Elegi Asa di Langit Granada

Halifa Zari
Chapter #19

Diego; ...

Saat ini aku sedang berada di Al Sur de Granada, berdiri memandangi rak kayu yang menjulang tinggi. Rak yang berada tepat di hadapanku ini tengah memamerkan koleksi minuman beralkohol dengan berbagai merek.

Tepat di seberang kedua mataku, berdiri botol-botol wiski dengan alkohol berkadar sedang hingga tinggi. Aku, yang memang sedang ingin sekali minum wiski, sejak tadi sibuk memilih-milih botol manakah yang akan kubawa pulang.

Merek-merek di depanku ini, hmm ... Vega Sicilia, Balvenie, Singleton, Glenfiddich, Johnnie Walker, dan—ah, The Dalmore!

Segera saja kuraih botol bening yang bergambar kepala rusa di bagian depannya itu, lalu kubawa menuju lemari kayu pendek tempat si wanita pelayan toko tengah membungkus pesanan pelanggan lain—di baliknya.

Sambil mengantre, kutelusuri permukaan botol The Dalmore seri Vintage 2003 yang ada di tanganku. Ini adalah wiski variasi single malt dengan kadar alkohol mencapai 46,90%.

Aku menelan ludah dengan kasar.

Sudah cukup lama sejak terakhir kali aku minum minuman beralkohol dengan kadar setinggi ini; sekitar sebulan yang lalu—ketika aku masih di Barcelona dan belum pulang ke sini.

Aku jadi ragu-ragu.

Ini ... mungkin akan berbahaya untukku. Apalagi saat ini aku sedang aktif mengonsumsi sertraline dan prazosin.

Kalau aku sampai meminum minuman ini di tengah masa-masa aktif meminum obat, aku ... mungkin bakal mati.

Haruskah kuganti saja pesananku dengan wine berkadar alkohol rendah? Yah, meskipun bukan berarti—dengan melakukannya—tidak akan membawa bahaya untukku. Namun, setidaknya, kematianku mungkin bisa diundur sedikit lebih lama—

“—Ekhem!” Dehaman itu membuatku mendongak.

Wanita berambut amat pendek yang berdiri di balik lemari kayu pendek memandangiku. Ia bertanya, “Jadi beli yang itu?”

Dengan mata yang pandangannya mulai mengambang tak jelas, kutatap lagi botol di tanganku. Hawa dingin tiba-tiba saja datang menyergap, kala dari mulutku meluncur sebuah jawaban, “... Ya.”

Akhirnya, kuserahkan juga botol The Dalmore itu ke pelayan toko.

Wanita yang rambutnya tengah disinari cahaya lampu itu kini sibuk membungkus pesananku. Ketika botol bening di tangannya telah dimasukkan ke dalam kardus wadah berwarna turquoise—dengan tulisan “The Dalmore” dan gambar kepala rusa di depannya, aku berkata, “Tolong dibungkus serapat dan setertutup mungkin. Kalau perlu, pakai sampul cokelat.”

Wanita itu menghentikan kegiatannya. Dengan tangan yang masih memegangi pesananku, ia menatapku heran. Tatapannya bagai menyiratkan pertanyaan, mengapa?

Kami sudah cukup sering bertemu, karena aku memang selalu ke sini setiap ingin membeli minuman beralkohol—tiap kali sedang pulang ke Granada; jadi, mungkin dia heran melihat tingkah lakuku yang tak seperti biasanya. Karena biasanya, aku selalu santai-santai saja saat membeli minuman di sini, tidak pernah mengajukan permintaan yang aneh-aneh—meminta membungkus pesananku dengan setertutup mungkin.

Hening menyapa kami selama beberapa saat. Hingga kemudian, terdengar suara dehaman dari balik punggungku; memecahkan sunyi yang sempat tercipta.

Pada akhirnya, wanita itu tak mengatakan apa pun selain, “Baik.”

Usai membayar dan menerima barang belanjaanku, aku langsung keluar dari toko.

Sepanjang perjalanan pulang, aku terus memandangi toko dan resto di kanan-kiri jalan. Berpikir, haruskah kubeli sesuatu, agar belanjaan yang ada di tanganku ini bisa kuselundupkan ke dalam wadah belanjaan lain—dan jadi tidak tampak mencurigakan di mata Abue?

Kudongakkan kepalaku ke atas, menatap bulan yang tengah bergelayut di kegelapan langit malam. Kutatap terus, seolah lingkaran perak itu berkemampuan untuk memberiku jawaban.

Usainya, aku yang merasa muak karena tak kunjung mendapat jawaban, pun, memilih untuk mengarahkan pandanganku agar kembali fokus ke arah jalan lagi.

Silir angin yang tiba-tiba datang—berembus agak kencang; menyerang tubuhku dengan dingin yang dibawanya. Refleks, kugerakkan tanganku untuk merapatkan jaket cokelat tua yang sedang kupakai.

Kutatap jam tangan di pergelangan tangan kiriku. Baru jam sepuluh lewat dua puluh menit. Ini belum terlalu malam. Sekitarku bahkan masih ramai oleh pemuda-pemudi yang berpacaran sambil makan di restoran. Namun, mengapa udaranya sudah terasa sedingin ini?

Memang, sih, tiga jam yang lalu sempat ada hujan deras, tapi hujannya ‘kan cuma turun sebentar. Jadi kenapa udaranya bisa sedingin ini?

Ah, atau mungkin, ini hanya perasaanku saja?

Aku menengok ke sekelilingku. Semua orang tampak biasa saja. Ceria, bersemangat, dan penuh energi. Tak ada yang kelihatan sedang kedinginan seperti aku.

Ya, sepertinya benar. Ini hanya perasaanku saja. Mungkin tubuhku menjadi “aneh” karena terlalu banyak mengonsumsi obat.

Akibat terlalu banyak melamun, aku baru sadar kalau aku sudah berjarak hanya satu meter dari tembok rumah sewa milikku dan Abue.

Aku menunduk, menatap benda berbentuk persegi panjang berbungkus sampul cokelat yang sedang dipegang tangan kananku.

Apakah akan aman kalau kubawa begini saja?

Ah, sudahlah. Sudah telanjur juga, ‘kan?

Aku memasuki area rumah sewa dengan degup jantung yang tiba-tiba menggila, seperti maling yang takut tertangkap basah akan mencuri saja.

Langkahku di atas halaman berbatu kupercepat.

Aku harus bisa segera sampai ke—

“—Diego!”

Deg.

Itu suara Abue.

“Diego! Kamu dengar Abue?”

Aku mengedarkan pandangan, berusaha mencari sumber suara di tengah berisiknya bunyi gemercik air mancur di tengah halaman.

“Abue di sini—dapur lantai tiga!”

Aku mendongak ke arah yang disebutkan Abue. Kulihat nenekku itu sedang berdiri di depan pintu dapur lantai tiga—dekat tangga. Di sisi kiri tubuhnya menyembul kepala Samuel dan Maria yang mengintip.

Sedang apa mereka?

“Ada apa, Abue?” tanyaku akhirnya, sambil berusaha menutupi rasa takut. Bungkusan bersampul cokelat yang ada di tanganku, kupegang dengan erat.

“Ayo, sini!” ajak Abue.

“Ngapain?”

“Makan sama-sama. Yuk!” ajak Abue lagi.

“Iya. Udah lama kita gak makan bareng, ‘kan?” ujar Maria, ikut bersuara.

Mendengarnya, tatapanku pun bergeser, jadi jatuh ke air yang sedang tumpah dari puncak air mancur.

Dipikir-pikir ... iya juga, sudah lama kami tidak makan bersama.

Sejak kejadian di taman Istana Partal itu, aku jadi menjauhi semua orang. Baik Abue, Maria, maupun Samuel sama-sama selalu berusaha untuk datang menghampiriku. Namun, sejauh ini hanya Abue yang benar-benar berhasil. Karena Maria dan Samuel seringnya kuusir pergi.

“Huft ....” Napasku berembus kasar.

Sepertinya, melihat air mengalir dari puncak air mancur membuat hatiku jadi sedikit lebih lunak. Karena aku mengatakan, “Ya, aku ke sana,” sebagai jawaban.

Lagi pula, mungkin ini akan jadi makan malam bersama kami yang terakhir kali, jadi tak ada salahnya kalau kuiyakan saja ajakan mereka ...

... Ah, rupanya keputusanku ini salah.

Karena begitu kedua kakiku melewati pintu dapur, kulihat Zara sedang berdiri di dekat meja makan.

Kok bisa dia ada di sini?!

Maksudku, bukankah tiga jam yang lalu dia tampak berpenampilan rapi sekali, seperti orang yang mau bepergian?

Yah—kupandangi penampilannya dari atas hingga ke bawah, sekarang dia masih memakai kemeja birunya itu, sih, tapi ... masa iya, dia memakai pakaian semacam itu hanya untuk duduk-duduk santai di lantai tiga ini?

Bukannya apa-apa, tapi alasanku mengiyakan ajakan Abue dan kedua sahabatku itu, ‘kan, juga karena kupikir Zara sedang pergi—sedang tidak mengganggu dengan menyempil di tengah-tengah kami berempat!

“Diego, ayo!” Ajakan itu terdengar bersamaan dengan terasanya genggaman lembut di lengan kiriku.

Aku menoleh ke nenekku itu. Memberi ekspresi sedatar mungkin; berusaha menyampaikan rasa muakku karena melihat keberadaan Zara di sini.

Namun, Abue malah tersenyum dengan lembut. “Ayo, Sayang. Duduk dan makanlah bersama kami,” katanya, tanpa menggubris amarahku yang sedang tertahan ini.

Sambil berdecak kesal, kuhampiri meja makan dan duduk di salah satu kursinya—tunggu! Kenapa ada lima kursi di sini? Bukankah seharusnya hanya ada empat?

...

Ck! Rupanya mereka sudah merencanakan hal ini di saat aku pergi!

Kutatap gadis berkemeja biru yang masih berdiri di dekat meja makan itu. Dia berada di serong kiriku—tapi agak di depan. Tatapanku jatuh ke sepasang kakinya.

Kedua kaki itu memang sedang tertutup oleh kaus kaki abu-abu, sekarang, tetapi aku masih bisa melihat ada semacam lapisan di bawah kain itu. Tebakanku, itu pasti perban tipis yang membalut luka di kakinya.

Belum sembuh, ya?

Yah, aku tak peduli, sih. Makanya, aku segera buang muka setelah merasa puas melihat “hasil karya”-ku itu.

“Kamu habis beli apa?” tanya Samuel.

Aku menatap bungkusan yang kini kutaruh di atas meja. Warna sampulnya nyaris sama dengan warna meja makan ini. “Bukan apa-apa, cuma cemilan buat nanti di kamar,” jawabku, bohong.

“Nah, kebetulan, sebelum makan cemilan, kamu makan pizza ini dulu aja, ya! Biar kenyang sampe tidur nanti,” kata Maria. Tangannya menyodorkan potongan pizza yang telah dipisahkan untukku—di atas piring putih.

Sejenak, aku mengembuskan napas lega. Aku bisa sedikit lebih rileks, karena rupanya mereka tidak mencurigai benda yang sedang kubawa ini.

Karena kalau mereka—terutama Abue—tahu aku baru saja membeli wiski dengan kadar alkohol sebesar itu, di saat aku sedang aktif meminum sertraline dan prazosin, mereka pasti akan langsung murka kepadaku, apalagi ...

... setengah jam lagi adalah jadwalku untuk meminum prazosin.

“Ayo, Diego, makanlah pizza-nya,” pinta Abue. Kini, dia, kedua sahabatku, dan satu manusia yang tak kuharapkan kehadirannya, sudah menduduki kursi mereka masing-masing.

“Kalian makan juga, ‘kan?” tanyaku, seolah takut diracuni—entah dari mana pemikiran konyol itu berasal.

“Iya, dong!” Maria mengangkat pizza dari piringnya, diikuti yang lain.

Aku menatap makanan berbentuk segitiga di atas piringku ini. Pizza yang kini tersaji adalah pizza yang dipenuhi topping sosis chorizo, keju, potongan buah zaitun, pimiento—paprika panggang, dan bawang putih. Bumbu yang bertabur di atasnya adalah bubuk kunyit, dan ada saus romesco juga yang membuat pizza ini jadi semakin tampak menggiurkan.

Oh, ini pizza ala Granada.

Akhirnya, kuambil pizza itu dan kugigit mulai dari bagian yang banyak saus romesco-nya

Sesuap, dua suap.

Hingga ketika pizza-ku sudah habis setengah, kutolehkan kepala ke arah Abue yang duduk di sebelah kananku. “Ini Abue yang bikin?”

“Bukan.” Ada jeda beberapa detik sebelum Abue melanjutkan ucapannya, “Zara.”

Tanpa ragu, langsung kulempar pizza—yang semula sedang kumakan—ke arah pot tanaman di bawah jendela.

Hawa dingin dan sesak tiba-tiba memenuhi dapur.

Aku tak peduli. Kuambil bungkusan berisi minumanku, lalu melangkah cepat meninggalkan dapur beserta orang-orang di dalamnya yang sempat kulihat terdiam kaku.

Begitu tiba di rumah, aku bergegas mencari gelas glencairn—yang akan kugunakan untuk meminum wiski—di dapur, kemudian cepat-cepat masuk ke dalam kamar.

Sesampainya di kamar, aku langsung mengunci pintu, lalu membuka bungkusan yang sejak tadi kubawa.

Tok-tok-tok!

Lihat selengkapnya