“Hidungmu paruh elang,
Matamu; matanya.
Kulitmu padang pasir,
Binarmu; kilaunya.
Dahulu kamu bebas,
Buat syair sambil terkikik.
Kini cakarmu tersangkut,
Buat gelap air mukamu.
Matamu awas.
Matamu basah.
Marahlah saja, Sayang!
Menangislah saja, Sayang!
Jangan ditahan,
Nanti jambangmu bertambah putih.
Jangan diabai,
Nanti pundakmu bertambah turun.
Bibirmu pucat.
Bibirmu beku.
Teriakkan semua, Sayang!
Gaungkan semua, Sayang!
Jangan dipendam,
Nanti suaramu jadi tercekat.
Jangan diusir,
Nanti lidahmu jadi membiru.
Tenanglah,
Air mata takkan lunturkan keagunganmu.
Ia bukan dosa.
Jangan lari darinya.
Kamu boleh berduka,
Bila luka telah banyak menyapa.
Kamu boleh berlari,
Bila sudah terlalu tersakiti.
Inginku ke sana,
Dekap layumu.
Apa daya aku,
Jauh tak terkira.
Tapi tenang saja, Sayang!
Nanti kakiku ‘kan berpijak,
Di tempat kita bisa membayang,
Senyum jujur tanpa isak.
Mungkin juga bisa terbang,
Kabur dari kaktus-kaktus itu.
Tapi tunggu dulu ya, Sayang!
Sayapku sedang ditawan paku.”
Aku sedang membuka catatan yang berisi puisi-puisi lamaku, isinya kutulis sekitar dua sampai tiga tahunan yang lalu. Dan, puisi tadi adalah salah satu contohnya.
Puisi yang satu ini menarik perhatianku, membuatku tak bisa mengalihkan pandangan dari layar ponsel yang menampilkan deretan katanya. Penyebabnya adalah karena aku tiba-tiba saja lupa, mengapa aku menuliskan puisi ini? Hal apa yang menjadi inspirasiku dalam menuliskannya?
“Hmmm ...,” gumamku sembari mengerutkan dahi.
Ah, sudahlah. Aku sama sekali tidak dapat mengingat jawaban dari dua pertanyaanku itu.
Yang jelas, membacanya membuatku jadi terpikir untuk mengunjungi daerah yang ada padang pasirnya.
Di mana, ya?
Daerah Arab saja apa, ya?
“Tapi enaknya ke kota mana? Dan mau apa aku ke sana?”
...
Oh iya, ke Madinah saja! Medina ‘kan nama tengahku. Cocok, tuh! Nanti di sana aku bisa mendatangi Masjid Nabawi, ziarah ke makam Rasulullah SAW, lihat-lihat kebun kurma, dan lain-lain.
Oke, kalau begitu ... sepulang dari Spanyol nanti, aku akan mengambil waktu istirahat dua sampai tiga bulan di rumahku yang ada di Indonesia, lalu pergi lagi menuju Arab Saudi untuk mengunjungi Madinah.
Drrtt! Drrrttt!
Ponsel di tanganku bergetar; ada telepon masuk. Melihat nama “Maria Lopez” terpampang di layar, aku pun segera mengangkatnya.
“Ya, Maria?” kataku. “Ngapain kamu nelepon? ‘Kan kita ada di bangunan yang sama.” Maria dan Samuel memang telah kembali dari Barcelona. Mereka baru tiba semalam, dan sekarang ini masing-masing dari keduanya sedang menempati unit penyewa di sebelah kanan dan di bagian lantai bawah unitku—yang memang kosong sejak dua hari sebelum lebaran.
“Aku lagi ada di bawah, nih. Kamu masih di unitmu?”
“Iya, nih. Aku udah selesai siap-siap, kok. Udah mau berangkat, kah?”
“Belum. Tadi aku habis beli makanan dan minuman buat di perjalanan dulu, bareng Samuel. Nanti, lima belas menit lagi ke bawah, ya!”
“Oke, Maria!” Telepon pun ditutup.
Aku melihat-lihat puisi lamaku sekali lagi, lalu mematikan ponsel dan menaruhnya ke dalam totebag yang waktu itu kubawa saat pergi ke Mirador de San Nicolas. Bukan hanya totebag-nya saja yang sama, aku juga memakai pakaian yang sama—yang kupakai pada hari itu.