Ketika mataku terbuka, yang mampu kulihat hanyalah pemandangan ruangan yang tampak buram. Cahaya yang entah merupakan cahaya lampu atau matahari itu, membuatku mengernyit karena terasa amat menyilaukan.
Aku tidak yakin dengan apa yang dilihat oleh mataku. Namun, sepertinya ada beberapa orang yang berdiri di dekatku saat ini. Tiga dari empatnya memakai pakaian putih—entah apa. Aku memilih diam. Kembali merapatkan mata. Pusing yang mendera membuatku terlalu malas untuk memaksakan diri—untuk melihat.
“Diego?”
Suara itu asing sekali. Seperti seorang pria, tapi siapa?
“Diego? Kamu bisa dengar suara saya?”
Aku berusaha memfokuskan pendengaran. “Mm-hmm,” gumamku tak jelas. Sebenarnya aku ingin menjawab dengan lebih jelas, tapi tenggorokanku rasanya kering sekali.
“Oke. Akhirnya kamu sadar juga,” kata pria itu. Suaranya terdengar tidak hangat. Apalagi, terdengar pula dengungan mesin—entah apa itu—di sela-sela ucapannya.
Aku langsung diserang rasa panik sekaligus ketegangan. Ditambah lagi, saat ini kurasakan jantungku masih berdetak dengan kencang. Aku jadi betul-betul tidak nyaman.
“Diego, ada yang perlu kita bicarakan soal apa yang kamu minum. Beserta kondisimu yang menjadi akibat dari keputusan berbahayamu itu. Akan tetapi, sebelum itu, kami akan mengecek dulu keadaanmu sekarang.” Oh, sepertinya pria itu adalah dokter.
Duh, sial!
Berarti aku sedang ada di rumah sakit sekarang?
Kalau begitu, berarti semua tindakan bodoh yang sempat kulakukan; sekarang sudah ketahuan.
Dan sialnya, lagi-lagi aku gagal mati.
Aku menghela napas berat. Membiarkan dokter mengecek keadaanku, sambil menahan kesal.
Dulu, orang tua dan kakekku masih ingin sekali hidup. Malahan dari yang kulihat, mereka sedang sangat menikmati kehidupan mereka saat itu. Namun, nyawa mereka malah direnggut begitu saja.
Sementara itu, aku yang sudah sangat muak untuk melanjutkan hidup, dan sudah berkali-kali mencoba merenggut nyawaku sendiri; malah selalu saja selamat dan berakhir tetap hidup.
Kenapa Kau merenggut kehidupan orang yang masih ingin hidup, dan malah mempertahankan kehidupan orang yang sudah tak sudi untuk hidup?
“Diego, buka matamu.” Aku menurut, membuka mataku dengan perlahan. Membiarkan dokter memeriksanya—atau apalah itu.
Setelah semua pemeriksaan selesai, aku mengalihkan pandangan dari dokter. Memilih untuk melihat ke sekeliling ruangan, sambil berusaha memulihkan pandanganku—yang sedikit demi sedikit sudah mulai berkurang buramnya.
Saat itulah, kulihat ada Abue yang sedang berdiri di sebelah kiriku. Dia diam saja. Berdiri mematung di sebelah tiang infus—yang selangnya menyambung ke punggung tangan kiriku—sambil memandangiku dengan wajah cemas dan lelahnya.
Aku tertegun. Kesedihan dan rasa bersalah pun dengan perlahan memenuhi rongga dadaku.
Aku ....
Selama ini aku hanya merasa takut. Takut kalau Abue mengetahui tindakanku, beliau akan marah. Namun, aku tak pernah berpikir bahwa apa yang telah kulakukan ini bukan hanya akan membuatnya marah, tetapi juga cemas dan sedih.
“Diego,” panggil dokter.
Aku menoleh ke kanan, kali ini melihat ke arah dokter yang sudah menatapku dengan tatapan seriusnya.
“Diego, kamu tidak boleh mencampur obat yang kamu minum dengan alkohol, apalagi dalam kadar yang sebanyak itu.” Wajah dokter itu terlihat cemas sekaligus marah. “Kami menemukan kadar alkohol yang tinggi dalam darahmu, padahal kamu sedang mengonsumsi sertraline dan prazosin. Kombinasi itu sangat berbahaya, Diego. Kamu beruntung karena tidak sampai mengalami kejang atau koma.”
Ah, bagiku itu tidak beruntung, sih. Malah sial, karena jadinya aku malah selamat dan tetap hidup.
“Kamu sempat kehilangan kesadaran selama empat jam. Tanda vitalmu sempat turun, dan kamu juga mengalami tekanan darah rendah yang cukup drastis. Sekarang kami sedang menstabilkan kondisimu. Lalu ...,” Dokter melirik sebentar ke arah Abue, sebelum akhirnya menatapku lagi, “... kami juga akan konsultasi dengan bagian psikiatri.”
Bayangan akan terapi yang dulu pernah aku lalui; muncul lagi di ingatanku. Aku tidak mau melalui semua itu lagi. Tidak!
“Aku tidak mau diterapi,” ucapku. Akhirnya aku bisa bicara dengan cukup lancar juga—walau tenggorokanku masih cukup kering.
Dokter menatapku dengan tajam. “Diego, apa yang kamu alami ini bukan cuma soal fisik. Ini serius!”
“Jangan paksa aku! Aku tidak mau!” Apa sih susahnya untuk mengabaikanku? Kenapa kalian semua bersikeras memaksaku untuk tetap hidup?
Aku tidak mau. Biarkan aku mati!
“Satu lagi; untuk benar-benar memulihkan kondisimu, kamu akan dirawat di sini selama tiga hari.” Rupanya dokter itu tidak memedulikan penolakanku. Sialan memang!
“Nyonya, setelah ini, kami akan datang lagi untuk mengecek keadaan Diego—untuk mengecek apakah dia bisa segera dipindahkan dari IGD ke ruang rawat biasa atau tidak. Nanti setelah kami melakukan pengecekan ulang itu, tolong datanglah ke ruangan saya. Ada hal-hal yang perlu saya diskusikan dengan Anda,” kata si dokter sialan itu, sembari menatap nenekku dengan serius.
Kulihat Abue hanya mengangguk.
Setelahnya, dokter itu pun pergi, diikuti oleh dua perawat yang tadi sempat membantunya untuk memeriksa keadaanku.
Setelah terdengar suara pintu ditutup, ruangan putih yang tampak dingin dan berbau aneh ini pun hening. Hening karena aku dan Abue sama-sama terdiam, bukan karena tidak ada suara sama sekali di sini. Sebab masih ada suara dengungan mesin yang terdengar—mesin yang tak kuketahui namanya itu berada tak jauh dari kasur tempat tubuhku terbaring.
“Abue ... kenapa aku bisa ada di sini?” tanyaku dengan ragu. Wajah Abue yang begitu muram dan tak terdapat sedikit pun kelembutan di sana—tak seperti biasanya—membuatku merasa agak takut.
“Tadi malam Zara menyelamatkanmu. Dia menangkap tubuhmu tepat saat kamu akan melompat dari pembatas balkon.”
“Jadi aku belum sempat jatuh?” Yah, tapi seingatku, aku memang langsung hilang kesadaran sebelum sempat merasakan rasa sakit.
“Ya, belum. Kamu sudah keburu pingsan, dan untungnya langsung Zara selamatkan. Kalau tidak, tubuhmu pasti sudah menghantam jalan. Lalu, luka di wajahmu ini ...,” Abue menyentuh pelan kulit di sekitar luka yang ada di wajahku. “... luka ini juga sudah diobati.” Matanya menyorot lemah ke arahku. “Ini luka karena apa, Diego?”
“Mmm, itu ....” Aku mengalihkan pandangan, memilih untuk menatap langit-langit ruangan yang digantungi beberapa buah lampu. Merasa enggan untuk menyampaikan yang sebenarnya.
“Jangan bohongi Abue lagi.”
Tubuhku yang memang sudah terasa lemas semenjak aku bangun, jadi makin melemas lagi saat mendengar ucapan Abue. “Maaf, Abue,” kataku pelan.
“Jujur, Diego. Apa yang terjadi tadi malam?”
“Tadi malam aku sempat bertengkar dengan seseorang di kelab. Makanya wajahku jadi luka-luka begini,” jawabku akhirnya, tanpa sedikit pun memandang ke arah Abue. Aku terlalu takut untuk melakukannya.
Terdengar suara helaan napas yang begitu lelah.
“Oh, iya. Zara juga sudah diperiksa dan ditangani oleh dokter.”
Mendengar hal itu, aku pun jadi langsung mengarahkan tatapanku pada Abue. “Memangnya dia kenapa?”
“Lengan kanan Zara sempat terbentur lantai saat dia menolongmu. Karena ‘kan dia tidak kuat menahan berat tubuhmu, jadinya kalian malah terjatuh ke lantai. Katanya, dia berusaha agar tidak terjatuh ke belakang—agar kepalanya tidak terbentur, jadinya dia mengarahkan agar tubuh kalian jatuh ke kanan.
“Namun, karena dia harus melindungi kepalamu dari benturan, jadilah lengan kanannya yang menjadi korban dan mengalami robekan otot. Untung saja cederanya masih tergolong sedang. Kalau sampai kondisinya lebih parah dari itu, Abue tidak akan memaafkanmu, Diego.”
“Bukan mauku untuk ditolong, Abue. Itu keputusan Zara sendiri yang ingin bersusah-payah menolongku. Kenapa jadi aku yang salah?”
Lagi pula, kenapa juga gadis itu malah menolongku?