Pertikaian kami di dapur dua hari yang lalu, diakhiri dengan hening yang penuh kecanggungan. Karena setelahnya tak ada yang mengucapkan sepatah kata pun, kami hanya membisu di kursi masing-masing sambil melahap makanan kami. Bahkan, setelah selesai makan, kami membersihkan peralatan bekas memasak dan makan kami masih dengan terdiam. Hanya bunyi air yang mengalir di wastafel, dan benturan kecil antara peralatan masak dan makan yang terdengar mengisi dapur.
Selepas itu, aku langsung pergi menuju rumah untuk melanjutkan pekerjaanku di ruang melukis, meninggalkan Zara yang sedang menaruh piring di wall cabinet.
Dua hari berikutnya kami jalani dengan tidak bersinggungan, sebab aku sedang sibuk-sibuknya mengerjakan master shot bersama Samuel dan Maria. Yah, tapi bukan hanya karena sedang sibuk, sih, melainkan juga ... karena aku sedang menghindar sejenak dari Zara.
Aku butuh rehat sebentar, untuk akhirnya bisa kembali mengusik gadis itu.
Iya, aku masih ingin mengganggunya.
Jujur saja, sebetulnya aku sudah bosan dan muak harus mengusik Zara tiap kali bertemu dengannya. Namun, gadis berjilbab itu sungguh-sungguh menyebalkan, semakin lama semakin songong dan berani. Dia selalu saja punya jawaban untuk membalas gangguanku.
Padahal, kalau saja dia mau mengalah, diam dan tak membalas lagi, aku pun akan menghentikan pertikaian kami. Akan tetapi, tampaknya si licik itu sengaja menguji “kesabaran”-ku. Dia ingin aku merasa lelah menerornya, sehingga bisa berhenti mengusiknya lagi.
Kelihatannya sama saja, ya? Sama-sama akulah yang berhenti mengusiknya.
Tetapi alasannya beda, tahu!
Kalau yang pertama, aku berhenti sebab sudah menang dari Zara, karena dia sudah tidak sanggup melawanku lagi. Sedangkan yang kedua, aku berhenti sebab kalah oleh Zara, karena aku sudah lelah untuk menyerangnya lagi.
“Udahlah Diego, jangan usik Zara terus! Ngapain sih kamu kayak gitu melulu?”
“Benar kata Maria. Lagian juga, kalo kamu benci sama dia, ya udah cuekin aja. Gak perlu kamu bikin capek dirimu sendiri dengan ngelakuin hal itu terus.”
Omelan itu meluncur dari bibir Maria dan Samuel, dan tersampaikan pada telingaku melalui sambungan telepon, tepat setelah aku menceritakan perdebatan yang baru saja terjadi di dapur.
Ah, mereka ini! Betulan sahabatku, bukan, sih?
Masa mereka tidak mengerti, kalau bagiku, penting untuk terus mengusik Zara. Aku perlu terus melakukannya.
Karena kalau Zara tidak tahan dengan gangguanku, dia pasti akan tidak betah untuk tinggal di sini terlalu lama, dan akhirnya memutuskan untuk segera pulang—lebih cepat dari rencana awalnya.
“Aku tak peduli dengan uang yang sudah dia bayar untuk menyewa tempat ini. Kalau dia minta sebagian uangnya dikembalikan, ya, tinggal kukembalikan saja. Kondominium kami tidak akan rugi hanya karena kehilangan satu pelanggan,” batinku bersikeras.
Sebab sebagaimana yang pernah aku bahas sebelumnya, aku tidak mau Abue jadi semakin dekat dengan Zara.
Aku takut, nenekku itu akan susah melepas ketika waktunya datang untuk Zara pulang nanti. Aku juga takut, kalau Zara pulang bukan dengan rasa kesal sebab terus diganggu olehku, melainkan dengan rasa senang karena mendapat perlakuan yang baik di sini: dia akan memutuskan untuk datang kembali ke sini. Dan kemungkinan itu adalah hal yang sangat tidak aku harapkan untuk terjadi.
“Ah, tapi aku yakin ... Zara pasti tidak akan kembali lagi ke sini setelah pulang nanti, sama seperti yang dia lakukan padaku dulu.”
Aku memandangi lantai kamarku yang berwarna cokelat dengan sorot nanar. Pikiranku terbang menuju masa lalu. Menuju masa-masa paling indah, sekaligus paling menyakitkan untukku.
Masa yang sangat aku rindukan, tetapi juga tak kuharapkan akan terulang lagi.
“Diegoooo! Sudah selesai belum, siap-siapnya? Ayo berangkat!” Teriakan Abue menghantam pintu kamar, membuyarkan lamunanku.
Aku beranjak dari posisiku semula yang terduduk di ranjang, mengambil kamera dan ponselku di atas nakas, lalu berjalan keluar dari kamar.
Meninggalkan sebuah nama beserta kenangan yang menghiasinya, teronggok nelangsa di sudut ruangan.
***
“Abue ... kita mampir ke sana dulu, yuk!” ajak Zara, sembari menunjuk Artesanias Medina.
Sore ini, aku, Abue, dan Zara tengah berada di perjalanan menuju Plaza Nueva. Abue, yang tidak kuberi tahu mengenai perdebatanku dengan Zara di dapur itu, juga sepertinya tidak Zara beri tahu tentang kejadian pagi itu, siang tadi mengajak kami untuk berjalan-jalan ke Plaza Nueva.
Tentu saja di awal aku menolak untuk ikut, tetapi seperti biasa, nenekku itu pasti akan terus memaksa sehingga aku pun menyerah, dan berakhir mengiyakan ajakannya.
Lagi pula, aku suntuk juga terus-menerus mendekam di rumah mengurusi pekerjaan.
“Diego, kamu mau ikut masuk atau menunggu di sini saja?” tanya Abue.
Aku menatap bangunan empat lantai bercat kuning itu, memerhatikan barang dagangan yang tampak memenuhi toko—semua isinya dapat terlihat dari luar karena pintu besarnya terbuka dan dinding lantai satunya terdiri dari full kaca besar.
Sepertinya seru juga kalau lihat-lihat ke dalam. Yah, walaupun barang-barang yang ditawarkan itu sudah sering kulihat sejak aku kecil, tetapi tak apalah. Anggap saja cuci mata.
“Aku ikut,” jawabku akhirnya.
Kami bertiga pun memasuki ruangan yang penuh dengan kerajinan tangan tersebut. Sebagaimana turis biasanya, Zara sangat gembira mendatangi tempat oleh-oleh itu. Ia berjalan riang ke sana-kemari, menghampiri tiap barang yang disuguhkan toko, dan memerhatikannya dengan mata berbinar-binar.
Ketika kaki kami berjalan semakin jauh dan memasuki toko semakin dalam, Zara yang sedang asyik melihat barang-barang kerajinan tangan itu tiba-tiba berseru, “Waaahh ...! Lampu gantung!” dengan riang kala melihat gemerlap lampu gantung di tengah-tengah ruangan. Kedua pupilnya melebar saat menatap warna-warni lampu.
Aku tak mengerti. Mengapa Zara begitu terobsesi dengan lampu-lampu gantung itu? Apakah karena corak di permukaan kacanya telah sebegitu mencuri hatinya? Atau, karena sebagian jiwanya telah dicuri dan dimasukkan ke dalam lampu itu?
“Ih, yang merah itu cantik banget, deh!”
Aku mendongakkan kepala lebih tinggi, mengedarkan pandangan ke kiri dan kanan, melihat satu persatu lampu yang digantung di langit-langit toko. Mataku menangkap ada empat lampu yang berwarna merah, sedangkan sisanya ada yang biru, hijau, kuning, bahkan berwarna campuran seperti pelangi.
Jadi, lampu merah yang manakah yang sedang ia maksud?
“Yang mana?” tanyaku.
Kulihat jari telunjuk Zara menunjuk ke lampu yang berukuran paling besar. Ia menjawab, “Yang itu, loh, ... yang merah burgundy. Yang ada corak bunga dan bintang di tengah-tengahnya itu.”
“Oh, yang itu ....” Itu motif yang mengadopsi desain tradisional Maroko—atau Timur Tengah. Motifnya memang menggabungkan elemen geometris dengan elemen flora. Dan motif seperti itu adalah motif yang sangat umum dalam seni Islam; jadi bisa ditemukan dalam kerajinan kaca, lampu, dan ubin di masjid atau istana bergaya Moor.
Jangan tanya mengapa aku bisa tahu mengenai semua itu.
Biar aku ingatkan! Walaupun aku ini seorang Katolik, tetapi aku adalah pria yang berasal dari Granada—daerah yang berada di dalam kawasan otonomi Andalusia. Dan, kota asalku ini merupakan rumah terakhir bagi bangsa Moor (muslim), sebelum akhirnya mereka terusir dari Spanyol dan kembali ke Afrika pada tahun 1492 selama masa Reconquista—penaklukan kembali oleh bangsa Spanyol dan Kristen.
Jadi, bukanlah suatu keanehan, kalau aku bisa mengetahui banyak hal tentang Islam—khususnya dalam hal seni mereka.
“Kelihatannya kau sangat jatuh cinta pada lampu itu. Beli saja,” ujarku, usai memandangi Zara dan lampu gantung yang sedang ditatapnya secara bergantian.
Zara tampak langsung cemberut saat mendengar ucapanku. Binar matanya agak meredup kala ia menatapku sambil menjawab, “Aku mau, sangat mau. Tapi masalahnya aku bingung, gimana cara mengemasnya biar aman dibawa pas perjalanan pulang nanti?”
Loh, rupanya itu yang Zara khawatirkan? Padahal menurutku, itu bukanlah masalah yang besar. Ada jalan keluarnya. Ini dia, “Ya, tinggal kemas saja berlapis-lapis. Pasti aman, ‘kan? Kau juga bisa minta pada petugas bandara agar hati-hati saat membawanya.”
“Tetap aja, Diego. Aku tetap cemas. Gimana kalo lampunya telanjur hancur sebelum sempat sampe ke rumah?”
“Ah, kau ini. Tidak perlu secemas itu. Pasti akan aman-aman saja, kok.”
Yah, meskipun aku sudah menenangkannya seperti itu—yang akhirnya membuatku bertanya-tanya kenapa aku bersikap sepeduli itu padanya, tetapi Zara tetap tidak berani untuk membeli lampu gantung impiannya. Sia-sia saja saran dan kalimat penenangku.
Tapi, yah, masa bodoh, lah. Aku tak ingin kepedulianku padanya tumbuh semakin jauh.
Oh, ya, usai mengelilingi ruangan bercat mustard dengan motif horizontal ini, Zara pun akhirnya keluar dari toko dengan menenteng satu tas belanja berukuran cukup besar.
Aku tahu isinya ada apa saja. Yang pertama adalah sepaket notebook dan pulpen berwarna biru, hijau, oranye, dan hitam dengan latar putih; dan bermotif bintang delapan yang merupakan motif geometris khas seni Islam—yang identik dengan dekorasi azulejo. Yang kedua adalah scarf merah yang juga bermotif geometris Moorish, dan yang ketiga adalah scarf juga, hanya saja berwarna dasar putih dengan motif kumpulan mawar merah.
Iya, aku memerhatikannya sedetail itu.
Mengapa?
Entah, aku pun tidak tahu alasan pastinya; tidak tahu kenapa aku selalu penasaran dengan hal-hal yang berhubungan dengan gadis itu.
Aneh. Padahal aku sangat benci pada Zara, tetapi mataku ini rasanya ingin selalu menyorot ke arahnya.
“Sudah, Sayang?” tanya Abue saat melihat Zara sedang memeriksa belanjaannya.
“Sudah, Abue. Ayo, lanjut!” jawab Zara.
Kami pun melanjutkan perjalanan, melangkahkan kaki di area pejalan kaki, di sebelah jalanan beraspal yang kanan-kirinya menjulang bangunan-bangunan empat hingga enam lantai. Bangunan-bangunan itu memiliki warna cat yang mirip satu sama lain. Kalau tidak putih atau krim, ya, kuning atau oranye. Jendelanya pun banyak sekali, nyaris memenuhi permukaan dinding bangunan.
Memasuki kawasan Plaza Nueva, terlihat pohon-pohon dengan daun hijaunya berderet di sebelah kiri jalan. Sementara itu, di sebelah kanannya masihlah bangunan empat hingga enam lantai yang merupakan restoran dan tempat berbelanja.
“Jalan yang di sini beda, ya, dengan yang di calle Elvira?”
Yang Zara maksud barusan pastilah kondisi jalanannya. Memang, jalan di sekitar kawasan Plaza Nueva ini lebih lebar, lurus, rapi, dan beraspal. Tidak seperti di calle Elvira yang cenderung sempit, berkelok-kelok, kurang rapi, dan berbatu. Bahkan, saking sempit dan berbatunya jalan Elvira, sampai-sampai hanya ada sedikit mobil yang terparkir di pinggirnya—karena memang mobil agak sulit masuk ke sana, tidak seperti pinggir jalan kawasan Plaza Nueva yang penuh dengan barisan mobil.
Akan tetapi, terdapat satu hal yang sama dari kedua jalan daerah Albaicín ini. Yaitu, jalan-jalan tersebut sama-sama diapit oleh bangunan besar penuh jendela yang temboknya saling menempel.
“Tentu saja berbeda, kawasan tempat kondominium kita ‘kan dulunya perkampungan kuno,” kata Abue, memberi penjelasan.
“Memangnya Plaza Nueva tidak termasuk dalam kawasan perkampungan kuno juga, Abue?”