Elegi Asa di Langit Granada

Halifa Zari
Chapter #17

Diego; Hari Lahirnya Kebencian itu

Alunan lagu “Té para Tres” dari band Soda Stereo memenuhi kamarku, memberikan nuansa melankolis yang membuat kesendirianku ini jadi diselimuti hening dan sendu. Lirik-liriknya mengundang hatiku untuk bersedih, merenung akan kerinduan dan rasa cinta—pada mereka yang kini raganya telah erat dipeluk tanah.


Un sorbo de distracción,

Buscando descifrarnos.

No hay nada mejor,

No hay nada mejor,

Que casa.


Sebuah tegukan pengalih perhatian,

Berusaha memahami kita.

Tak ada yang lebih baik,

Tak ada yang lebih baik,

Selain rumah.


Mataku terpejam, menikmati nada-nada yang merasuki indra pendengaranku. Membuat pikiranku jadi terbayang-bayang akan satu dari tiga orang yang telah meninggalkanku; kakekku, Abuelo José Garcia.

Lagu yang berasal dari Argentina ini adalah lagu kesukaan Abuelo. Dia mendengarnya pertama kali pada tahun 1996, ketika sedang mengunjungi salah satu unit yang disewa oleh tamu rumah sewa kami.

Pria yang pada saat itu menyewa salah satu unit kami memang berasal dari Argentina. Dia datang ke Spanyol untuk memperbaiki taraf hidupnya. Sebab pada masa itu, sedang ada krisis ekonomi di Argentina, yang membuat banyak warganya memutuskan untuk bermigrasi ke Spanyol ini.

Dia baru berusia 23 tahun, hanya setahun lebih muda dari ayahku—Martin Garcia. Dan, karena pada tahun itu ayahku sedang berada jauh dari Granada—karena telah bekerja dan membentuk keluarganya sendiri di Madrid, Abuelo pun jadi dekat sekali dengannya.

Pria itu sudah dianggap seperti anaknya sendiri, seakan-akan menjadi adiknya ayahku. Yah, kebetulan, ayahku itu memang merupakan anak semata wayang.

Bagaimana reaksi ayahku?

Senang-senang saja.

Alasannya?

Pertama, karena dia jadi tahu rasanya memiliki saudara. Dan kedua, karena dia jadi tidak perlu khawatir akan keadaan kedua orang tuanya di Granada, sebab ada si “Pria Argentina” yang menemani mereka di rumah sewa.

Aku bisa tahu semua ini karena aku mendapatkan ceritanya baik dari Abuelo, Abuela, bahkan ayahku sendiri. Selain itu, aku juga bertemu dengannya di tahun 2004, pada hari di mana aku pindah ke Granada setelah kematian kedua orang tuaku.

Saat itu, si “Pria Argentina” sudah menikah dengan wanita asal Spanyol, juga sudah memiliki seorang anak lelaki yang usianya terpaut tiga tahun lebih muda dariku. Dan, karena alasan itu pulalah, “Pria Argentina” yang kemudian memiliki kewarganegaraan Spanyol itu pun pindah tempat tinggal.

Rumahnya hanya berjarak empat bangunan dari rumah sewaku ini. Jadilah, kepada anak dari si “Pria Argentina” itu aku sering menitipkan Abuela tiap kali aku sedang pergi ke Barcelona. Aku tidak memintanya untuk mengurus nenekku, melainkan hanya memintanya sesekali datang ke sini untuk mengecek keadaan Abuela. Karena aku takut nenekku itu akan kenapa-kenapa, di saat aku sedang berada jauh dari Granada ini.

Mengapa aku tidak menitipkan Abuela pada si “Pria Argentina” itu saja?

Awalnya iya, aku menitipkan nenekku pada pria baik hati itu, tapi tidak lagi sejak pertengahan tahun lalu. Hal ini dikarenakan pria tersebut telah meninggal dunia pada Juli tahun lalu.


Un sorbo de distracción,

Buscando descifrarnos.

No hay nada mejor,

No hay nada mejor,

Que casa.


Bagian favorit Abuelo dari lagu “Té para Tres” terdengar lagi. Membuat bayangan sosok Abuelo dan si “Pria Argentina” seakan sedang berada di dekatku.

Memang, lagi tersebut selalu disetel tiap kali mereka sedang menghabiskan waktu bersama. Aku saksinya, betapa hangat interaksi dua orang itu, yang sering mengobrol berdua di ruang keluarga kami sambil meminum teh. Dan, jika Abuela sedang ikut mengobrol bersama mereka, maka jumlah gelas tehnya pun jadi ada tiga.

Sebagaimana judul lagunya, “Té para Tres”, yang berarti “Teh untuk Tiga”.

Bagaimana denganku?

Pada saat-saat seperti itu, biasanya aku sedang bermain bersama anak dari si “Pria Argentina”, sambil ditemani oleh ibu anak itu.

Akan tetapi, meskipun keluarga kami dekat, aku tidak pernah benar-benar bersahabat dengan Miguel—anak si “Pria Argentina”. Bukannya aku tidak mau. Aku mau, dia pun mau.

Namun, luka besar yang merobek hatiku membuatku jadi agak kesulitan untuk terhubung dengan orang lain, apalagi dengan orang yang belum lama aku kenal. Tubuhku mungkin bisa berdekatan dengan mereka, tetapi jiwaku merasa kaku—tak bisa merasa sepenuhnya nyaman bersama mereka.

Untungnya, orang-orang itu mau mengerti keadaanku. Yah, kecuali Miguel, sih.

Dia yang waktu itu baru berusia empat tahun, sering menangis karena mengira aku ogah dekat-dekat dengannya. Padahal, dia sangat ingin bermain denganku. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, dia pun mulai paham.

Itulah kenapa, meskipun tidak benar-benar bersahabat, kami tetap cukup akrab dan sering saling menolong satu sama lain. Hingga hari ini.

“Belajarlah untuk melembutkan hatimu. Cobalah terima orang lain untuk datang ke hidupmu. Jangan terjebak dalam duka, dendam, dan kebencian, Diego.”

Itu adalah kalimat yang sejak dulu sering Abuela katakan padaku.

Sebetulnya, aku sudah bisa mengikuti nasihat dari nenekku itu. Akan tetapi, hanya berhasil pada Miguel, Maria, Samuel, dan teman-temanku lainnya yang bukan muslim. Sedangkan kepada kenalanku yang muslim, aku tetap bersikap dingin. Bahkan terkadang, aku tak ragu untuk mengusik mereka.

Contohnya pada Zara.

Menanggapi hal itu, Abue pun jadi mengulang-ulang nasihatnya lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi.

Bahkan mungkin, entah besok atau kapan, Abue akan kembali mengatakannya, setelah dia tahu kalau aku telah berusaha mencelakai Zara dengan lukisan kacaku.

Mataku terbuka, lalu mengarah ke jendela di sebelah kiriku. Aku bangkit dari ranjang, berjalan mendekati benda segi empat yang tengah malam ini masih terbuka lebar. Dari tempatku berdiri, kupandangi unit yang Zara sewa dengan tatapan datar.

Angin malam yang dinginnya membuat luka di dahiku jadi terasa ngilu ini, mengantarkan otakku untuk memutar ingatan akan kejadian beberapa jam yang lalu.

Di ruang melukis.

Ketika kedua punggung kaki Zara berlumuran darah, akibat serpihan-serpihan dari lukisan kacaku yang sengaja kulempar ke arah lantai di dekatnya. Darah itu mengalir tanpa henti, membasahi lantai ruang melukisku, menghalangi permukaan cokelatnya dengan cairan merahnya yang kental.

Maria menjerit panik, Samuel berusaha mendekat untuk memberi pertolongan. Sementara itu, aku hanya menonton dalam diam. Memandang lamat-lamat ke arah gadis malang itu.

Ah, wajah itu ....

Aku masih ingat dengan jelas, betapa wajah itu menyampaikan banyak emosi. Takut, kaget, panik, dan ngeri. Dia pasti benar-benar tak menyangka aku akan melakukan hal semacam itu padanya.

Zara, Zara ....

Kesakitan di kedua punggung kakimu itu bukanlah apa-apa.

Ayolah, gadis teroris sepertimu harusnya bisa menjadi sosok yang kuat dan tangguh. Bagaimana kau mau meledakkan diri bersama bom di ranselmu, kalau terhadap luka akan serpihan kaca saja kau tidak mampu menahannya?

Yah, tapi aku akan berusaha maklum, kok. Mungkin kau memang belum cukup terlatih.

Sabar, ya, para senior terorismu itu sekarang ini sedang mendekam di penjara. Meskipun begitu, tenang saja, sebab dari yang kubaca di berita, salah satu di antara mereka ada yang sudah bebas pada tahun 2023 lalu. Meskipun setelah bebas, salah satu pelaku tragedi 11M itu langsung dideportasi ke Maroko, tapi aku yakin ... dia pasti akan datang ke sini lagi,

Untuk melatih juniornya.

Kau, Zara.

Dan nanti, setelah kau menjadi berani, juga tidak takut mati, berkat pelatihan dari senior terorismu itu, aku akan membantumu merayakannya.

Ah, tidak.

Nanti saja, saat kau sudah berhasil melayangkan banyak nyawa dengan bom yang kalian rakit bersama itu. Karena setelah kemalangan dan kerusuhan itu berhasil kalian ciptakan, kalian pasti akan ikut mati.

Aku tahu, kalian pasti akan mati dengan bahagia. Bahagia karena telah berhasil melakukan jihad.

Oh, sungguh perbuatan yang mulia.

Dan, karena kau sudah terlanjur mati akibat kerusuhan yang kau buat itu, kau pun jadi tidak bisa merayakan kemenanganmu. Maka dari itu, akan kurayakan hari besar itu untukmu, Zara.

Akan kurayakan,

Sambil meletakkan satu gelas teh di masing-masing permukaan makam ayah, ibu, dan kakekku.


Un sorbo de distracción,

Buscando descifrarnos.

No hay nada mejor,

No hay nada mejor,

Que casa.


Té para tres.


Teh untuk tiga.

***

“Diego, sarapan dulu, ya? Kamu ‘kan harus minum obat,” kata Abue, usai ketukannya di pintu kamar kuabaikan.

Aku tetap diam. Tatapanku menancap langit-langit kamar, menahan perih di mata akibat pola tidur tadi malam.

Hancur, pola tidurku pasti akan jadi hancur selama beberapa minggu atau bulan ke depan.

Kadang-kadang, karena aku malas untuk tidur. Sebab sunyinya malam membuat hatiku sedikit damai. Dan aku suka itu.

Tapi kadang pula, justru karena aku tidak bisa untuk tidur. Tidak bisa, dalam artian; karena tidurku dicengkeram oleh mimpi buruk, aku jadi merasa takut untuk tidur.

Seperti yang tadi malam baru saja kualami.

Tiap kali kesadaranku mulai menurun, tiap kali itu pula mimpi akan tragedi kedua orang tua dan kakekku datang ke dalam tidurku. Membuatku jadi tidak tenang, gemetar, ketakutan, dan berakhir hanya bisa teronggok di atas ranjang dengan mata yang terbelalak.

“Abue bawa masuk makanannya ke dalam, ya?”

...

“Diego—”

“—Nanti saja, Abue,” jawabku pelan. Jarak kami masih terhalang dinding dan pintu kamar.

“Tapi makan, ya?”

“Ya, nanti aku makan.”

“Kapan Abue boleh ke sini lagi untuk membawakanmu makan?”

“...,” Mataku mengerjap-ngerjap, dengan otak yang tengah menerka-nerka. “... Setengah jam lagi,” kataku, akhirnya.

“Baiklah.”

Aku menggulingkan tubuh ke kiri, lagi-lagi memandangi jendela yang tadi malam kuhampiri sejenak. Tidak, kali ini aku tidak mendekat ke arahnya lagi. Aku sedang terlalu lemas, bahkan untuk sekadar berjalan dua-tiga langkah pun aku tak sanggup.

Aku hanya memandanginya dari sini, melesatkan sorot pandangku lewat sepasang mata milik kepala yang sedang tergeletak di atas bantal. Pikiranku mulai melayang-layang, menabrak langit-langit kamarku yang berwarna cokelat.

...

Sebenarnya, setelah kejadian 11M itu, aku belum membenci muslim. Sebab pada saat itu, aku masih sangat kecil. Aku memang syok dan sedih akan tragedi yang menimpa ayah dan ibuku, tetapi aku belum benar-benar paham, dan bahkan bingung akan apa yang telah terjadi.

Selain itu, memang, aku juga marah, sedih, dan kecewa sekali begitu tahu kalau keluarga Denna—sahabat masa kecilku—pergi dari Madrid secara tiba-tiba. Akan tetapi, hal itu tetap bukan merupakan sesuatu yang membuatku jadi benci pada muslim dan Islam.

Omong-omong tentang Denna ... dia dan Zara itu sama.

Sama-sama merupakan gadis muslim, berdarah Indonesia, dan menyukai sastra.

Karena Zara beberapa kali mengingatkanku akan Denna itulah, aku jadi semakin enggan untuk akrab dengannya.

Pertama, karena aku takut akan ditinggal pergi lagi. Sebab aku telah lama menebak, bahwa Denna mungkin saja pergi ke Indonesia—negara tempat ibunya berasal. Dan karena jauhnya jarak antara Spanyol dan Indonesia, Denna dan keluarganya pun jadi tidak mau untuk kembali lagi ke sini.

Makanya, kupikir setelah Zara pulang ke Indonesia nanti, dia pasti tidak akan datang kembali ke sini, dan akan melupakanku begitu saja. Sama seperti yang telah dilakukan Denna padaku.

Lalu kedua, ya ... murni karena aku Islamofobia saja.

Aku ... benci. Sangat benci pada mereka.

Dan di hari Kamis, pada tanggal 17 Agustus 2017 di La Rambla, Barcelona lah, kebencianku pada muslim terlahir.

***

Barcelona, 17 Agustus 2017 pukul 16.00.

Setelah kematian ayah dan ibuku, aku dibawa oleh Abuelo dan Abuela pulang ke Granada bersama mereka. Kakek dan nenek—yang kemudian mengambil alih tugas orang tuaku untuk mengasuhku ini—adalah orang tuanya ayahku. Aku berakhir diurus oleh mereka karena kakek dan nenek dari pihak ibuku sudah tiada. Agar lebih mudah dalam menjelaskannya, mulai kini aku akan memanggil mereka dengan sebutan “kakek kedua” dan “nenek kedua”.

Mulanya, aku tidak tahu mengapa kakek dan nenek keduaku itu tidak pernah kulihat, tidak seperti kakek dan nenek pertamaku yang sering kulihat—tiap kali aku berkunjung ke Granada ataupun mereka berkunjung ke Madrid. Bahkan, ibuku tidak pernah bercerita tentang kedua orang tuanya itu. Ayahku pun sama, tidak menjelaskan apa-apa mengenai mertuanya itu.

Namun, beberapa minggu setelah aku pindah ke Granada, akhirnya aku tahu ke mana ayah dan ibu dari ibuku itu. Abuela—yang pada suatu hari tengah bercerita padaku tentang kehidupan orang tuaku sebelum aku ada—bilang, nenek keduaku itu sudah meninggal dunia sejak ibuku baru berusia 20 tahun—empat tahun sebelum aku lahir. Sementara itu, kakek keduaku telah meninggalkan ibuku sejak beliau masih kecil sekali. Akan tetapi, perginya kakek keduaku bukan karena dipanggil oleh malaikat maut, melainkan karena diajak pergi oleh sifat tidak bertanggung jawabnya.

Itulah kenapa, ibuku yang hanya menempuh pendidikan sampai SMA saja itu pun memutuskan untuk merantau ke Madrid, seusai nenek keduaku itu meninggal dunia. Ya, karena dengan ijazahnya yang hanya SMA, ibuku jadi sulit untuk mendapatkan pekerjaan, dan berpikir bahwa mungkin masalah itu bisa dia pecahkan dengan merantau ke jantungnya Spanyol.

Namun, dulu, nenek keduaku sering melarang ibuku untuk pergi terlalu jauh darinya. Beliau ingin agar anak perempuannya itu bisa terus menemaninya. Boleh bila ingin bekerja, tetapi tidak boleh sampai meninggalkan Asturias—wilayah tempat mereka berasal. Karena itu, ibuku pun baru bisa pergi ke Madrid setelah ibunya itu meninggal dunia.

Di Madrid, ibuku mencoba banyak pekerjaan, hingga akhirnya dia merasa sangat passionate terhadap satu jenis pekerjaan: penulis naskah film. Karena beliau sangat suka menulis naskah—hal ini baru dia ketahui setelah belajar membuatnya pada suatu hari—dan menjadi penulis naskah film itu tidak memerlukan pendidikan yang tinggi, dia pun memutuskan untuk memilih karier tersebut.

Singkat cerita, dua tahun setelah meniti karier, ibuku bertemu dengan ayahku yang saat itu berprofesi sebagai seorang sutradara tetap di sebuah rumah produksi film. Mereka bertemu karena terlibat dalam proyek film yang sama. Rupanya, ayahku bukan hanya jatuh cinta pada naskah dari film yang sedang mereka garap bersama itu, tetapi juga jatuh cinta pada si penulis naskah—ibuku.

Ayahku, Martin, terus berusaha untuk mengejar cinta gadis bernama Claudia itu. Akan tetapi, karena trauma akan perilaku tidak bertanggung jawab ayahnya di masa lalu, si cantik Claudia pun jadi terus-menerus menolak cinta ayahku. Namun, karena ayahku itu orangnya sangat pantang menyerah—atau bisa dibilang keras kepala, si penulis naskah itu akhirnya jadi luluh juga.

Setahun kemudian, pada tahun 1996, mereka menikah. Dan di tahun 1997, beberapa hari setelah ulang tahun pernikahan mereka yang ke-satu, aku pun lahir; menjadi anak pertama mereka, yang sayangnya, sekaligus anak tunggal mereka. Karena sebelum sempat memberiku adik, mereka sudah lebih dulu ditarik dari kehidupan ini.

Lihat selengkapnya