Granada, 15 April 2024.
Cahaya matahari pagi masuk ke ruang lukis melalui jendela—yang separuhnya tertutup gorden. Memberi sedikit penerangan untuk ruangan yang tampak agak suram ini.
Sebenarnya, aku sedang tidak ingin terkena cahaya apa pun, baik cahaya matahari ataupun cahaya lampu. Aku ingin ditemani oleh gelap saja. Merasakan keheningan yang timbul darinya, yang entah mengapa, mampu memberiku secercah rasa nyaman dan aman.
Aku tidak tahu, tapi mungkin ... alam bawah sadarku merasa, bahwa hanya si gelaplah yang sanggup untuk memahami duka di hatiku.
Dialah yang paling mengerti, paling peduli, dan paling setia pada kemelut hatiku.
Tak peduli pada kebenaran atau kejahatan, tak ambil pusing akan hukum dunia, tak pernah sok paling paham etika, tak minat ‘tuk memalsukan diri demi pujian semata, tak sudi hilangkan identitas demi usir rasa malu ... hanya fokus berpihak pada rasaku saja.
Hal yang tidak bisa dilakukan oleh kedua sahabatku, dan bahkan nenekku.
Mereka, ketiga orang itu; tak pernah benar-benar memahamiku. Mereka selalu saja membela Zara, melindungi gadis itu, dan berpihak padanya; tanpa memedulikan denyutan ngilu di jantungku.
Kata mereka, aku tidak boleh jahat pada Zara, tak boleh menyerang dan menyakitinya, karena gadis itu tidaklah salah.
Lalu, apa salah ayah, ibu, dan kakekku?
Mereka tidak melakukan kesalahan apa pun, tapi malah mati dengan cara yang begitu keji.
“Diego ...,” panggil seorang wanita dengan lirih. Ketika aku menghampirinya di depan ruang kelas, dia langsung berlutut untuk menyejajarkan tinggi badannya denganku.
“Bunda Ika, Bunda udah dapet kabar Mamá dan Papá, belum?”
Bunda Ika, ibunya Denna—sahabatku, menatapku dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. “Diego, yang kuat, ya, Sayang.” Ia memegangi kedua sisi bahuku dengan erat. “Orang tuamu ... sudah meninggal dunia, Nak.”
Dengan isak tangis yang sama sekali tak bisa kutahan, aku pun bertanya, “Gara-gara bom di kereta itu, ya, Bunda?”
Deg-deg, deg-deg, deg-deg!
Tangan gemetarku menggapai ujung meja, berusaha mencari tumpuan bagi tubuh yang tiba-tiba melemas ini.
Nyaris saja tubuhku terjatuh dari kursi. Untunglah kesadaranku bisa gegas “kembali” dan mendorongku untuk buru-buru mencari pegangan. Kalau tidak, aku pasti sudah tergeletak di atas lantai—ambruk diserang ingatan buruk yang tiba-tiba datang ini.
“Air, aku butuh air ....”
Pandanganku berkeliaran ke sana-kemari, mencari keberadaan segelas air yang seingatku sempat kutaruh di atas meja. Begitu menemukannya, tangan kananku langsung terangkat untuk meraih gelas tersebut.
Namun, nahas, getar yang dengan gilanya mencekik tanganku ini malah membuat gelas itu jadi terjatuh. Kepingan kaca bening berserakan di atas lantai, tenggelam di antara tumpahan air.
“Diego? Ada apa? Suara apa itu?!” Rentetan pertanyaan itu muncul diikuti dengan suara pintu yang terbuka.
“Aku—tadi aku mau minum. Lalu gelasnya—.” Ucapanku terhenti, dihentikan oleh gugup dan sesak yang menghampiri.
Abue mengusapi bahu kananku. Senyuman tipis terukir di wajahnya yang menua. “Sudah, sudah, tenangkan diri dulu.” Ia pun menunduk ke arah bagian lantai yang kini sedang dicemari beling-beling. “Biar Abue yang bereskan.”
Aku ingin mengatakan sesuatu, pun melakukan sesuatu, tetapi tak bisa. Sulit sekali. Rasanya tubuhku telah dipaku di dudukan kursi kayu ini. Aku hanya bisa terdiam sambil menatap Abue—yang sekarang ini sibuk membereskan pecahan gelas. Aku pun masih saja diam, kala nenekku itu akhirnya keluar dari ruangan sambil membawa pecahan gelas tadi.
Kemudian, pandanganku berkeliaran lagi, melirik ke sana-sini dengan tidak jelas, sampai akhirnya jatuh tepat di atas meja kerjaku. Memandangi drawing tablet dan pen yang tengah tergeletak di sana, membuatku jadi teringat kalau sejak tadi aku sedang sibuk bekerja.
Ck, memikirkan hal-hal yang aneh membuatku jadi lupa akan kegiatanku sendiri.
Tangan kanan dan kiriku dengan kompak meraih kedua benda itu, ingin kembali fokus untuk melanjutkan pekerjaan yang semula sempat tertunda.
Lima menit, sepuluh menit, hingga lima belas menit pun berlalu, tetapi jemari kananku malah sibuk menggoreskan pen di permukaan drawing tablet dengan asal-asalan.
Aku ingin sekali lanjut menggambar, tetapi saat ini, rasanya otak dan tanganku sedang tidak sinkron. Aku merasa kebingungan sendiri.
“Ayolah, ayolah! Aku harus bekerja!” Aku terus mencoba.
Namun, nihil. Tubuhku tidak bergerak sesuai dengan perintah otakku. Sementara itu, pikiran dan pandanganku sama-sama semakin kehilangan fokusnya.
“Ayolah, Diego! Bagian ini harus selesai satu minggu lagi. Karena nanti, bagian yang selanjutnya harus sudah selesai bulan depan,” kataku kepada diriku sendiri, sambil kembali mencoba lanjut menggambar.
“Ayo, Diego! Ayo!” Tangan kanaku menggerakkan pen dengan gusar. “Satu minggu lagi, satu minggu lagi. Lalu, lalu, lalu ....” Pikiranku menampilkan potret kalender di otak, lalu tanggal-tanggal yang ada di sana. Sementara itu, mulutku malah terus-menerus menyebutkan hal-hal yang harus kulakukan sesuai dengan jadwal. Begitu gusar, seakan sedang dikejar-kejar oleh waktu.
“Ayo, Diego—argh, dasar otak tolol!” makiku sambil memukuli kepala. “Ayo, fokus, dong! Fokus! Kau juga!” Kali ini, tangan kananku yang aku pukuli. “Kerja, Tolol, kerja! Bisa kerja, tidak, sih?! Dasar tangan tidak berguna!”
Plak! Plak!
“Jangan buat aku kesal! Cepat kerja, Sialan!” Sekali lagi, kupukul kepala dan tanganku. “Kalau kalian lelet dan tidak becus begini, nanti aku keburu mati!”
PLAK!
“Ugh ....” Sambil meringis, kupegangi kepala bagian kananku yang terasa sangat ngilu.
“Kemarin ‘kan Abue sudah bilang, istirahat dulu! Jangan bekerja dulu!” Kulihat Abue—yang baru memasuki ruangan—menaruh nampan yang dibawanya ke atas meja, lalu mendekat padaku untuk mengusap-usap kepalaku dengan telapak tangannya.
Yah ... sebenarnya, kalau sedang “kambuh” begini, aku merasa tidak sanggup untuk bekerja. Namun, karena akhir-akhir ini aku sering teringat akan kenangan pahitku yang sempat hidup susah di Barcelona, jadilah aku memaksakan diri untuk tetap bekerja.
“Selain itu, Diego, berhentilah memukuli dirimu sendiri. Jangan sakiti dirimu sendiri, Nak.” Kurasakan puncak kepalaku dikecup oleh Abue. “Sudah, ya? Jangan tega pada tubuhmu sendiri.”
Aku hanya bergumam tidak jelas sebagai balasan. Tidak berani mengiyakan, sebab aku pun tak yakin akan bisa berhenti menyakiti diriku sendiri atau tidak.
“Nah, sekarang, makan dulu, ya? Biar Abue suapi.”
Kutatap sepiring makanan yang ada di atas nampan dengan tidak berselera. “Nanti saja. Aku belum mau makan.” Tatapanku beralih pada drawing tablet dan pen yang teronggok di sebelah nampan. “Aku mau lanjut menggambar lagi.”
“Sudahi dulu saja pekerjaanmu. ‘Kan bisa dilanjut nanti, sehabis makan dan istirahat.”
“Tidak mau, Abue.” Aku meraih lagi peralatan bekerjaku itu. “Pekerjaan ini adalah penyelamat hidup kita berdua. Tanpa kehadirannya dan gajinya yang sangat besar itu, hidup kita sekarang pasti sudah nelangsa. Makanya, aku tidak mau menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang ada ini.”
Kalau boleh aku jujur, sebetulnya aku tidak mau bekerja di Barcelona, karena kota itu seolah telah menjadi gudangnya kenangan pahit untukku. Akan tetapi, karena Barcelona adalah kota besar, gaji di sana pun sangatlah besar. Selain itu, karena aku merupakan lulusan La Salle Campus Barcelona, aku pun jadi bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan di Noa Pictures—yang notabene-nya merupakan salah satu dari tiga rumah produksi film terbesar di Spanyol.
Maka dari itu, meskipun harus tinggal di tempat yang membuatku trauma, aku tetap rela menjalaninya, asalkan gaji yang kuterima “sepadan” dengan sakit yang harus kutahan.
Tak apa, aku tak masalah harus mengorbankan mentalku sendiri. Karena, toh, berkat pengorbananku itu, aku jadi bisa merenovasi rumah sewa kami hingga jadi sebagus dan semenguntungkan sekarang ini.
Yah, tapi ... bukan berarti aku akan sanggup untuk berlama-lama hidup di sana. Kemampuanku untuk menahan rasa sakit juga ada batasnya. Makanya, karena alasan itulah, aku jadi sering pulang ke Granada ini. Biarlah aku kerepotan sebab harus bolak-balik Barcelona-Granada begini, asalkan gumpalan kesakitanku tidak meledak “di tengah jalan” dan jadi mengacaukan segalanya.
Omong-omong, Abue tidak tahu kalau itulah alasan utamaku sering bolak-balik Barcelona-Granada. Karena yang beliau tahu, aku melakukannya sebab aku khawatir dan ingin selalu melihat keadaannya. Ya, aku melakukannya karena alasan yang itu juga, sih. Namun, tetap saja, alasan utama mengapa aku memutuskan untuk bolak-balik Barcelona-Granada adalah karena “alasan luka”, bukan yang lain.
Tentunya, aku tidak akan pernah memberitahu Abue mengenai alasan utamaku itu. Sebab jika Abue sampai mengetahui hal tersebut, maka beliau pasti akan langsung menyuruhku untuk pindah kerja ke tempat kerja yang ada di Granada saja.