengambil wadah garam dan memasukkannya ke dalam tumisan.

Sekitar sepuluh menit kemudian, habas con jamón yang kami buat sudah selesai kami masak. Makanan yang tampak sangat menggiurkan itu lalu Abue sajikan di atas piring. Di saat yang bersamaan, aku menyiapkan roti—sebab santapan ini cocok dijadikan pendamping roti, sedangkan Zara mengambil air minum untuk kami.

“Ayo, langsung dimakan! Mumpung masih hangat,” kata Abue.

Kami menempati kursi kayu yang mengelilingi meja makan kayu pula. Aku duduk tepat di sebelah kiri Abue, sedangkan Zara di depan nenekku itu.

Malam sudah semakin larut, jendela besar di dekat meja makan menampilkan pemandangan langit malam Albaicín yang begitu indah. Hamparan gelap itu tampak ramai dengan kehadiran awan-awan yang bergerombol seperti tumpukan kapas. Di salah satu petaknya, rembulan tampil dengan anggun. Salah satu awan tampak agak menghalangi wajahnya yang pucat.

“Diego, kapan Maria dan Samuel akan kemari lagi? Abue sudah merindukan mereka.” Abue membuka pembicaraan.

“Aku juga! Aku gak sabar mau jalan-jalan lagi bareng mereka,” sahut Zara.

Dih. Ikut-ikutan saja!

“Aku belum nanya ke mereka, Abue. Waktu itu sebelum pulang ke Barcelona, mereka gak bilang kapan mau ke sini lagi. Nanti aku tanya,” jawabku usai menelan makanan yang sebelumnya tengah aku kunyah.

“Besok siang saja. Ini ‘kan sudah terlalu malam.”

“Gak apa-apa, Abue, kami bertiga malam ini emang mau begadang buat ngerjain proyek, kok ... jadi habis makan nanti, aku bisa langsung tanya ke mereka.”

“Ah, kalian ini kebanyakan begadang! Kenapa mengerjakannya tidak besok saja?” omel Abue. Wajah penuh keriputnya menampilkan ekspresi kesal. Sepertinya beliau sudah muak memarahi kami—saat ini hanya aku—yang sering sekali begadang untuk bekerja.

“Melukis itu lebih enak di malam hari. Yah ... meskipun melukis yang satu ini bukan pakai kanvas, tapi tetap aja, lebih menyenangkan dilakukan di malam hari.”

Berprofesi sebagai digital matte painter mengharuskanku bisa melukis di perangkat lunak. Karena hasil lukisan ini nantinya akan dimasukkan ke dalam sebuah film, sebab memang berfungsi sebagai latar belakang film tersebut.

Oh, ya, film yang saat ini sedang Noa Pictures garap memang merupakan film fantasi, jadi memerlukan kehadiran digital matte painting untuk mengisi latar belakangnya. Keberadaan digital matte painting ini akan memberikan pemandangan yang luar biasa detail dan amat imajinatif, yang terlalu sulit untuk dibuat secara fisik.

Lihat selengkapnya