Elegi Asa di Langit Granada

Halifa Zari
Chapter #14

Zara; Surga Kecil di Semenanjung Iberia

Saya mengalami banyak hal selama “tinggal” di Granada ini.

 

Benar-benar banyak. Mulai dari yang manis, mengharukan, menggiring pada kebahagiaan, hingga yang memancing air mata dan menyalakan amarah, pun, ada.

 

Padahal, saya baru 3 minggu lebih berada di sini, tetapi sudah ada banyak momen yang menguras energi dan kesabaran saya. Saya jadi tidak bisa membayangkan, akan seperti apa kehidupan saya di sini dalam 2 bulan yang akan datang?

 

“Duh, ngantuk!” Aku menguap lebar sekali.

Rasa kantuk ini sudah benar-benar parah. Kedua mataku sampai dibuat pedih dan berair olehnya. Pandanganku jadi agak mengembun, tidak jelas, seperti pemandangan langit malam ini yang sedang dihadang banyak awan.

Sepertinya hujan akan segera turun. Pantas saja sweter yang sedang kugunakan tak mampu menghangatkan tubuhku malam ini. Tebalnya si kain ungu tak sanggup melawan serangan angin malam, membuat si empunya jadi menggigil di atas kursi rotan.

“Ah, kayaknya aku lanjut nulisnya nanti aja, deh. Lagian malem ini aku harus cukup tidur. Besok, ‘kan, bakal ada salat Id.”

Aku menyimpan tulisanku di Word, mematikan laptop, lalu membawa benda persegi panjang itu pergi dari balkon. Kedua kakiku melangkah pelan kala menuruni tangga menuju dapur, takut terjatuh karena berjalan sambil menahan kantuk.

Keluar dari dapur lantai tiga, aku menyusuri koridor rumah sewa. Alas kakiku mengetuk-ngetuk lantai koridor dengan santai, sampai kemudian, sayup-sayup suara musik menghentikan langkahku. Kepalaku tertoleh ke kanan. Dengan mata yang sudah terasa berat, aku berusaha melihat apa yang ada di balik jendela rumah Abue.

Oh, kalau tidak salah, ruangan yang ada di sebelah kiri kamar Diego adalah ruangan melukis—Maria yang memberitahuku. Saat ini, ruangan itu tampak terang sekali. Musik yang sayup-sayup masih kudengar ini, pun, mengalun dari arah sana. Dan, dari balik jendelanya yang tertutup sebagian, dapat kulihat ada lengan seorang lelaki yang sedang bersandar di atas meja.

Tentu saja itu Diego. Pria Spanyol itu pasti sedang begadang untuk bekerja, menggadaikan jam tidur demi gaji yang akan menghidupi dia dan neneknya.

“Huaahhh ....” Aku menguap lagi.

Si kantuk menyerang, mendorongku untuk melanjutkan langkah ke arah pintu unitku, dan mengabaikan pemandangan pria yang sedang bekerja keras itu.

***

Pada tanggal 10 April 2024 ini, sekumpulan umat muslim tengah terduduk di atas sajadah masing-masing, menyimak khutbah Idulfitri yang disampaikan seorang pria muda berpakaian serba putih, sambil menikmati pemandangan alam di Cerro del Aceituno.

Salat Idulfitri sendiri telah selesai dilaksanakan sepuluh menit yang lalu. Maka dari itu, hanya ada beberapa kegiatan setelahnya yang bisa kami lakukan di sini. Seperti menyimak khutbah—yang sejujurnya tak kupahami sebab disampaikan dengan bahasa Spanyol, saling bersalaman sambil mengucapkan “Ied Mubarak!”, lalu makan bersama—aku diberitahu oleh wanita di sebelahku bahwa kegiatan-kegiatan semacam itulah yang akan kami lakukan usai salat Id.

Aku memeluk tubuhku sendiri dari balik mukena putih yang kukenakan, mengantarkan hangat untuk tubuh yang kini sedang dihantam dinginnya udara pagi.

Bingung karena tidak memahami isi khutbah yang sedang disampaikan, aku pun memilih untuk mengedarkan pandangan, memanjakan netra dengan pemandangan yang sungguh menyegarkan ini.

Lapangan Cerro del Aceituno yang kami gunakan untuk melaksanakan salat Idulfitri ini terletak di San Miguel Alto, lumayan jauh dari lokasi rumah sewa yang kutempati—jaraknya hingga tiga kilometer. Butuh sekitar sepuluh menit naik taksi untuk mencapai tempat luas yang amat indah ini. Bila berjalan kaki, tentu waktu yang dibutuhkan untuk mencapainya lebih lama lagi, bisa sampai tiga puluh menit.

Namun, percayalah, lelahnya perjalanan menuju ke sini akan terbayarkan. Sebab setelah perjalanan itu, akan ada pemandangan alam yang sangat indah—yang dapat dinikmati seusai pelaksanaan salat.

Contohnya sekarang ini, bersama dengan umat muslim lainnya, kini aku sedang duduk di atas sajadahku sambil menghadap ke arah pemandangan Sierra Nevada. Di depan sana, khatib tampak tengah menyampaikan khutbah-nya sambil berdiri di sebelah kanan sebuah pohon besar. Di sebelah kiri barisan-barisan umat muslim yang sedang terduduk ini, menjulang tinggi puluhan pohon besar dengan daun-daun lebatnya.

Di dekat hutan yang membawa kesejukan itu, tumbuh berbagai jenis bunga. Ada yang berwarna merah serupa scarf yang kukenakan di balik mukenaku ini, biru serupa langit megah di atas kepala kami, kuning serupa matahari di pukul sembilan pagi ini, putih serupa awan yang menggumpal di petak-petak langit kami, juga ungu serupa pashmina yang membalut kepala beberapa wanita di sini.

Iya, aku dapat melihat warna pashmina yang wanita-wanita di sekitarku ini kenakan dengan jelas. Bahkan, bukan hanya warnanya, tetapi juga motifnya. Bukan karena aku sempat melihatnya sebelum mereka mengenakan mukena, melainkan karena mereka memang tidak mengenakan mukena seperti aku.

Ya ... soalnya ‘kan pemakaian mukena ini adalah kebiasaan muslimah di Asia Tenggara. Jadi, wajar saja kalau tidak terlihat adanya pemakaian mukena di antara kumpulan jamaah salat yang berwajah Maroko, Pakistan, Aljazair, dan Spanyol ini.

Lalu, jilbab yang mereka kenakan pun berbeda dengan yang biasa dikenakan oleh muslimah Asia Tenggara—khususnya Indonesia. Jika yang biasanya muslimah Indonesia kenakan adalah jilbab bergo atau segi empat, maka di sini, para muslimah mengenakan jilbab yang berupa pashmina atau scarf—seperti yang sedang kupakai ini.

Oh iya, saat ini aku sedang memakai scarf bermotif seni Islam yang waktu itu aku beli, loh.

Itu, loh ... yang aku beli saat sedang berjalan-jalan di Plaza Nueva. Aku, ‘kan, beli dua scarf-nya, dan yang sekarang kupakai adalah yang motifnya berwarna merah.

Scarf-nya lembut banget. Suka, deh!” Jemariku mengelus-ngelus scarf di balik mukena putihku.

Kala pandanganku berpindah dari mukena ke arah khatib di depan sana, kulihat pria muda berpakaian serba putih itu memandang lurus ke arahku. Matanya terus menatap ke sini, dengan mulut yang terus menelurkan isi khutbah dan tangan kiri yang memegang secarik kertas—mungkin itu catatan pengingat untuk materi khutbah-nya.

“Eh, kenapa, ya? Apa aku ada buat salah?” batinku bertanya-tanya, sambil masih menyaksikan pria berusia sekitar 30 tahunan itu melesatkan tatapannya ke arah sepasang mataku.

“Amira,” panggilku pada gadis yang duduk di sebelah kananku. Kami memang telah berkenalan sejak baru saja tiba di Cerro del Aceituno ini. “Itu khatib-nya kenapa, ya? Tadi kok lihatin ke arah sini terus, sih?”

Kulihat gadis muda berwajah Maroko itu melemparkan pandangannya ke arah sang khatib. Akan tetapi, pria muda itu telah memalingkan pandangannya dari sini, dan beralih mengedarkan pandangan ke seluruh jamaah yang ada.

“Hmm?” gumam Amira.

Tiba-tiba aku teringat kelakuanku beberapa saat lalu. Aku, ‘kan, sejak tadi tidak memerhatikan khutbah yang sedang disampaikan oleh khatib, dan malah sibuk jelalatan ke sana-kemari. Jangan-jangan, beliau sadar akan perbuatanku, dan tersinggung sebab merasa diabaikan.

Waduh!

“Apa karena dari tadi aku gak merhatiin khutbah, ya, makanya beliau jadi kesal?” tanyaku dengan pelan.

Oh, iya! Amira ini bisa berbahasa Inggris, loh, jadi kami bisa mengobrol dengan lancar.

Amira terkikik pelan. Sepertinya dia juga takut obrolan kami mengganggu jamaah lain—seperti apa yang kukhawatirkan. “Nggak, kok, Khou Omar gak mungkin semudah itu kesal sama orang lain. Dia adalah orang paling lembut, penyabar, dan penyayang yang pernah aku kenal.”

“Eh?” Kedua alisku bertautan. “Khou itu apa? Dan ... kamu kenal sama beliau?”

Khou itu artinya ‘kakak’, dalam bahasa Darija—bahasa Arab dialek Maroko. Dan, iya ...,” Senyuman manis Amira terkembang. Gadis yang lebih muda dariku ini gemar sekali memamerkan senyuman menawannya. “... aku kenal sama beliau, karena beliau adalah kakakku.”

“Oh ....” Pantas saja wajah mereka agak mirip. Awalnya, kukira itu karena mereka sama-sama berwajah Maroko. “Kalo bukan karena kesal, terus kenapa, dong?”

“Mungkin Khou Omar penasaran sama mukena yang lagi kamu pakai. Ya kayak sebelumnya, ‘kan, aku juga sempat penasaran sama mukena kamu.”

“Oh ... benar juga!” Oke, aku lega sekarang.

Habisnya, ‘kan, tidak lucu kalau aku sampai dimusuhi muslim-muslim di sini karena kelakuanku yang kurang baik. “Udah mah jarang ketemu. Masa pas ketemu malah bikin mereka sebel gitu. Jangan sampe, lah, ya!”

Iya, aku dan para muslim di Albaicín ini jarang sekali bertemu—untuk bercakap-cakap dan berkumpul begini, karena kebanyakan dari mereka adalah pemilik restoran, minimarket, atau toko suvenir. Jadi, mereka biasanya akan sibuk sepanjang hari untuk mengurusi usaha mereka itu, dan baru bisa berkumpul di saat-saat sebelum atau setelah melaksanakan salat berjamaah begini. Lagi pula, jumlah mereka tidak sebanyak itu, jadi wajar saja kalau aku jadi agak sulit “menemukan” keberadaan mereka.

Usai materi khutbah selesai disampaikan, kami semua saling bersalaman dan mengobrol ringan. Kegiatan yang menenteramkan hati ini kami lakukan masih di bawah naungan langit Cerro del Aceituno. Embusan angin pagi yang menggoyangkan dedaunan dan kain pakaian kami menambah kesejukan yang ada, dan juga ... jadi menyusupkan sedikit sesak ke dalam sudut hatiku.

Aku mengangkat ponsel, mengarahkan kameranya untuk mengambil beberapa potret—memilih untuk mengabadikan pemandangan indah ini guna mengusir sedikit rasa tak nyaman di dada. Lagi pun, aku memang membutuhkan beberapa foto untuk dokumentasi di blog yang akan aku tulis nanti.

Akan tetapi, aku tidak mengambil potret diriku sendiri, tidak sekali pun. Sebab aku takut, rasa sedih yang sedang kutahan ini dapat tertangkap oleh kamera ponselku.

“Zara, main ke rumahku, yuk!” ajak Amira, membuatku langsung berhenti memotret, lalu memusatkan perhatian padanya. “Para muslim di sini biasanya saling berkunjung ke rumah satu sama lain, loh, tiap kali selesai salat Idulfitri.”

“Eh? Aku ....” Aduh, bagaimana, ya?

Lihat selengkapnya