“Ya, biarkan dia mati, sehingga nantinya Abue akan hidup kesepian di rumah tua itu.”
Keheningan pun menyapa.
Baik aku, Abue, maupun Diego; tak mengeluarkan sepatah kata pun. Abue terdiam di tempatnya duduk sambil menatap lurus ke lantai ruangan, sedangkan Diego tertegun kaku di pembaringannya. Sementara itu, aku tetap berdiri di dekat kasur Diego dengan mulut yang terkatup rapat.
Merasa canggung dengan situasi saat ini, aku pun tersenyum kikuk pada Abue. Mengangguk pelan sebagai bentuk pamit, lalu dengan perlahan berjalan pergi.
Namun, Abue—yang entah sejak kapan telah berdiri dari duduknya—menahan tanganku. Aku jadi tak bisa berbuat apa-apa, selain berdiri kaku di dekat Abue yang tengah memandangi Diego dengan tatapan sendu.
Hatiku terasa sakit sekali melihat keadaan Abue saat ini. Beliau tampak lelah, lemas, dan ... hancur.
Kedua mata tuanya tampak mulai basah. Menyorot lemah ke arah sang cucu. Kemudian, dengan suara yang bergetar karena menahan tangis, Abue pun berkata, “Abue sudah tua. Hidup Abue pun pasti sudah tidak lama lagi. Jadi bisakah kamu tetap hidup, dan menemani Abue di sisa umur Abue, Diego?”
Akhirnya, air mata yang semula tampak tertahan itu, kini luruh juga. Membasahi pipi Abue yang sudah penuh dengan kerutan. “Diego, Abue tahu kamu terluka, tapi Abue juga sama. Di saat kamu kehilangan kedua orang tuamu, di saat yang sama Abue pun kehilangan anak dan menantu Abue; dan di saat kamu kehilangan kakekmu, di saat itu pula Abue kehilangan suami Abue. Dan memang, kalau kamu pergi, lukamu pasti jadi tidak bisa kamu rasakan lagi. Tapi Abue? Abue akan terluka lagi karena kehilanganmu.”
Tangan kiriku tergerak meraih tangan kanan Abue—bermaksud ingin menguatkannya, yang kemudian langsung disambut oleh nenek baik hati tersebut. Kini, sambil bergenggaman erat dengan tanganku, beliau berkata lagi, “Diego, orang tua dan kakekmu pastinya ingin agar kamu bisa hidup dengan baik dan bahagia; menjalani kehidupan normal sebagaimana kehidupan pemuda biasanya. Jadi, kalau kamu memang menyayangi mereka, penuhilah harapan itu. Sembuh dan bahagialah.”
Diego berusaha bangkit dari posisi tidurnya. Melihat itu, aku pun melepaskan genggaman tanganku pada Abue, agar beliau bisa membantu cucunya untuk duduk. Pria itu pun menangis dan memeluk neneknya. Bibirnya terus menyampaikan permintaan maaf. Abue membalasnya dengan pelukan erat dan tangisan yang juga semakin kencang isaknya.
Sementara itu, aku tersenyum sambil memandangi sepasang cucu dan nenek itu. Pemandangan ini membawa keharuan dan kegembiraan di hatiku. Layaknya bunga-bunga yang bermekaran di tengah hangatnya cuaca musim semi.
Namun, kulihat Diego melirikku dan langsung tersentak. Dia pun menghapus air matanya dengan gerakan terburu-buru. Sepertinya dia baru sadar kalau aku masih ada di ruangan ini, dan menyaksikan semua tangisan serta ucapan permintaan maafnya pada sang nenek.
Tingkah Diego itu membuatku jadi tak bisa menahan tawa. Aku tertawa kecil sembari menutup mulutku.
Melihatku malah tertawa, pria berambut cokelat tua itu pun memasang wajah ngambek. “Jangan meledekku, Zara!” omelnya.
“Enggak, kok,” sanggahku, lalu membekap mulutku sendiri untuk menahan tawaku yang malah menjadi-jadi.
Abue ikut tertawa. “Sudah-sudah, jangan bertengkar!” Ia menyeka sisa-sisa air mata di pipi dan ujung matanya, lalu mengusap kepala Diego dengan sayang. “Oh iya, Diego, kata dokter kamu harus makan dulu.”
“Tapi aku gak mau makan yang berat-berat, Abue. Perutku masih kerasa enggak nyaman.”
“Iya, kamu memang bakal diberi makan pelan-pelan, kok. Kata dokter, kamu harus diet cair bening dulu pakai air gula. Barulah beberapa jam setelahnya bisa makan bubur atau oat. Kalau begitu ...,” Abue menoleh padaku, kemudian meraih lengan kiriku. “... Zara, kamu duduklah di kursi itu. Abue mau keluar dulu untuk mengambil air gula.”
“Tapi itu ‘kan tempat duduk Abue,” tolakku.
Namun, Abue malah menuntun tubuhku hingga aku pun terduduk di kursi empuk itu. “Abue ...,” panggilku pelan, merasa tidak enak hati.
“Tidak apa-apa, Zara. Nanti Abue ‘kan bisa duduk di pinggir kasurnya Diego.” Abue menepuk pinggir kasur yang ia maksud—sisi yang berdekatan dengan kaki Diego. “Atau mau kamu saja yang duduk di sini?” tawarnya sambil tersenyum usil.
Aku langsung panik. “E-eh, jangan—maksudku tidak, deh, Abue. Aku di sini saja.”
Abue tertawa, lalu pergi meninggalkanku dan Diego berdua saja di dalam ruangan ini.
Hening lagi.
Aku menoleh ke kiri, dan kudapati Diego—yang sedang duduk di kasurnya sambil bersandar ke bantal—tengah memandangiku. Lantas saja kunaikkan alis sebelah kiriku. Bertanya; Kenapa? tanpa mengeluarkan kata-kata.
Akan tetapi, bukannya menjawab, pria itu malah memalingkan pandangannya ke arah jendela yang ada di sebelah kiri kasurnya.
“Lah? Kenapa, coba?” batinku bertanya-tanya.
Baru saja aku ingin mengedarkan pandangan ke arah lain, Diego tampak kembali melihat ke arahku—sehingga membuatku tetap memfokuskan pandangan padanya.
Mata cokelat tuanya yang sedikit tersinari cahaya matahari menatapku lekat. Namun, bibirnya tetap mengatup rapat. Bahkan setelah alis sebelah kiriku kembali terangkat untuk bertanya, dia masih juga diam.
“Kamu kenapa, sih?” tanyaku akhirnya.
“Sejak kapan kamu di sini?” Lah, malah balik nanya, dia! Memang aneh.
“Tadi malam,” jawabku.
“Kenapa enggak pulang?”
“Karena Abue juga enggak pulang.” Eh, sebentar, jangan-jangan ... “Kamu gak senang, ya, aku ada di sini? Kamu mau aku pulang saja?”
“Enggak—maksudku, terserah kamu mau tetap di sini atau pulang.”
“Tapi kayaknya kamu gak senang kalau aku ada di sini.”
“Zara, aku baru sadar dari pingsan. Jangan mengajakku berdebat—”
Suara pintu yang dibuka menginterupsi pembicaraan kami. Membuat kami langsung bungkam dan memilih untuk memandangi Abue—yang kini masuk ke ruangan—saja.
Seperti ucapan beliau sebelumnya, Abue pun menduduki pinggir kasur Diego. Kemudian, wanita tua itu mulai menyuapkan air gula—dari gelas yang dibawanya—ke mulut Diego dengan menggunakan sendok.
“Diego, ikut terapi lagi ya, Nak?” pinta Abue. “Ayolah, berobat lagi dengan maksimal. Jangan hanya mengandalkan obat-obatan saja. Dan kali ini, berobatlah hingga tuntas. Jangan putus di tengah jalan lagi seperti waktu itu.”
Karena Diego diam saja, Abue pun kembali berbicara, “Kamu juga harus mengurangi kebiasaan mabukmu itu. Bahkan kalau bisa, hentikan saja sudah! Yang jelas, jangan minum alkohol di saat kamu sedang aktif minum obat lagi—seperti yang kemarin-kemarin kamu lakukan. Karena kalau kamu melakukannya, kamu bisa mati, Diego.”
Diego masih juga diam.
Aku pun sama diamnya. Hanya duduk sembari memperhatikan pria yang kini tampak kacau itu.
Diego kelihatan lemas sekali, seperti orang yang habis begadang selama seminggu. Aku juga bisa melihat kalau bahu dan tangannya terkadang bergetar dengan ringan. Sementara itu, wajahnya yang pucat “dihiasi” oleh beberapa luka—yang kini sedang ditutupi dengan semacam perban putih kecil.
Yah, bagaimana tidak kacau, coba?
Aku masih ingat betul, beberapa hari yang lalu aku melihat Diego meminum cairan berwarna aneh di kamarnya. Waktu itu, aku tidak bisa melihat dengan jelas apa yang dia minum. Apalagi, aku hanya mengintip lewat jendela kamarku. Jadi apa yang kulihat tampak tak begitu jelas.
Namun, melihat kemarahannya malam itu, aku jadi sadar kalau sepertinya dia sedang minum alkohol.
Dan mengetahui dia melakukan hal itu—padahal sedang dalam masa minum obat-obatan, membuatku ingin mengadu pada Abue. Ya, mulanya aku ingin mengadu pada Abue, atau mungkin pada Maria dan Samuel.
Bukannya karena aku ingin ikut campur, tetapi karena aku mengkhawatirkan keadaannya. Apalagi, setelahnya kuketahui—dari internet—bahwa kombinasi obat-obatan dan alkohol bisa sangat berbahaya. Seperti kata Abue sebelumnya, Diego bisa mati!
Namun, melihat kebencian pria itu kepadaku, aku jadi urung melaporkan apa yang kulihat pada orang-orang terdekat Diego. Aku tidak mau memperbesar kebencian dan amarah Diego, dan takut kalau hal itu hanya akan semakin mengacaukan mentalnya, serta membuatnya semakin nekat melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya sendiri.
Makanya, keesokan paginya, aku memilih untuk menghampiri Diego dan kembali meminta maaf. Awalnya, kupikir permintaan maafku akan membuat kemarahannya mereda. Atau kalaupun dia masih murka padaku, setidaknya dia akan berhenti melakukan hal-hal aneh.
Namun, rupanya perkiraanku itu salah.
Diego malah bertambah murka dan justru kembali menyakitiku. Dia juga semakin menyakiti dirinya sendiri dengan mabuk-mabukan lagi hingga nyaris kecelakaan—semalam.
Puncaknya adalah kejadian di balkon pada jam dua dini hari itu.
Kejadian yang akhirnya membawa Diego ke rumah sakit ini.
Dan dokter yang menangani Diego sempat bilang padaku, Abue, Maria, dan Samuel, bahwa Diego mengalami sinkop, hipotensi akut, serta intoksikasi alkohol sedang.
Tidak sadarnya Diego saat sedang berdiri di pembatas balkon itu dikarenakan dia sinkop—pingsan mendadak. Dan penyebabnya bisa mengalami sinkop adalah karena tekanan darahnya terlalu rendah (hipotensi). Lalu, penyebab hipotensi yang dia alami, tentu saja adalah tindakan bodohnya yang minum alkohol setelah menenggak obat prazosin.
Diego juga mengalami intoksikasi alkohol sedang karena kadar alkohol dalam darahnya cukup tinggi. Dan kata dokter, hal ini membuat tubuhnya jadi tidak mampu mengatasi hipotensi, sehingga memperparah sinkop yang dialaminya.
“Haduh, haduh ... pusing aku!”
“Bagaimana, Diego? Mau, ya, berobat lagi?” Rupanya Abue masih berupaya untuk membujuk cucunya itu.
Diego diam, tapi dia tampak sedang berpikir keras.
Melihatnya berpikir sekeras dan selama itu, membuatku jadi membatin, “Ternyata pengobatan untuk masalah mental bisa sesusah itu, ya?”
“Ayolah, Diego. Mau, ya? Abue janji akan selalu mendampingimu selama pengobatan. Maria dan Samuel pun pasti akan selalu ada untukmu.”
Kulihat Diego menghela napas panjang. Pandangannya mengarah ke jendela saat ia berkata, “Baiklah, aku mau.”
Abue langsung mendekap erat cucunya itu, sedangkan aku kembali tersenyum haru.
“Omong-omong, di mana Samuel dan Maria? Kok mereka gak ikut masuk ke sini?” tanya Diego.
Abue menjawab, “Mereka menunggu di luar, soalnya tidak boleh ada terlalu banyak orang yang masuk ke ruangan ini.”
Kukira, Diego akan mengatakan hal-hal seperti, Lalu kenapa tidak mereka saja yang masuk, dan Zara yang menunggu di luar? tetapi nyatanya yang ia katakan justru, “Oh, begitu. Tapi nanti suruh mereka ke sini, ya? Boleh, ‘kan, kalau mereka masuk ke sini secara bergantian?”
Wah, aku sungguh tercengang.
Perasaan saat aku masuk ke sini tadi, pria itu tampak kesal kepadaku. Lalu, kenapa sekarang dia tidak berusaha mengusirku lagi?
“Iya, boleh kok. Nanti Abue akan suruh mereka masuk secara bergantian.” Abue tampak tersenyum, tatapannya menghangat dengan tangan kanan yang mengusap lembut jemari tangan Diego. “Diego, Abue pulang dulu, ya?”
Eh?
Aku dan Diego sama-sama terkejut. Kenapa Abue tiba-tiba berpamitan?
“Kenapa, Abue?” tanya Diego.
“Abue harus menyiapkan unit yang akan disewa oleh tamu baru di rumah sewa kita. Dia akan datang nanti siang, jadi Abue harus segera merapikan unitnya dan menyiapkan hal-hal yang mungkin akan tamu itu butuhkan—karena Abue tidak sempat menyiapkannya kemarin.”
Oh, iya, betul juga. Aku baru ingat kalau selama 2 minggu terakhir ini, hanya aku, Maria, dan Samuel yang menyewa unit di rumah sewa itu. Sementara itu, satu unit di lantai bawah—yang satu lantai dengan unit Samuel—masihlah kosong.
Untung saja Diego mengamuk saat sedang tidak ada tamu lain di rumah sewa. Coba kalau ada? Bisa turun nanti rating rumah sewanya di aplikasi booking penginapan. Dan bisa-bisa pria itu akan membuat bangkrut usaha keluarganya sendiri.
“Abue pulang sekarang, ya?” pamit Abue, sembari mengecup puncak kepala Diego.
“Iya, Abue.”