Elegi Asa di Langit Granada

Halifa Zari
Chapter #24

Zara; Tangis Tersembunyi

Sejenak, aku tertegun mendengar pertanyaan Diego itu.

Lalu, aku pun menjawab dengan nada bercanda, “Aku pernah sedih, kok. Contohnya pas kamu dorong aku. Waktu itu, ‘kan, aku nangis. Kamu lupa, ya?”

Namun, sepertinya Diego menganggap serius ucapanku itu. Sebab kini dia tampak menegang sambil menatapku dengan lekat. Ada rasa bersalah, kesedihan, penyesalan, sekaligus malu yang berkelebat di kedua netra indahnya.

Aku menelan ludah. “Waduh ... kayaknya aku salah ngomong lagi, nih. Zara ... Zara, mulutmu itu, loh! Aduhhh!”

Dengan canggung, aku tertawa kecil. Berusaha keras untuk mencarikan suasana. “Aku cuma bercanda, Diego. Aku udah gak apa-apa, kok.”

Diego tetap diam. Entah karena dibungkam oleh keterkejutannya atas ucapanku, atau karena dibekap oleh rasa malu dan penyesalan yang sedang menyerangnya.

Aku jadi khawatir. “Diego?” panggilku sambil sedikit mendekat, berusaha meneliti ekspresi wajahnya. “Kamu gak apa-apa?”

“Aku—”

“—Hola, buenas tardes, Diego.” Ucapan dalam bahasa Spanyol itu menginterupsi kami, membuat aku dan Diego langsung menoleh ke sumber suara—ambang pintu ruang berkumpul yang ada di belakang balkon. “Perdona que te moleste, pero el aire acondicionado de mi habitación no funciona. ¿Podrías revisarlo, por favor?

Diego menegakkan tubuh, lalu menghadap penuh ke lawan bicaranya. Kemudian, dia pun menjawab sambil mengangguk sekali dan tersenyum, “Sí, buenas tardes. Ay, lo siento mucho por las molestias. Iré allí para revisarlo y enviaré a un técnico lo antes posible para arreglarlo.”

Wanita berambut cokelat yang tadi mengajaknya bicara pun ikut tersenyum. “De acuerdo, gracias,” balasnya.

De nada.

Setelahnya, wanita itu—yang seingatku merupakan tamu baru di rumah sewa ini—pun pergi. Ia berbalik, lalu berjalan menuruni tangga sampai menghilang dari pandangan kami.

Untunglah dia tiba-tiba datang, aku jadi bisa sedikit terbebas dari suasana canggung yang sempat mendera kami.

Aku kembali mengarahkan pandangan pada Diego, “Tadi kalian ngomong apa?” tanyaku penasaran.

Sambil melanjutkan lagi kegiatan menyiram bunganya yang sempat tertunda, Diego menjawab, “Tadi, wanita itu bilang begini, ‘Halo, selamat sore, Diego. Maaf mengganggu, jadi begini, AC di kamar saya tidak berfungsi. Bisakah Anda mengeceknya, tolong?’”

“Ooohhh. Lalu kamu jawab apa?”

“Kataku, ‘Ya, selamat sore. Oh, maaf sekali atas ketidaknyamanannya. Saya akan ke sana untuk mengeceknya, dan segera mengirim teknisi untuk memperbaikinya.’”

“Kalau yang terakhir?”

“Dia cuma berterima kasih, dan aku pun cuma bilang ‘sama-sama.’”

Aku mengangguk-angguk mengerti sambil berucap “oh” panjang sekali.

“Kamu sama sekali belum paham bahasa Spanyol, ya?”

Sambil tersenyum malu, aku menggelengkan kepala. “Belum. Paling cuma beberapa kata yang aku ngerti.”

“Belajarlah, Zara. Mumpung masih dua bulan lagi kamu tinggal di sini.” Diego menaruh gembor hijau ke sebelah salah satu pot bunga di dekat pembatas balkon. “Eh, aku pergi dulu, ya? Mau cek AC di kamar tamu tadi,” pamitnya.

“Hm? Oh, iya-iya.”

Dan Diego pun pergi, meninggalkanku yang terdiam diterpa angin sepoi-sepoi di balkon lantai empat ini.

***

Aku betul-betul tak mengindahkan ucapan Diego yang menyuruhku untuk beristirahat dan tidak bekerja dahulu dalam waktu dekat ini, sebab pada pukul dua dini hari ini, aku malah sedang duduk di kursi balkon sambil sibuk menulis blog di laptopku.

Kalau pria itu tahu, dia pasti akan langsung mengomel sepanjang rel kereta api. Makanya, sebelum masuk ke sini lewat pintu dapur lantai tiga, aku memastikan lampu kamar dan ruang melukisnya telah mati terlebih dahulu.

Sebenarnya, aku sama sekali tidak berniat untuk begadang. Namun, karena aku sempat tertidur seusai salat isya—sekitar pukul setengah sebelas—dan tak bisa tidur lagi setelah terbangun di pukul satu, jadilah aku memilih untuk pergi ke balkon dan menulis saja.

Maka dari itu, di sinilah aku, di atas kursi rotan yang menghadap ke meja, duduk dan menulis blog di laptop, sambil menggigil karena udara yang terasa begitu dingin. Suhu yang mencapai 9 °C ini menembus sweter berbalut jaketku dan menusuk-nusuk kulit di baliknya.

Apalagi, angin yang berembus ringan menemani awan tipis di langit kelam juga turut serta membawa hawa beku, membuatku jadi berkali-kali mesti menggosokkan kedua telapak tangan demi bisa mendapat sedikit kehangatan.

Akan tetapi, kejamnya suhu dan gelapnya langit tak akan menggoyahkan keinginanku untuk menulis malam ini. Aku akan tetap menulis, harus!

Sungguh menyebalkan, mengingat bahwa tujuanku kemari untuk menulis blog dan puisi sampai nyaris terlupakan, akibat konflik dengan Diego yang sempat menghampiriku kemarin-kemarin—dan cedera yang sedang menyiksa lengan kananku, tapi, ya ... ah, sudahlah.

Yang penting sekarang aku bisa menulis lagi, walaupun dengan kondisi tangan yang masih lumayan nyeri.



Pada tanggal 18 April lalu, saya menghabiskan waktu seharian penuh dengan mengelilingi distrik Albaicín. Saya berangkat di pagi hari, memulai perjalanan saya dengan menelusuri bangunan-bangunan menarik dan resto-resto halal di sekitar Calle Elvira.

Begitu siang hari menyapa, saya yang masih setia menyusuri Calle Elvira pun berbelok ke kiri, masuk ke Restaurante Fairuz untuk menyantap makan siang. Restoran Lebanon yang terletak di Calle Elvira nomor 24 ini menjual makanan halal, jadi saya bisa bebas memilih menu tanpa perlu merasa khawatir.

Restoran yang dinding luarnya berwarna biru muda ini nyaman untuk disinggahi. Dalamnya cukup sederhana, tak ada hiasan-hiasan mewah penuh pola seperti restoran di Albaicín pada umumnya—kecuali sebuah kandelir yang terpasang di tengah langit-langit ruangan. Kursinya pun berupa kursi berbahan kombinasi besi dan kayu, yang masing-masingnya menghadap meja kayu tinggi nan mungil.

Di kursi abu-abu itulah, saya menyantap hidangan Frikeh con Carne—rebusan daging sapi cincang dan gandum asap khas Timur Tengah yang terasa pedas, Hummus con Tahine—pasta kental dari biji wijen dan buncis yang dihaluskan, dan Teh Maroko dalam kesendirian. Dari ketiga hidangan tersebut, hanya Hummus con Tahine yang kurang cocok di lidah Indonesia saya. Namun, saya tetap menikmati santapan siang itu dan keluar dari restoran dengan perut kenyang.


Karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah tiga siang—yang berarti sudah masuk waktu salat zuhur sejak lima belas menit sebelumnya, saya pun dengan terburu-buru memasuki Pastelería Andalusí Nujaila—yang terletak tak jauh dari Restaurante Fairuz—untuk membeli dan memakan kue-kue manis—yang tentunya halal—terlebih dulu.

Usai menghabiskan Tarta de Queso—kue keju, karmus—kue isi buah ara, vegano—kue cokelat, dan nujaila—kue almon dan kacang hazel, saya keluar dari Pastelería Andalusí Nujaila yang terletak di Calle Calderería Nueva nomor 9 ini dan terus berjalan lurus, kemudian berbelok ke kiri memasuki Placeta del Correo Viejo. Begitu sampai di depan sebuah bangunan bercat krim yang di atas pintu dan jendelanya terdapat tulisan-tulisan Arab, saya pun berhenti.


Menjulang tinggi bangunan dua lantai di depan mata saya, sebuah masjid yang bernama Mezquita Sheikh Zayed At-Taqwa. Saya baru mengetahui keberadaan masjid ini tadi malam, di saat saya sedang riset untuk tempat-tempat yang ingin saya kunjungi hari ini. Dengan begitu, berarti—sejauh yang saya tahu—ada dua masjid di distrik Albaicín ini; yang pertama adalah Mezquita Mayor de Granada dan yang kedua adalah Mezquita Sheikh Zayed At-Taqwa.

Berbeda dengan Mezquita Mayor de Granada yang terletak di area luas dekat lapangan terkenal—mudah dijangkau oleh publik, Mezquita Sheikh Zayed At-Taqwa ini terletak jauh di dalam pemukiman warga. Saya harus melewati jalan-jalan super sempit dan bangunan-bangunan yang berdempetan terlebih dulu, baru bisa menemukan masjid yang satu ini. Bangunannya pun lebih kecil dan sederhana dibandingkan dengan Masjid Agung Granada itu.

Lihat selengkapnya