Elegi Asa di Langit Granada

Halifa Zari
Chapter #16

Zara; Merasa Bersalah

“Begitulah, Zara. Tragedi kedua yang menimpa keluarga Diego bukan hanya berakhir merenggut nyawa Abuelo, kakeknya Diego, tetapi juga sempat membuat Diego dan Abuela kritis selama beberapa waktu di rumah sakit. Tragedi di La Rambla, Barcelona, pada 17 Agustus 2017 itu menambah luka dan kesakitan di hidup Diego, sehingga membuatnya menjadi orang yang penuh amarah dan kebencian—seperti yang sekarang ini kamu kenal.”

Pandangan lemahku beralih dari Samuel yang duduk di depanku, menuju segerombol tulip merah di dalam vas bening yang tampak lunglai. Oh, betapa kembarnya aku dengan para tulip itu. Belum dimakan masa tua, belum kehilangan apa-apa yang sebelumnya membuat kami “lengkap”, tetapi sudah tampak tak berdaya.

Aku tak tahu apa yang membuat tulip-tulip itu jadi bersandar pasrah di pinggiran vas. Namun, aku berusaha menebak, mungkin karena mereka sudah muak dianggap sebagai bunga kebanggaan Belanda, padahal sejatinya mereka adalah “anak-anak” Turki dan Asia Tengah. Atau ... entahlah, mungkin ada alasan lain di balik kelunglaian mereka. Yang jelas, berbeda dengan mereka, lemasku sekarang ini adalah akibat terkena gempuran fakta-fakta yang serasa akan memecahkan kepalaku.

Aku ... bingung.

Merasa malu akan terjadinya tragedi-tragedi yang melibatkan nama agamaku. Marah, karena tidak habis pikir, mengapa mereka tega sekali melakukan hal mengerikan itu? Juga sedih, karena ternyata Diego pernah melalui banyak kejadian sesulit dan serumit itu di hidupnya.

Kehilangan anggota keluarga adalah jenis kehilangan yang paling menghancurkan hati.

Aku tahu rasanya. Dulu, dulu sekali saat aku kehilangan wanita yang melahirkanku. Pada saat hari itu menyapa, aku yang masih remaja, merasa tiba-tiba kehilangan arah.

Aku, yang kehilangan salah satu anggota keluargaku, dengan cara yang “tidak mengerikan” dan di umur yang sudah cukup besar saja, bisa merasa sesakit itu.

Apalagi Diego?

Dia kehilangan kedua orang tuanya di umur yang masih anak-anak, dengan cara yang sekejam dan semengerikan itu, bahkan saat dia sedang tinggal di tempat yang jauh dari kakek dan neneknya. Bahkan meskipun keluarga dari sahabatnya telah menemaninya selama masa menyakitkan itu terjadi—sambil menunggu kedatangan Abuela dan Abuelo ke Spanyol, tetap saja ... Diego tetap sendirian.

Lalu, tiga belas tahun setelah tragedi 11M itu terjadi, musibah serupa malah menimpa Diego lagi.

Tapi, aku masih tak mengerti ...,

“... Kenapa? Sebenarnya kenapa orang-orang itu tega sekali menghilangkan nyawa banyak orang, yang, bahkan tidak pernah mengenal mereka sebelumnya? Apa salah para korban? Apa yang telah mereka perbuat, sampai-sampai para orang jahat itu berpikir bahwa nyawa para korban tidaklah sedikit pun ada harganya?” Suaraku keluar, memberondong Samuel dengan banyak pertanyaan, sambil menatapnya dengan tatapan menuntut akan jawaban.

“Kami pun tak mengerti mengapa mereka melakukan hal-hal semacam itu, tapi yah ... setelah dilakukan penyelidikan selama berbulan-bulan, bahkan hingga bertahun-tahun, kami—masyarakat Spanyol—akhirnya mengetahui motif di balik serangan-serangan itu. Untuk tragedi 11M tahun 2004, motif pelaku melakukan pengeboman terhadap empat kereta komuter di Madrid adalah untuk melakukan pembalasan terhadap keterlibatan Spanyol dalam perang Irak, yang terjadi di tahun 2003. Mereka ingin menciptakan tekanan politik dan sosial di Spanyol, sehingga harapannya, Spanyol pun akan menarik pasukannya dari Irak. Dan harapan itu terkabul; Spanyol betulan menarik pasukannya dari Irak, tak lama setelah tragedi 11M itu terjadi.

“Lalu, untuk tragedi La Rambla tahun 2017, motif pelaku melakukan serangan tabrak lari pada para pejalan kaki di pusat wisata Barcelona itu, adalah untuk ....” Penjelasan itu terputus dari mulut Samuel, bersamaan dengan terhentinya tatapan pria bernetra biru terang itu dari sepasang mataku. Mata indahnya menatap ke arah yang tak jelas, berlari ke sana-kemari. Ke mana pun, yang jelas bukan ke arah mataku.

“Katakan saja yang sejujurnya, Samuel,” pintaku.

Buat apa dia tutupi bagian-bagian tertentu?

Rasa malu dan muak sudah mencabik pikiranku. Jadi, biarkan saja fakta-fakta lain berdatangan dan menambah perasaan negatif di sekuntum hatiku.

Lagi pula, kurasa akan lebih baik, bila aku bisa mengetahui semuanya, dan memproses segala kemarahan dan kesedihan yang hadir itu, sekarang. Aku tidak mau kalau harus sakit sedikit demi sedikit. Tidak.

Karena dilukai secara pelan-pelan jauh lebih buruk dibanding mati.

Mata biru Samuel menatap tajam kedua tangannya yang terlipat di atas meja makan. Kemudian, dengan rahang yang mengeras, ia melanjutkan ucapannya, “Mereka sengaja menyerang masyarakat Barat, karena itu adalah bagian dari jihad global yang mereka rencanakan. Mereka, para pemuda Maroko yang telah mengalami proses radikalisasi di komunitas mereka sendiri itu, tadinya berniat meledakkan tempat-tempat ikonik—yang tentu nantinya akan menjadi serangan besar dengan banyak korban. Namun, bahan peledak yang telah mereka siapkan ternyata meledak secara tidak sengaja di Alcanar. Sehingga akhirnya, rencana pun berubah menjadi serangan van di La Rambla.”

...

Aku sudah tidak tahu lagi, harus bagaimana menanggapi fakta-fakta yang kuterima ini. Rasa malu bahkan sudah bosan menjalari wajahku. Dan, meja makan pun tidak akan sanggup membantuku bersembunyi; melindungiku dari sebercak amarah yang mendiami mata bening Samuel, juga mungkin Maria—saat ini aku sedang tidak sanggup menatap ke arahnya.

Eh, tunggu dulu!

“Pemuda Maroko?” Samuel mengangguk. Masih ada api yang menjalari wajah putih pucatnya.

Aku jadi teringat Omar dan Amira. Mereka, ‘kan, juga berasal dari Maroko.

Setelah tragedi itu terjadi, bagaimana kehidupan mereka di Spanyol ini? Mereka pasti mengalami masa yang sulit setelah tragedi La Rambla itu menimpa Spanyol. Mungkin tidak separah yang dialami oleh keluarga dari sahabatnya Diego, karena tragedinya terjadi di tempat yang jauh dari kota tempat mereka tinggal.

Tapi apakah pada saat itu mereka tinggal di Granada? Atau sudah di Sevilla? Atau ternyata sedang di Barcelona?

Meskipun aku tahu kalau mereka sudah lama tinggal di Granada, dan menghabiskan tahun mengejar pendidikan dan karier di Sevilla, tapi ‘kan aku tidak benar-benar tahu, pada tahun berapa mereka menempati masing-masing kota itu?

Tidak, tidak. Apa-apaan kamu, ini, Zara?!

Orang Maroko yang tinggal di Spanyol itu ada banyak! Dan sepertinya, tidak mungkin juga kalau Omar dan Amira berkaitan dengan orang-orang jahat itu. Mereka berdua adalah orang-orang yang baik!

Ya, setidaknya itulah yang terlihat di mataku saat bertemu dengan mereka.

“Para pelakunya adalah pemuda-pemuda Maroko yang tinggal di Spanyol, tergabung dalam sebuah kelompok yang dipimpin oleh seorang imam radikal bernama Abdelbaki Es-Satty. Dan, menurut informasi yang tersebar, kelompok mereka terinspirasi oleh ideologi ISIS,” ujar Samuel, kembali menjelaskan.

“Apa mereka termasuk ke dalam anggota ISIS juga?” tanyaku.

“Bukan,” sanggah Samuel, “eum ... lebih tepatnya, sih, tidak terkonfirmasi sebagai anggota resmi.”

“Kalau begitu, muslim dianggap bersalah atas kedua tragedi itu?”

“Tidak—maksudku, begini ... pengadilan Spanyol tidak menyalahkan Islam ataupun umat muslim, tapi karena para pelakunya adalah orang-orang yang beragama Islam, masyarakat—khususnya dari kelompok sayap kanan—jadi memojokkan Islam dan para muslim, terutama yang tinggal di Spanyol ini.”

Maria ikut bersuara, “Namun, hal itu tidak memengaruhi keputusan pengadilan Spanyol, kok, mereka tetap tegas menetapkan kelompok-kelompok ekstrem lah yang bersalah, bukan orang-orang Islam. Bahkan, pemerintah membersamai organisasi Islam di Spanyol untuk menegaskan perbedaan antara Islam dan terorisme.”

“Meskipun tragedi yang kedua menyangkut hal sesensitif radikalisasi?”

“Ya,” sahut Samuel, “motif keagamaan ekstremis yang ada di balik tragedi La Rambla secara penuh dianggap sebagai bagian dari ideologi ISIS—sebagaimana memang hal tersebut lah yang menginspirasi sekelompok pemuda Maroko itu, dan bukan Islam secara umum.”

“Jadi, gara-gara dua tragedi mengerikan itulah, Diego jadi Islamofobia seperti sekarang,” kataku, menyimpulkan.

Meskipun keputusannya untuk mengarahkan rasa benci pada Islam itu tidak benar, tetapi menurutku, alasan di baliknya agak masuk akal.

“Lebih tepatnya, Diego menjadi Islamofobia baru setelah tragedi La Rambla yang merenggut nyawa kakeknya.”

Aku menatap Maria dengan bingung. “Karena saat tragedi 11M terjadi, Diego masih terlalu kecil, dan seperti yang sempat kamu jelaskan sebelumnya, dia pun jadi belum begitu paham akan apa yang terjadi?”

“Iya, benar. Seperti yang sempat aku bilang, tadinya dia tidak membenci muslim. Hanya saja, usai sahabat beserta keluarganya itu pergi, Diego jadi malas dan ogah berteman dengan muslim lagi. Dia takut, setelah dia bisa percaya dan nyaman dengan teman muslimnya, nanti dia akan ditinggal pergi secara tiba-tiba lagi.”

Aku mengambil gelasku, meminum isinya. Berharap air jernih yang menggenangi wadah bening itu bisa membawa sedikit ketenangan untuk hatiku. Usai habis dua per tiga isinya, aku kembali menatap Maria. “Tapi, ‘kan, keluarga sahabatnya Diego itu pergi karena mereka sudah tidak sanggup lagi menerima perlakuan buruk dari masyarakat?”

Samuel yang juga baru selesai meminum teh di gelas birunya—yang dia buat di tengah-tengah kegiatannya menceritakan tragedi La Rambla kepadaku, menjawab, “Ya, memang benar, mereka mempunyai alasan yang logis untuk kabur dari Spanyol. Namun, sebagaimana yang pernah Diego ceritakan pada kami, yang dia mau adalah ... sahabatnya itu bisa pergi setelah berpamitan dulu dengannya, dan bukannya malah pergi begitu saja.”

Hening menyapa selama beberapa detik. Melihat Samuel yang terdiam, tetapi tampak ingin menyampaikan sesuatu, aku pun tetap bungkam sambil menunggu. Pria itu meneguk tehnya beberapa kali, menaruh gelasnya ke atas meja makan yang berwarna cokelat, lalu berujar kembali, “Lagi pula, sebenarnya Diego kesulitan untuk menangkap dengan baik alasan kepergian sahabatnya itu. Yang kamu bilang tadi, itu pernah aku sampaikan padanya. Dan, ya, jawabannya adalah apa yang aku bilang sebelumnya.

“Tapi, dia juga bilang, kalau dia bahkan baru bisa memikirkan hal semacam itu setelah aku mengatakannya. Sebab dia memang kesulitan untuk berpikir secara rasional, terutama untuk hal-hal yang ‘dekat’ dengan traumanya, ...,” Samuel menyugar rambutnya yang serupa warna kopi itu dengan frustrasi. “... karena dia menderita PTSD.”

Tubuhku membeku selama beberapa saat. Tanganku bahkan tergantung kaku dengan pijakannya yang hanya mengandalkan pinggiran meja.

Apa lagi, ini?

“PTSD?” Aku menelan ludah. Tatapanku masih tertancap pada sepasang mata yang sebiru langit di pagi hari itu.

Kini, amarah Samuel sudah luruh total. Berganti dengan rasa sedih yang tersampaikan melalui embun di pelupuk matanya. Oh, betapa emosionalnya pemuda Spanyol di hadapanku ini. Dia pasti sangat amat menyayangi sahabatnya.

“Dia memang sudah lama menderita PTSD, lebih tepatnya sejak hari di mana kedua orang tuanya meninggal secara tragis. Sejak hari itu pula, Diego selalu didampingi oleh keluarganya yang tersisa—Abuela dan Abuelo, dan pihak-pihak yang profesional dalam menangani masalah mental. Akan tetapi, belasan tahun kemudian, di saat kondisinya sudah sangat membaik, dia malah mengalami kejadian tragis lagi, yang tentunya, membuat PTSD-nya kambuh dan malah menjadi semakin parah.

“Setelahnya, pun, dia berusaha berobat lagi. Namun, baru satu-dua minggu pengobatan berjalan, dia sudah menyerah dan memutuskan untuk berhenti. Memang, sih, kondisinya tidak selalu dalam ‘fase parah’, tapi karena dia belum melakukan pengobatan secara maksimal ...,” Samuel berhenti bicara sejenak untuk menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan perlahan, “... dia jadi mudah kambuh. Nanti membaik lagi, lalu kambuh lagi, dan membaik lagi. Begitu saja, terus.”

Membayangkannya saja sudah melelahkan sekali. “Apa setelah pengobatannya yang terakhir itu, dia tidak pernah mencoba berobat lagi?” tanyaku.

Aku menyadari bahwa melalui fase pengobatan memanglah tidak mudah, tetapi harus menjalani fase yang ‘on-off’ pun pasti lebih memuakkan, bukan?

“Selalu, Zara. Dia selalu berusaha untuk kembali berobat lagi, tapi selalu tidak tahan dan berhenti di tengah jalan.”

“Sampai sekarang masih begitu?”

Suara Maria yang menabrak tembok putih dapur membuatku jadi menatap ke arahnya, “Sekarang dia tetap lanjut berobat, tidak putus-putus seperti dulu, tetapi tetap saja ... jatuhnya percuma, karena dia hanya mau menjalani pengobatan dengan minum obat-obatan saja, tanpa menjalani terapi.”

Aku memandang wanita berkulit kecokelatan yang duduk di sebelah kananku ini dengan bingung. Kutumpukan pipi kiriku menggunakan tangan kiri yang sikunya bersandar di meja, sambil terus menatapnya. “Kenapa percuma? Bukankah bagus kalau Diego mau lanjut berobat, dan tidak tiba-tiba berhenti seperti dulu lagi? Memangnya obat-obat yang dia minum tidak dapat diandalkan sepenuhnya?”

“Ya, tepat sekali. Obat-obatan yang dia minum tidak bisa diandalkan sepenuhnya, karena obat berfungsi hanya untuk mengurangi gejala. Butiran-butiran yang harus diminum secara rutin itu tidak bisa mengatasi akar trauma atau pola pikir yang terbentuk akibat trauma. Makanya, sebanyak apa pun obat yang dia minum, atau serutin apa pun dia mengonsumsinya ... kalau tidak dibarengi dengan terapi psikologis, ya, tidak akan efektif. Makanya, dia tetap bisa kambuh seperti sekarang ini.”

Pandanganku memburam saat adegan pertengkaranku dengan Diego di taman Istana Partal tadi pagi menyapa ingatan. Dadaku berdenyut-denyut teringat kilatan amarah bercampur kesedihan yang meraung lewat tatapan mata pria itu. Aku menutup kedua netraku. Berharap dengan memejamkannya, bayangan emosional itu bisa kabur.

Namun, yang terjadi malah sebaliknya.

Aku malah jadi semakin bisa merasakan ketegangan yang terjadi pada saat itu, seakan tubuhku kembali terlempar ke kejadian pagi tadi.

Oh, tapi andaikan waktu bisa diulang, takkan kuucapkan kalimat yang bisa mengguncang trauma itu. Biarlah pria menyebalkan itu terus mengataiku sebanyak yang dia mau. Aku takkan membalasnya. Tidak, sebab aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama:

Membangkitkan duka yang telah berusaha dia taklukan ... seumur hidupnya.

“Kamu pasti kaget melihat amarah Diego tadi pagi.” Kalimat itu membuatku kembali membuka mata.

“Iya, Samuel. Aku kaget, bingung, dan takut.”

“Diego memang seperti itu kalau sedang kambuh. Bisa diam tak berekspresi dan seolah kehilangan semua emosinya, atau menangis parah sampai-sampai ruangan yang dia tempati hanya diisi jeritannya, atau juga marah dengan meledak-ledak hingga tak satu pun orang berani mendekatinya.”

“Bahkan kalaupun yang mendekatinya adalah Abue?”

Lihat selengkapnya