Pagi ini, aku, Maria, Samuel, dan Abue akan menemani Diego dalam perawatan PTSD-nya di rumah sakit. Maka dari itu, pada pukul delapan pagi ini, kami semua sudah berjalan bersama-sama di lorong rumah sakit untuk mengantar Diego ke ruang perawatannya.
Ruang perawatannya bernama Unidades de Salud Mental (Unit Kesehatan Mental), dan terletak di sayap kanan lantai empat Pusat Rawat Jalan Rumah Sakit Universitario Virgen de las Nieves.
“Nanti selesainya jam berapa?” tanya Maria pada Diego, di saat kami masih menuju lantai empat rumah sakit.
“Sekitar jam dua belas. Kalian gak keberatan, kah, kalau nunggu selama itu?”
“Aku dan Samuel, sih, nggak. Tapi gak tau, deh, kalo Zara gimana. Mungkin dia punya kesibukan lain. Nulis, misalnya?”
Diego yang berjalan di depanku langsung berhenti. Untung saja aku langsung menghentikan langkahku. Kalau tidak, bisa-bisa tubuhku menubruk pria berpakaian serba abu-abu itu.
Dia menoleh ke arahku, lalu menatapku dengan galak. “Jangan kerja dulu! Tanganmu ‘kan masih sakit,” omelnya.
Heh?
Kulirik Maria dengan sebal. Gara-gara dia, aku jadi diomeli begini. Namun, wanita berkulit eksotis itu malah terkikik geli. Dasar!
“Enggak, kok,” balasku sambil sedikit cemberut. “Jangan ngomel gitu, dong!”
“Soalnya kamu ‘kan keras kepala.”
“Kayak kamu nggak aja,” cibirku.
Abue—yang sejak tadi hanya menyaksikan interaksi kami—pun melerai, “Sudah-sudah. Pagi-pagi sudah bertengkar saja.” Lalu, sambil mengedarkan pandangan ke ruangan-ruangan yang ada di kanan-kiri kami, beliau bertanya, “Nanti di sana bakal ada kegiatan apa saja, Diego?”
“Katanya, sih, kalau tiap hari Selasa begini, kegiatannya banyak yang dilakukan secara berkelompok—dengan pasien-pasien lain. Di awal ada monitor tekanan darah dan periksa mood dulu, lalu ada kegiatan mindfulness secara berkelompok, terapi kognitif dan perilaku, psikoedukasi PTSD, workshop seni, dan terakhir ada evaluasi singkat dengan psikiater.”
“Workshop seni? Wah, bikin apa, nanti?” Kali ini, Samuel lah yang bertanya.
“Kalau dari informasi yang kudapat, sih, katanya bikin majalah kreatif gitu. Tapi nanti isinya adalah pembahasan yang bertujuan untuk mematahkan stigma dan prasangka seputar kesehatan mental.”
“Ooh. Kalau kegiatan di hari Kamis nanti, apakah sama?” Diego memang mendapatkan jadwal perawatan di hari Selasa dan Kamis. Maka dari itu, mulai minggu ini, kami semua akan menemaninya di rumah sakit tiap hari Selasa dan Kamis.
“Agak beda. Karena kalau di hari Kamis itu kegiatannya lebih fokus ke perawatan secara individu. Jadi di hari Kamis gak ada kegiatan workshop seni. Tapi untuk sisanya, sih, ada beberapa yang sama.”
Sesampainya di depan Unit Kesehatan Mental, kami pun berpisah. Diego masuk ke ruang perawatannya yang—sempat kulihat—bercat biru muda, sedangkan kami berempat duduk di kursi tunggu yang ada di depan ruangan.
Puluhan menit berikutnya kami habiskan dengan berbincang-bincang sambil sesekali memperhatikan sekeliling kami. Banyak hal yang kami perbincangkan, seperti kegiatan apa yang ingin kami lakukan sepulang dari rumah sakit, pekerjaan-pekerjaan kami, dan tentunya kondisi Diego saat ini—baik secara fisik ataupun mental.
Di tanggal 23 April 2024 ini, Diego baru memulai sesi perawatan PTSD-nya yang akan berjalan selama 6–12 minggu ke depan—bisa bertambah lama tergantung bagaimana keadaan Diego nantinya. Diego menjalani perawatan PTSD-nya tepat sehari setelah dia diperbolehkan pulang dari rawat inap di rumah sakit.
Perawatan yang Diego jalani pun bersifat rawat jalan. Dan di sela-sela kunjungannya ke rumah sakit untuk terapi, Diego tetap harus meminum obatnya. Obat yang harus dia minum pun masih sama, tetap sertraline dan prazosin. Hanya saja, dosis prazosin-nya diturunkan ke dosis yang paling rendah.
“Maria, Samuel, kalian ajak jalan-jalan Zara ke luar, sana! Biar tidak bosan menunggu di sini terus,” kata Abue.
“Aku di sini saja, menemani Abue.” Maria tampak menyikut lengan Samuel. “Sana, Samuel, kamu aja yang ajak Zara jalan-jalan!”
Samuel langsung bangkit dari kursinya. “Ayo, Zar—eh, tunggu dulu! Gimana kondisi kakimu? Kira-kira aman, gak, kalau dipakai jalan kaki agak jauh? Atau lebih baik kita pergi pakai mobil aja?” tanyanya berturut-turut sambil memasang tampang khawatir.
“Kakiku udah membaik, kok, kondisinya. Udah jarang kerasa nyeri, dan udah gak sakit juga buat jalan kaki. Jadi gak apa-apa, gak perlu pakai mobil,” jelasku.
Ya, kondisi kakiku memang sudah sangat membaik. Meskipun aku tetap harus berhati-hati saat berjalan dan tentunya belum boleh berlari, tetapi kakiku ini sudah terasa nyaman untuk dipakai berjalan.
Sementara itu, kondisi tanganku kini belumlah pulih sepenuhnya. Bahkan menurut dokter, lengan atasku ini baru akan sembuh dalam waktu 1–2 minggu lagi. Makanya, sekarang ini aku masih membalutnya dengan menggunakan perban tipis—dan mengoleskan salep pemberian dokter ke permukaannya tiap kali sedang tidak menggunakan perban.
“Baiklah kalau begitu. Ayo, kita pergi!” Kami pun berjalan beriringan di lorong rumah sakit.
Di luar, ketika kami sedang berjalan melewati halaman depan rumah sakit, aku terus melihat ke arah pohon-pohon besar yang tertanam di sana. Pohon-pohon itu bentuknya unik sekali; tinggi, ramping, dan rupanya mirip seperti tanda seru.
Aku jadi penasaran, “Samuel, itu pohon apa, sih? Kayaknya di Granada ada banyak pohon itu, ya?”
Samuel mendongak, ikut menatap ke arah pohon besar berwarna hijau tua yang menjulang tinggi bagai akan menembus langit itu. “Oh ... itu, sih, sejenis pohon konifera, lebih tepatnya pohon cemara Italia. Emang ada banyak di sini, karena pohon itu cocok dengan iklim Mediterania yang panas dan kering. Melihatnya, kamu pasti jadi teringat akan pohon-pohon di kompleks Alhambra, ya?”
“Iya! Pohonnya mirip dengan pohon yang ada di Alhambra.”
“Jelas aja, soalnya, ‘kan, kompleks Alhambra dan Generalife memang banyak ditanami dengan pohon-pohon cemara Italia. Bahkan, di taman Generalife ada cemara Italia yang usianya udah mencapai 700 tahun, loh!”
“Wah, keren banget! Pengen, deh, bisa liat pohonnya kayak gimana.”
“Eh? Emang kamu belum pernah liat pohonnya, ya?”
“Belum, ‘kan aku belum pernah ke Generalife. Waktu itu, pas kita jalan-jalan ke Alhambra, ‘kan, kita belum sempat pergi ke bagian Generalife-nya.”
“Hah? Belum?” Samuel menghentikan langkahnya. Lalu, dengan mata birunya yang seterang birunya langit pagi ini, dia menatapku dengan heran. “Emangnya waktu itu belum sempat, ya?”
Aku menggeleng sambil tersenyum tipis, jari-jariku memainkan tali totebag dengan kikuk. “Ya, belum, soalnya waktu itu, ‘kan, aku udah keburu ribut sama Diego. Awalnya ribut kecil, sih, tapi habis itu, ‘kan, tiba-tiba ....” Oke, aku sudah tidak sanggup untuk menjelaskan lagi.
Mata Samuel yang semula digelayuti kebingungan, kini dibuat terbelalak oleh rasa terkejut. Sepertinya dia baru menyadari maksud ucapanku. “Oh ... iya. Iya-iya, aku ingat sekarang.” Dia tertawa canggung.
Kemudian, pria berkemeja biru tua dan bercelana beige itu pun berkata lagi, “Ya udah, nanti kalau kita ke Alhambra lagi, kita sempatkan pergi ke bagian Generalife-nya.”
Sambil lanjut berjalan lagi, aku membalas, “Boleh, tapi jangan ke Istana Partal lagi, ya? Aku agak trauma, hehe.”
Kulihat Samuel menoleh sambil agak menunduk ke arahku. Dia melirikku sambil mendengus geli. “Baiklah, baiklah.”
Langkah kami semakin menjauhi area rumah sakit. Bahkan kini, kami sudah disambut oleh jalan besar yang sedang dalam kondisi sepi kendaraan. Hanya ada beberapa mobil berwarna hitam dan putih yang berlalu-lalang di atas aspal yang mulus itu.
Aku melirik ke sana-sini, memandangi bangunan-bangunan yang nyaris semuanya setinggi tujuh lantai—aku menebak lewat jumlah jendela yang merangkak ke dinding paling atas. Bangunan di sini jauh lebih tinggi dan besar dibanding yang ada di Calle Elvira. Warna catnya didominasi kuning, oranye, dan merah pucat.
Selain itu, jendela-jendela yang menempel pada nyaris keseluruhan dindingnya pun tampak polos. Tidak seperti jendela-jendela pada bangunan di sisi Calle Elvira yang banyak dihiasi pot bunga. Dan, bangunan-bangunan di sini pun tampak seragam; baik tingginya, besarnya, bentuknya, susunan jendelanya, maupun warna catnya.
Sambil menapakkan sneakers yang membalut kedua kakiku di area pejalan kaki, aku kembali bertanya, “Samuel, jalan ini namanya jalan apa?”
“Jalan ini namanya Avenida de Andalucia.”
“Avenida?”
“Iya. Avenida itu artinya jalan besar.”
“Kalau calle?”
“Calle itu jalan kecil atau sedang. Ya, intinya jalan biasa, lah.”
“Namanya beda-beda semua, ya? Masih ada yang lain lagi, kah?”
Samuel tertawa. “Iya, masih ada banyak lagi jenisnya. Tapi selain avenida dan calle, yang sering kita temui itu biasanya plaza—jalan alun-alun, cuesta—jalan tanjakan, carretera—jalan raya, dan carril—jalan sempit.”
“Pusing banget. Di Indonesia ada, sih, sebutan untuk jenis-jenis jalan begitu. Tapi gak dipakai dalam nama jalan kayak di sini—macam Calle Elvira dan Avenida de Andalucia, melainkan cuma disebut istilah jalannya aja. Contohnya Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Gatot Subroto.”
“Wah, iya? Kalau gitu, sih, pantes kamu jadi sepusing itu pas denger penjelasan tentang jalan-jalan di sini.” Lagi-lagi Samuel tertawa, membuatku ikut tertawa juga.
Ah, ternyata bepergian bersama Samuel jauh lebih menyenangkan dibanding bersama Diego. Kalau saja yang menjadi cucunya Abue itu Samuel, aku pasti tidak akan keberatan kalau Abue memintaku berjalan-jalan dengan cucunya itu—seperti ketika jalan-jalan ke Mirador de San Nicolas itu.
Samuel pun baik sekali. Dia ramah, banyak tersenyum dan bercanda, juga mau menjelaskan apa pun dengan baik kepadaku. Dan meskipun tutur katanya halus dan sopan, dia tetap tidak kaku—bisa menjadi teman bicara yang menyenangkan.
Kenapa, ya, aku malah dipertemukan dengan Diego, dan bukannya dengan Samuel saja?
“Zara, penitimu nyaris copot, tuh!” Samuel menunjuk ke arah bawah daguku.
“Eh? Iya, kah?” Aku langsung berhenti berjalan, lalu membetulkan peniti di kerudung cokelatku ini.
Usai berterima kasih—karena telah diberitahu soal copotnya penitiku, lagi-lagi aku melontarkan pertanyaan pada Samuel, “Samuel, yang itu tuh bangunan apa, sih? Kok besar banget?”