Usai pintu rumah kubuka lebar, yang kulihat pertama kali adalah sosok Zara yang sedang menuruni tangga dengan langkah pelan. Gadis yang mengenakan blus linen putih dan celana palazzo beige itu tampak kesusahan. Tiap kali kaki yang terbalut sneakers putihnya menapaki permukaan anak tangga, wajahnya akan meringis menahan nyeri.
Penderitaannya itu seolah belum juga cukup, sebab dia pun mesti menjaga agar lengan kanannya tak melakukan hal-hal berat. Maka dari itu, hanya tangan kirinyalah yang dia andalkan untuk mencengkeram kuat susur tangan; mempercayakan keselamatan tubuhnya hanya pada satu pegangan saja.
Yah ... habisnya mau bagaimana lagi? Lengan kanannya ‘kan sedang terasa sakit. Bahkan mungkin sedang bengkak dan membiru, sekarang—pemandangan itu tak dapat kulihat sebab tertutup oleh blusnya yang panjang.
Semua itu; segala derita yang sedang ditanggung, luka-luka yang harus disembuhkan, dan rasa sakit yang harus ditahan oleh Zara ...
... adalah hasil dari perbuatanku.
Dan aku tidak menyesalinya, ataupun merasa bersalah.
Sama sekali.
Bahkan ketika akhirnya pandangan kami hersirobok, aku tak merepotkan diri menawarkan bantuan kepada gadis malang itu.
Jahat sekali.
Rasanya, sekarang ini aku seperti seorang pria yang kejam, bengis, tidak berperasaan, dan tidak bertanggung jawab.
Aku tidak tahu mengapa aku bisa memiliki kekelaman di dalam benakku, di saat Papá dan Abuelo sungguhlah pria penyayang nan baik hati.
Ah, mungkin ... busuk yang membau di dinding hatiku ini adalah warisan dari ayahnya Mamá.
Warisan yang tak kusesali kehadirannya.
Dan justru kusyukuri. Sebab karenanya, aku jadi bisa menyampaikan kebencianku dengan jujur dan tanpa ragu-ragu.
Aku jadi mampu tetap tak acuh pada keadaan gadis itu, sehingga si gadis malang pun jadi muak dan langsung membuang muka. Dengan masih kesulitan, dia berusaha melangkahkan kaki di atas halaman yang batunya dipenuhi lumut.
Awalnya, kukira tumbuhan basah itu akan membuat Zara terpeleset dan mereguk kemalangan baru. Namun, rupanya tumbuhan tingkat rendah tersebut malah berbaik hati pada Zara. Dia membiarkan gadis berjilbab dusty rose itu menginjak-injak mukanya dengan aman. Sehingga si gadis pun jadi bisa sampai ke pintu cokelat dengan selamat, lalu pergi menjauhi rumah sewa.
Ternyata aku lebih rendah dari tumbuhan tingkat rendah, tapi—ah, apa peduliku?
Aku juga ikut pergi, berjalan keluar dari area rumah sewa.
Di pagi yang cukup berawan ini, aku harus pergi ke minimarket untuk berbelanja. Aku melakukan hal ini atas suruhan Abue, sebab nenekku itu harus pergi ke rumah temannya sejak pagi-pagi sekali—sehingga membuatnya jadi tidak bisa pergi untuk belanja mingguan ke minimarket.
Kala kakiku menapaki Calle Elvira, kemudian berbelok ke kiri, kulihat di depan sana Zara belum jalan terlalu jauh. Pasti luka di kedua punggung kakinyalah yang membuat langkahnya jadi tersendat-sendat.
Oh ya, omong-omong, ini adalah kali pertamaku bertemu dengan Zara lagi setelah kejadian di dapur area rumah sewa—dua hari yang lalu—itu.
Waktu itu, usai mengatakan hal-hal jahat pada Zara, aku langsung kembali ke rumahku dan Abue untuk meminum sertraline. Dan karena itulah, keadaanku jadi memburuk.
Ditambah lagi, dalam dua hari terakhir ini aku tetap rutin meminum sertraline dan prazosin, jadi segala kekacauan dalam fisik dan mentalku pun bertambah parah setiap harinya.
Suasana hatiku bisa berganti-ganti dari marah, sedih, dan kosong hanya dalam beberapa jam saja; mimpi burukku kembali mengusik tidur lelapku baik di siang ataupun malam; rasa lemas masih menggelayut dan membuat aku tak bisa berjalan cepat; dan kepalaku sesekali merasakan ngilu tak tertahankan.
Namun, aku harus berusaha tampak kuat dan baik-baik saja—terutama ketika sedang berada di dekat Abue, agar orang-orang terkasihku tidak curiga maupun khawatir. Aku tidak mau mereka sampai mengetahui tindakan bodoh yang sedang kulakukan ini, dan akhirnya mengacaukan rencana—ah, sial!
Zara yang tampak sedang berusaha mempercepat langkahnya—di depanku—membuatku jadi tidak fokus. Karena rasa sakit yang menjalari kakinya, langkahnya yang tergesa itu jadi tampak aneh. Bahkan, seorang anak lelaki yang sedang bersepeda di dekat kami pun jadi menatapnya dengan bingung—karena kejanggalan dalam tiap tapak kakinya itu.
Aku berdeham agak keras. Lalu mengejar langkah Zara yang sama sekali tidaklah cepat itu, dan berbisik di dekatnya, “Tidak usah panik begitu. Aku tidak akan menyakitimu di ruang terbuka seperti ini.”
Tubuh Zara terlonjak kaget, dia menoleh dengan kedua mata yang awas. Ada kecemasan dan rasa takut yang menyorot kuat dari tatapannya. Namun, dia tidak mengatakan apa-apa, dan malah kembali meneruskan jalannya dengan langkah yang lebih dipercepat.
“Aduh!” keluhnya sambil berhenti sejenak. Sambil berpegangan pada batang pohon jeruk yang ada di sisi kiri jalan, gadis itu menunduk; menatap kedua kakinya dengan peluh yang mulai berjatuhan.
“Señorita, ¿está bien? ¿Puedo ayudarla en algo?” (Nona, apakah kamu baik-baik saja? Ada yang bisa aku bantu?) tanya Patrick. Anak lelaki yang merupakan tetanggaku itu mendekatkan sepedanya ke arah Zara.
Zara menoleh, memandangi Patrick dengan ekspresi bingung. Tentu saja dia bingung. Dia ‘kan tidak paham bahasa Spanyol.
Memang payah. Padahal sudah satu bulan dia tinggal di negara ini.
“Huft ....” Aku menghela napas lelah. Kuhampiri dua orang yang sedang berdiam di dekat pohon jeruk itu. Kemudian, aku pun berkata pada Patrick, “Patrick, esa señorita no entiende español. La conozco, déjame ayudarla yo.” (Patrick, nona itu tidak paham bahasa Spanyol. Aku mengenalnya, biar aku saja yang bantu dia.)
Patrick terdiam sejenak. Tatapannya mengarah padaku dan Zara secara bergantian.
Kenapa, sih? Apa dia tidak percaya kalau aku akan membantu Zara?
“Vale, Tito Diego.” (Oke, Om Diego.) Setelah mengatakan itu, Patrick pun berpamitan pada kami dan kembali mengayuh pedal sepedanya.
Tangan kiriku terayun, bermaksud untuk meraih lengan kanan Zara. Namun, gadis itu malah menghindar. Matanya masih dipenuhi rasa takut tiap kali memandangku.
“Aku bisa sendiri,” katanya dengan pelan.
“Aku sudah bilang pada Patrick, kalau aku akan membantumu.”
“Kamu tidak perlu benar-benar melakukannya, Diego. Lagi pula, percuma saja. Kalau kamu melakukannya ...,” Ucapan itu terjeda selama beberapa detik, “... berarti kamu pun melakukan kebaikan palsu. Sama seperti yang dua hari lalu kamu tuduhkan kepadaku.”
Untuk sesaat, kami hanya bertatapan sambil ditemani oleh keheningan. Silir angin pagi yang datang, menggoyang-goyangkan jilbab dusty rose Zara dan rambut cokelat tuaku.
Tangan kiriku tetap menggantung di udara; seolah dibuat beku oleh ucapan Zara.
Gadis itu tiba-tiba saja mengalihkan pandangan dariku, kemudian mengarahkan pandangannya pada Patrick yang sedang mengayuh sepedanya—mulai menjauh dari kami. Dengan tangan kiri yang sudah kuturunkan kembali, aku ikut memandang ke arah yang sama.
Usai Patrick benar-benar telah menjauh dari kami dan hilang di antara bangunan bertingkat yang memenuhi distrik ini, Zara berujar, “Dia sudah pergi, sekarang. Dia tidak akan tahu kalau kamu tidak benar-benar membantuku.”
Dan hanya beberapa detik setelah mengatakan hal itu, dia pun melanjutkan langkahnya yang penuh dengan kesulitan. Sementara itu, aku terdiam di tempatku berdiri sambil memandanginya.
...
Kupikir, sepertinya Zara sudah mulai tidak betah berada di rumah sewa. Mungkin dia merasa sudah tidak sanggup lagi kalau harus menghabiskan waktu di tempatku itu. Makanya dia sampai memaksakan diri untuk bepergian, padahal kaki dan tangannya belum betul-betul pulih dari cedera.
Kalau begitu, berarti tidak lama lagi Zara pasti akan memutuskan untuk pulang. Dia akan kembali ke negara asalnya dalam waktu dekat ini, karena sudah tidak mampu lagi bersabar menghadapi hal-hal yang menimpanya di sini.
Kalau begitu, haruskah kulakukan sesuatu untuk “membantunya” membulatkan tekad untuk mempercepat kepulangannya?
Harus kuapakan lagi dia, agar semakin merasa tidak betah dan menjadi semakin yakin untuk segera pulang?
“Yah, sedikit kekerasan lagi sepertinya tidak masalah. Apalagi, Zara pun pernah menampar wajahku, ‘kan?” batinku, sambil kembali berjalan lurus menuju tempat tujuanku.
Begitu sampai di depan minimarket yang kutuju, aku menoleh ke arah Zara yang langkahnya sudah jauh dari tempatku. Dan usai memandangi gadis berjilbab itu sebentar, aku pun langsung masuk ke dalam minimarket.
***
Sepulang dari minimarket, aku langsung membereskan belanjaan yang aku bawa; agar ketika Abue sampai di rumah nanti, semua barang yang kubeli ini sudah tertata dengan rapi di tempatnya.
Walaupun fisik dan mentalku masih kacau akibat kombinasi alkohol berkadar tinggi, prazosin, dan sertraline yang sedang mendiami tubuhku ini, aku tetap rela melakukan apa pun untuk nenekku itu.
Maka dari itu, usai membereskan barang belanjaan, aku pun segera membersihkan rumah.
Biasanya kami memang akan bergantian dalam tugas membersihkan rumah, bahkan terkadang melakukannya secara bersama-sama. Hanya saja, akhir-akhir ini—tepatnya sejak PTSD-ku kambuh—aku jarang membantu Abue dalam mengurus rumah.
Dan kurasa saat ini adalah waktu yang tepat untuk membantu Abue, sebab nenekku itu rupanya belum sempat membersihkan rumah kami sebelum pergi ke rumah temannya—dia memang pergi dengan terburu-buru sekali.
Aku mengambil escoba (sapu) berbulu sintetis yang ditaruh Abue di dekat laci samping tangga, lalu segera menyapu lantai rumah kami. Aku juga menggunakan recogedor (sekop sampah) untuk menampung debu dan sampah-sampah kecil yang mengotori lantai rumah ini.
Iklim di Granada terkadang bisa kering sekali dan membuat lantai jadi lebih mudah berdebu—apalagi saat musim panas, jadi menyapu lantai secara teratur adalah hal yang sangat penting untuk menjaga lingkungan tempat tinggal kami bisa selalu bersih.
Setelahnya, aku lanjut mengepel rumah menggunakan fregona (pel lantai) dan cubo (ember penampung air). Hanya saja, berbeda dengan sebelumnya—tadi aku menyapu ketiga lantai yang ada di rumah ini, kali ini hanya lantai satu saja yang aku pel lantainya.
Bukannya aku malas, tetapi kondisiku yang masih lemah tidak memungkinkanku untuk bisa maksimal dalam membersihkan rumah. Bahkan, meski belum terlalu banyak kegiatan yang kulakukan pagi ini, aku sudah merasa cukup kelelahan. Tindakan bodohku yang minum alkohol berkadar tinggi di saat aku sedang rutin meminum sertraline dan prazosin; hanya membuat fisikku bertambah lemah setiap harinya—kalau mental sih sudah tak perlu dipertanyakan lagi keadaannya.
Yang aku heran, bagaimana bisa aku tetap hidup setelah semua kekacauan yang menimpa tubuhku ini?
“Bahkan kupikir, seharusnya aku sudah mati sejak dua hari yang lalu,” ujarku di dalam hati, sembari mengembalikan fregona dan cubo ke tempatnya semula ditaruh.
Kondisi lantai yang tidak terlalu licin—sengaja kubuat begitu agar Abue tidak jatuh kalau dia tiba-tiba datang nanti—membuatku memutuskan untuk langsung beranjak ke depan sebuah lemari dan membereskan isinya.
Lemari kayu yang ukurannya cukup besar ini ada di sudut ruangan, tak jauh dari sofa ruang keluarga. Biasanya aku tak pernah membereskan isi lemari yang ini, karena Abue selalu ingin agar dirinya saja yang membersihkan benda berpintu dua itu.
Kali ini, akulah yang akan membereskannya. Pertama, karena Abue sedang tidak berada di rumah—dan berarti sedang tidak bisa membereskannya. Lalu kedua, karena tiba-tiba saja aku penasaran dengan lemari ini.
Memangnya apa yang disimpan Abue di dalam lemari ini, sampai-sampai dia selalu bersikeras agar dirinya saja yang membereskannya?
Ketika pintu lemari yang tak terkunci kubuka, aku melihat ada banyak tumpukan kotak di dalamnya. Kotak-kotak itu tampak cukup rapi, mungkin karena jarang disentuh. Kalau keadaannya sudah rapi begini, aku jadi tidak tahu harus membereskan apa.
Namun, karena rasa penasaran yang memenuhi dada, aku pun tetap meraih kotak-kotak itu dan memeriksa isinya satu per satu. Kotak-kotak yang ada di bagian atas dan tengah berisi barang yang biasa-biasa saja. Jadi, kuputuskan untuk beralih ke kotak-kotak yang ada di lemari bagian bawah.
Ah, yang ini juga isinya cuma barang-barang biasa. Di dalamnya hanya ada selimut dan seprai pengganti—kalau-kalau yang sekarang kami gunakan kotor dan perlu dicuci, alat menjahit, dan alat merajut—tunggu!
Rupanya, ada kotak lain yang tersimpan di belakang kotak alat-alat merajut milik Abue. Kotak yang itu ukurannya lebih kecil dari kotak lain yang ada di dalam lemari ini.
Aku segera mengambilnya, lalu langsung membuka tutup kotak berwarna cokelat muda itu. Ketika tutup itu terbuka, yang dilihat pertama kali oleh mataku adalah sekumpulan foto yang ditumpuk terbalik—sehingga aku hanya bisa melihat bagian belakangnya saja. Foto-foto itu tampak sudah usang sekali.
Tangan kananku terulur untuk meraih tumpukan lembar tipis itu. Dan setelah lembar-lembar foto itu kubalik agar bisa menghadap mataku, aku langsung mendapati potret orang-orang yang sangat kukenal di muka lembaran foto tersebut.
Di foto pertama, terdapat potret aku dan kedua orang tuaku yang sedang tersenyum di depan sebuah bangunan. Aku memandangi foto itu lama.
Papá ....
Aku baru sadar, rupanya fisikku ini sangat mirip dengan Papá. Kulit kami putih pucat, dengan rambut dan mata yang sama-sama cokelat tua. Hanya saja, tubuh Papá lebih berisi dibandingkan aku. Sorot mata Papá pun jauh lebih lembut dan terasa meneduhkan. Senyumannya tulus sekali, mengingatkanku pada senyuman Abue.
Meskipun secara fisik kami berdua mirip sekali, tapi aku yakin, orang-orang tetap akan dengan mudah membedakan kami. Bukan hanya karena kami memang orang yang berbeda, atau karena kenyataan bahwa fisik Papá tidak mungkin masih sama dengan yang di foto bila dia masih hidup saat ini; melainkan juga karena Papá dan aku menunjukkan aura yang berbeda.
Papá tampak seperti seorang pria yang halus dan lembut, juga tentunya penyayang. Dan memang dia adalah pria yang seperti itu. Sementara itu, aku ini tampak seperti seorang pria yang judes dan sering badmood—Maria pernah bilang kalau wajahku tampak menyebalkan. Dan memang aku adalah pria yang seperti itu.
Namun, rupanya ekspresi wajahku yang judes dan sering badmood ini bukan muncul tanpa sebab, melainkan ada karena diturunkan oleh Mamá.
Karena dari yang kulihat melalui foto di tanganku ini, Mamá tampak judes dan galak sekali walaupun sedang tersenyum. Bahkan, rambut bergelombang berwarna cokelat kemerahan dan mata berwarna abu-abunya itu menambah kesan garang yang sudah dia miliki. Selain itu, ada sisi keras yang tersampaikan melalui tulang pipinya yang tinggi.
Ternyata, sisi keras dan emosional dalam diriku adalah peninggalan dari Mamá.
Foto pertama kupindahkan ke belakang, sehingga foto berikutnya pun bisa kulihat gambarnya. Di foto kedua ini, terdapat aku, Abuela, dan Abuelo di hari kelulusanku. Ini adalah foto kami di hari kelulusan SD-ku.
Dengan cepat, kupindahkan lembar demi lembar untuk bisa melihat satu per satu gambarnya. Kulihat ada foto kelulusan SMP, SMA, dan kuliahku yang juga ditemani oleh Abuela dan Abuelo—sama seperti foto kelulusan SD-ku; foto yang menunjukkan aku sedang menangis sambil memegangi rok Mamá di hari pertamaku masuk SD; foto ketika Papá sedang mengangkat tubuhku di udara—seolah sedang menerbangkanku; foto ketika aku memeluk Mamá di atas pasir sebuah pantai; foto ketika aku sedang membuka hadiah Natal dari kedua orang tuaku; foto perayaan ulang tahunku yang ke-5 tahun; dan—
—Foto-foto itu pun jatuh, tergelincir dari tanganku yang gemetaran.
...
Dadaku sakit. Sakit sekali. Saking sakitnya, aku bahkan tidak tahu, apakah sumber rasa sakitnya adalah jantungku yang berdebar dengan kencang, atau justru paru-paruku yang terasa sesak.
Ingatan masa lalu berkelebatan di depan mataku. Seperti rekaman film yang diputar dengan kecepatan tidak normal.
Dan aku, masih duduk di lantai, termangu menyaksikan adegan-adegan itu. Semakin banyak adegan yang kulihat, semakin banyak pula perandaian yang mendatangi hatiku.
Andai saja orang tuaku masih hidup, pasti mereka yang akan menemaniku di hari kelulusan kuliahku. Mungkin, Papá—yang duduk di kursi wali murid bersama Mamá—akan mengarahkan kameranya ke arahku. Mungkin Papá akan banyak mengambil gambar dan videoku yang hari itu tengah diwisuda—sebagaimana yang sering Papá lakukan ketika aku masih kecil.
Mungkin aku juga bisa minta dibelikan sesuatu sebagai “imbalan” karena berhasil meraih nilai yang bagus. Tidak, kalaupun bukan imbalan, setidaknya mungkin aku bisa mendengarkan pujian dari mulut mereka.
Dan mungkin, aku tidak perlu susah-susah bekerja paruh waktu di sana-sini semasa kuliah—sebab aku tinggal meminta saja pada Papá kalau sedang butuh uang.
Mungkin juga, sekarang ini aku bisa bekerja di PH film tempat Papá dan Mamá bekerja, biar aku bisa selalu berada di dekat mereka berdua. Mungkin juga—