Elegi Asa di Langit Granada

Halifa Zari
Chapter #12

Zara; Bermuka Dua

“Hei, jalannya yang cepat, dong! Kau ini lambat sekali, sih!” omel Diego. Pria Spanyol berjaket hitam kopi itu menoleh kala melayangkan omelannya. Anting peraknya gemerlapan terpapar sinar matahari sore.

“Aku juga udah berusaha lebih cepet, tau! Kamunya aja yang jalannya kecepetan!” Aku tak mau kalah.

“Makanya, jangan pakai rok yang seperti itu! Lagian kenapa sih, tidak pakai celana saja seperti biasa? Merepotkan!”

Aku memandangi rok denimku. Kalau dilihat-lihat, model rok yang saat ini kupakai memang menyulitkanku untuk berjalan. Sebab tidak seperti rok biasanya yang bermodel lebar dan megar, rok denim ini modelnya agak lurus menyempit. Jadi, tentu saja itu membuat kedua kakiku sulit untuk mengambil langkah lebar-lebar.

Tapi karena aku tidak mau kalah dari Diego, balasan macam inilah yang kuberi untuknya, “Suka-suka aku, dong, mau pakai rok atau celana. Ngapain kamu atur-atur aku kayak gitu?”

Diego berdecak kesal. Kedua mata cokelat tuanya berkilat terkena pantulan cahaya senja. “Terserah kau, lah!”

Ia berbalik, memunggungiku lagi seperti sebelumnya. Kami pun meneruskan langkah yang sempat tertunda. Menapaki jalanan berbatu—di jalan yang entah namanya apa ini—dengan kedua kaki yang terpasang sepatu, membuat tiap langkah yang kami ambil jadi bersuara seperti ketukan.

Sore ini, aku dan Diego akan berjalan-jalan ke Mirador de San Nicolas. Mengapa aku hanya berdua saja dengan Diego, dalam kegiatan berjalan-jalan ini?

Yah, karena Abue sedang malas bepergian, katanya. Lagi pula, beliau ‘kan sudah tua. Jadi, tentu beliau memerlukan lebih banyak waktu untuk beristirahat, setelah kegiatan kemarin yang cukup melelahkan.

Awalnya, aku tidak mau bila harus berduaan saja dengan Diego. Apalagi, aku sudah cukup sering ke sana—sebab masjid tempatku salat tarawih ada di dekat tempat itu, jadi bukan sebuah masalah kalau aku harus ke sana lagi sendirian. Akan tetapi, tentu saja, nenek pemilik kondominium itu memaksa agar cucunya ikut untuk menemaniku.

Jadilah ... sore hari di awal bulan April ini, aku harus menyabarkan diri sebab mesti berduaan dengan si judes itu. Iya, si pria judes itu, yang sejak sepuluh menit lalu terus saja mengomel karena langkahku terlalu lambat—sehingga membuatku sering tertinggal di belakangnya.

“Diego, ini betulan jalan ke perpustakaannya, ‘kan? Kok jalannya sepi banget, sih?” Aku menoleh ke kanan-kiri. Hanya ada bangunan-bangunan putih beserta pintu dan jendelanya yang cokelat, yang menghiasi pinggir kanan dan kiri jalan setapak ini. “Kamu gak lagi berniat buat nyulik aku, ‘kan?”

“Tidak,” jawab Diego singkat. Kakinya yang terselimut celana hitam itu terus berayun dengan cepat.

“Masa?” Masalahnya di jalanan yang begitu sempit ini, hanya ada aku dan Diego saja yang sedang berjalan. Aku ‘kan jadi merinding! “Eh, kamu jangan macem-macem, ya, Diego! Nanti aku aduin loh, ke Abue!”

Tiba-tiba Diego membalikkan tubuhnya untuk menghadap ke arahku. Aku yang tersentak, sontak memegangi tembok putih di sebelah kiriku—menahan tubuh agar tidak terhuyung ke belakang.

“Kau bilang, sebelum ke Mirador de San Nicolas, kau ingin ke perpustakaan dulu? Ya, memang ini jalan menuju ke sana! Ini jalan pintasnya.” Pria yang di dalam jaket hitam kopinya terpasang kaus hitam itu menunjuk ke jalan di depan kami. “Itu, lihat ujung jalan itu! Nanti setelah kita belok ke kiri, kita akan menemui jalan besar. Akan ada banyak orang di sana. Jadi, diamlah saja dan ikuti langkahku. Jangan banyak omong! Masih untung aku mau menuruti orang banyak mau sepertimu!”

Ya ... memang, di tengah-tengah perjalanan kami tadi, aku sempat bilang pada Diego kalau aku ingin mengunjungi Municipal Public Library Albaizyn dulu. Makanya, dia mengambil rute yang berbeda dari yang biasa kutempuh saat akan ke Mezquita Mayor de Granada.

Antara Mirador de San Nicolas, Mezquita Mayor de Granada, dan Municipal Public Library Albaizyn hanya terbentang sedikit jarak, sebab ketiganya memang berdekatan. Jadi aku kira bisa menggunakan rute yang sama untuk mengunjungi perpustakaan itu. Makanya, saat melihat rute yang saat ini kami lewati ternyata berbeda dari yang biasanya kuambil, aku pun merasa khawatir.

Apalagi, si judes satu itu ‘kan selalu saja jahat padaku. Jadi, tidak salah dong, kalau aku overthinking bila berduaan saja di jalan sempit dan sepi ini dengannya?

“Iya, iya. Maaf,” kataku pelan. Bibirku mengerucut, dengan pandangan menunduk ke arah totebag biru yang tengah kupilin-pilin talinya.

Diego tak membalas apa-apa, langsung membalikkan tubuhnya lagi dan melanjutkan langkah. Di belakangnya, aku mengekor dengan bibir terkatup rapat. Berusaha menjaga lisan agar tidak memancing murka “Singa Granada” itu lagi.

Rupanya Diego benar. Sebab begitu tiba di ujung jalan, kami langsung menemui belokan ke kiri, yang kemudian mengantarkan kami ke jalan yang lebih besar dan ramai orang. Tapi tunggu dulu!

“Itu apaan, ya?” Aku memandangi sebuah tempat aneh yang terletak di belokan ke kanan dari jalan kami sebelumnya.

Tempat itu seperti kastil kecil, sangat kecil. Hanya saja, pintu masuknya besar sekali, bentuknya seperti pil lonjong yang dibelah dua, tetapi tidak berdaun pintu. Di depannya ada tangga menurun yang mengarah ke tempat itu, dan kini sedang dipijaki oleh tiga orang wanita.

Aku penasaran sekali. Ingin bertanya pada Diego, tempat apakah itu? Tetapi urung.

“Hei, Gadis Indonesia! Ayo, lanjut jalan! Malah bengong.”

Seruan itu membuatku menoleh. Ternyata sejak tadi aku hanya berdiam di tempatku berdiri—sambil memandangi tempat yang membuatku penasaran, sehingga langkahku agak tertinggal dari Diego. Pria itu kini telah berada di jarak sepuluh langkah lebih jauh dariku.

“Iya, tungguin dong!” Aku bergegas menyusul, berlari kecil sembari memegangi kedua sisi rok denim yang kukenakan. Tapi, yah, secepat apa pun aku berusaha mengayunkan kaki, langkah yang kuhasilkan tetap tidak bisa selebar biasanya.

Untungnya, si “Singa Granada” mau menunggu. Dia berdiri diam menghadap ke arahku dengan kedua tangan yang bersedekap, memandangi aku yang tengah berlari kecil ke arahnya. Ekspresinya datar.

Begitu jarak kami hanya terpisah dua langkah, Diego berbalik dan melangkahkan kakinya lagi. Dan, seperti sebelumnya, aku mengekor saja, berjalan di belakangnya.

“Wah, di sini bangunannya putih semua, ya!” batinku sambil melayangkan pandangan ke sana-sini.

Di daerah kondominium juga bangunannya banyak yang bercat putih, sih, begitu pun yang di sekitar Plaza Nueva. Akan tetapi, yang di sini benar-benar putih semua. Semuanya! Sebab sejak tadi kami berjalan, aku tidak bisa menemukan warna cat yang lain selain putih di sini. Tidak seperti di daerah kondominium atau sekitar Plaza Nueva, yang dindingnya memiliki warna cat lain selain putih—entah itu kuning, krim, atau oranye.

“Diego, perpustakaannya masih jauh gak sih?” tanyaku.

“Tidak.”

“Beneran? Aku udah capek banget, nih!” Aku menghentikan langkah sejenak. Kedua tanganku kutumpukan di lutut sambil mengatur deru napas yang terengah-engah.

“Kau sih, banyak tingkah! Jadi lama kita sampainya,” responsnya tanpa menoleh sedikit pun dan terus berjalan.

“Ih, Diego ...,” ujarku menggantung—sedang memikirkan alasan lain agar tidak disalahkan, “... aku ‘kan lagi puasa, jadi gak kuat kalo jalan jauh begini.”

Diego menghentikan langkahnya lagi—entah sudah yang ke berapa kali ia melakukan itu, lalu menoleh ke belakang tanpa membalikkan tubuh. Ia diam sejenak, memandangku yang tengah kelelahan. Kemudian berkata, “Sedikit lagi kita sampai.” Hanya itu. Usainya, ia kembali meneruskan langkah.

Aku menegakkan tubuh, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, lalu mengembuskannya secara perlahan. Setelahnya, aku pun menyusul langkah Diego ke depan sana.

Dua menit berlalu. Di sebelah kanan, kulihat ada sebuah bangunan besar yang menjulang di balik pagarnya yang berwarna hitam. Karena bangunan satu itu tampak agak berbeda dari bangunan yang lain—bentuknya lebih besar dan tidak seperti hotel atau restoran, kukira bangunan itulah yang merupakan perpustakaan yang tengah kami tuju.

“Perpustakaannya yang itu, bukan?” Jari telunjukku menyorot bangunan itu.

Diego menoleh ke arahku, lalu melirik ke arah yang aku tunjuk dengan jari telunjukku. “Bukan yang itu.” Kepalanya menunjuk bangunan di sebelah kanan bangunan yang tadi aku tunjuk. “Sebelah kanannya.”

“Oh, oke.” Aku berusaha mengeja tulisan di papan kecil yang tertempel di tembok dekat pagar hitam itu dalam hati. Di situ tertulis “Colegio Público Gómez Moreno, Educación Infantil y Primaria”.

“Terus yang itu apa, dong?” tanyaku penasaran.

“Itu sekolah negeri untuk anak-anak setara Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar.”

“Oh, begitu .... Oke.”

Begitu sampai di depan bangunan yang di atas pintunya terdapat tulisan “Biblioteca Pública Municipal Albaicin”, kami pun masuk ke dalamnya melalui daun pintu yang berwarna cokelat tua—serupa warna rambut dan mata Diego.

“Eh, kok ada banyak anak-anak di sini?” Aku memandangi enam anak yang tengah menduduki kursi hijau empuk, masing-masing ada yang ditemani ibunya saja, ayahnya saja, bahkan kedua orang tuanya. Mereka tampak asyik membaca buku-buku yang digeletakkan di atas meja putih.

Saat mataku melirik ke arah Diego, kulihat pria itu mengibaskan tangan kirinya seolah memberiku kode untuk bergeser. “Jangan di depan pintu,” katanya.

Oh, benar juga! Kami masih berdiri di depan pintu. Aku segera mengikuti langkah Diego yang kini sedang mendekati salah satu rak buku. Sama seperti rak buku yang lain, yang ini juga kayunya berwarna cokelat muda, jumlah bukunya pun ada lima baris. Hanya saja, di sebelah kanan rak buku yang ini terdapat jendela besar—yang kini ditutup oleh gorden biru muda.

“Lantai satu ini isinya buku anak-anak, makanya ada banyak anak-anak di sini,” ujar Diego, akhirnya menjawab pertanyaanku.

“Oh, pantesan.” Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Apalagi di sebelah perpustakaan ini juga ada Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar, ‘kan?”

“Iya.” Pria Spanyol itu mengarahkan mata cokelat tuanya padaku. “Buku untuk orang dewasa ada di lantai dua. Kau mau ke sana atau di sini saja?”

“Hm ...,” gumamku sambil melihat-lihat buku yang berderet di rak yang ada di sebelah kananku. “... aku mau lihat-lihat buku yang ada di sini dulu, deh. Abis itu, baru lihat yang di atas. Gimana?” Aku menatapnya, melesatkan pandangan penuh harap agar keinginanku dikabulkan.

Kedua manik berbulu mata lentik itu tampak tak beremosi sama sekali. Dengan nada datar, pemiliknya menjawab singkat, “Ya sudah.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Diego yang dalam waktu sekejap sudah mendapatkan buku yang menarik perhatiannya, langsung membawa buku dengan sampul bergambar gajah ke salah satu kursi hijau empuk. Di tempat duduknya yang terletak agak jauh dari kumpulan anak itu, Diego mulai membuka lembaran-lembaran buku yang berjudul “Elena Monta en Bici” tersebut.

Aku memalingkan wajah, kembali memusatkan fokus pada jajaran buku bersampul warna-warni di depanku ini. Usai memilih-milih selama sekitar dua menit, aku pun langsung membawa buku berjudul “¡Dia de Playa!” ke arah kursi hijau yang berhadapan dengan Diego.

Aku tidak tahu, kira-kira buku ini akan menceritakan tentang apa, sebab arti dari judulnya pun aku tak tahu. Akan tetapi, melihat sampulnya yang bergambar sepasang anak sedang bersenang-senang di bibir pantai, aku pun berasumsi bahwa buku ini menceritakan kisah anak-anak yang sedang bermain di pantai, atau anak-anak yang suka sekali pantai, atau lainnya yang semacam itu.

Cahaya yang masuk sedikit lewat jendela di belakangku, menyorot tepat ke arah buku, membuat lembaran-lembarannya yang sedang kubolak-balik tampak bersinar. Sayangnya, hadirnya cahaya yang masuk lewat jendela dan memperindah situasi saat ini, tidak membuat kegiatan membacaku jadi menyenangkan. Karena walau telah berkali-kali memerhatikan lembaran kertas-kertas cantik itu, aku tetap tidak bisa memahaminya, sebab seluruh isinya menggunakan bahasa Spanyol.

Hanya ada tiga hal yang aku pahami dari buku ini. Pertama, penulisnya adalah Candice Ransom, sebab nama dia ditulis di urutan paling atas. Kedua, ilustratornya adalah Erika Meza, sebab di bawah nama si penulis terdapat tulisan “ilustrado por Erika Meza”. Dan ketiga, benar dugaanku di awal, bahwa buku ini menceritakan kisah anak-anak yang sedang bermain di pantai, sebab semua itu terlihat melalui ilustrasi yang ada di tiap lembar buku.

Namun, meskipun sudah sedikit paham mengenai bagaimana kira-kira isi buku di tanganku ini, aku tetap ingin tahu maksud dari setiap tulisan yang mejeng di sini. Maka dari itu, kualihkanlah mataku dari buku, ke arah pria yang sedang fokus membaca buku bersampul gajah di hadapanku itu.

Seulas senyum terbit di wajahku tanpa bisa kucegah. Aku melipat bibir, berusaha memusnahkan gurat-gurat menahan geli yang terukir di wajahku. Agak susah, sebab hatiku cukup tergelitik menyaksikan pemandangan di depanku ini. Bagaimana tidak?

Di depanku, ada seorang pria garang, dengan pakaiannya yang serba hitam dan ekspresi yang datar, sedang membaca buku bersampul gajah ungu yang tengah mengendarai sepeda. Gajah cantik itu tampak riang, mengangkat belalainya tinggi sekali, dan ditemani oleh seekor burung berwarna oranye. Bukankah buku tersebut terlalu menggemaskan, untuk pria yang sering kali menjengkelkan?

Lihat selengkapnya