Elegi Asa di Langit Granada

Halifa Zari
Chapter #13

Zara; Permintaan

“Tubuhku koyak,

Ngilu digebuki air mata.

Bak tawanan yang

Akan segera mati.

Yang tak ingin

Apa-apa lagi,

Kecuali ...”

 

“Zara ... kamu ada di dalam, Nak?”

Aku langsung menghentikan aktivitas menulisku dan menaruh ponsel di atas nakas, lalu berjalan menjauh dari ranjang untuk membuka pintu unit.

“Iya, Abue?” Setelah pintu unit terbuka, aku langsung melempar senyum pada Abue. “Ada apa?”

Pemilik netra yang serupa dengan Diego itu membalas senyumanku. “Boleh Abue masuk? Abue ingin mengobrol denganmu.”

“Tentu saja, boleh! Ayo Abue, masuk saja ke dalam.” Aku menyingkir dari pintu, menuntun Abue untuk masuk ke dalam unitku.

  Abue sudah cukup sering mendatangi unitku. Dan biasanya, yang kami lakukan adalah menghabiskan waktu dengan mengobrol berjam-jam di dalam kamar. Bukan itu saja, kadang-kadang nenek dari Diego itu minta untuk diperlihatkan tulisan-tulisanku. Namun, karena tulisanku ditulis dalam bahasa Indonesia, aku pun jadi harus menjelaskan isinya kepada beliau.

“Kamu tadi sedang apa? Menulis blog?” tanya Abue, saat kami telah sama-sama menduduki pinggir ranjang.

“Aku tadi sedang menulis puisi, sih, Abue.”

“Kali ini tentang apa?”

“Tentang ....” Aduh, bagaimana ya, menjawabnya? “Entahlah, Abue, tadi aku hanya mengetik yang terlintas di kepala saja. Jadi, aku bahkan tidak tahu sebenarnya aku ingin menyampaikan apa.”

Aku menatap ke arah jendela yang ada di depan kami. Mataku mengerjap-ngerjap, silau terhantam sinar matahari siang. Tapi aku tetap berusaha untuk memandang keluar sana, menghindari sepasang mata Abue yang sejak tadi tengah menatapku lekat.

Aku ... takut, Abue akan menangkap kilatan kebohongan yang kini sedang bertengger di sudut mataku.

Kurasakan sebuah tangan membelai rambut panjangku—tadi aku sempat melepas jilbab usai kami masuk ke kamar. Aku langsung menoleh ke kiri, dan kudapati Abue tengah memasang senyuman yang menenangkan di wajahnya.

“Rambutmu cantik sekali. Mau Abue kepangkan tidak?”

Senyumanku langsung terbit. Mungkin saat ini wajahku jadi tampak berseri-berseri. “Mau, Abue.”

Kami langsung mengganti posisi. Hanya bergeser sedikit, sih. Aku duduk menghadap kanan, ke arah pintu kamar, dengan kedua kaki yang menekuk dipeluk kedua tangan. Sementara itu, Abue duduk di belakangku, menghadap ke arahku dengan jari-jemari yang mulai mengepang rambutku.

  “Bagaimana pekerjaanmu akhir-akhir ini? Lancar?”

“Lancar-lancar saja, kok, Abue. Yah, sebenarnya kadang aku susah menulis, sih.”

“Susah menulis?”

“Iya ....” Pandanganku jatuh lemas menabrak lutut. “Kadang aku sulit untuk menuliskan apa yang ada di kepalaku, yang sebenarnya ingin aku sampaikan. Kadang pula aku kehabisan ide, jadi tidak tahu ingin menyampaikan apa.”

“Sepertinya kamu sedang terlalu lelah untuk berpikir. Kamu selalu memaksakan diri untuk menulis, ya?”

...

“Iya, kadang-kadang aku begitu.” Terutama saat menulis blog.

“Kalau sedang lelah, beristirahatlah dulu. Jangan dipaksa. Kasihan otakmu ditekan untuk kerja keras terus.” Kudengar Abue menghela napas. Jemarinya masih menjalin rambutku yang kini terbagi jadi tiga bagian. “Kamu ini seperti Diego saja.”

Aku mengernyitkan dahi, bingung. “Seperti Diego?”

“Iya, dia juga suka terlalu keras dalam bekerja. Terus juga suka repot bolak-balik Barcelona-Granada cuma buat ketemu dan lihat keadaan Abue. Bikin capek dirinya sendiri.”

Setahuku Barcelona dan Granada itu jaraknya jauh sekali. Seperti dari ujung Spanyol yang satu, ke ujung Spanyol yang lain.

Dia ... se-effort itu, ya, kalau untuk neneknya?

Berarti kasih sayangnya untuk Abue besar sekali.

Lihat selengkapnya