Inggrid sangat yakin dengan lelaki yang ada dihadapannya. Sambil tersenyum jemarinya meraih tangan lelaki itu, mengangkatnya lalu mengecupnya. Si lelaki terlihat begitu bahagia. Dia ingin sekali meloncat-loncat disana, tapi tentu saja dia tidak akan melakukannya, setidaknya tidak disana. Kemudian tangan Inggrid menariknya. Dia mengikuti saja langkah Inggrid sampai di depan pintu apartemen Inggrid.
Dari
dalam terdengar suara gaduh, dan Inggrid terlihat khawatir. “ehm Rio, aku rasa
sedang ada masalah disini.”
“Sepertinya
begitu.” Rio pun mengangguk.
“Mungkin,
lain hari?” Inggrid menatapnya dengan serius.
“Ok,
lain hari.”
“Aku
akan masuk, dan kamu akan pulang.”
“Ya.”
Inggrid
berdiri diam menatap Rio dan masih mendengar sayup-sayup suara ibunya
berteriak-teriak memaki pamannya. Jantungnya mulai berdetak lebih kencang.
Dengan genggaman kuat dia memegang gagang pintu dan mendorongnya. Tidak
dikunci.
Ketika
pintu terbuka semua berhenti saling berteriak. Ibunya yang sedang mengangkat
tangannya tinggi-tinggi untuk menampar pamannya seketika berhenti. Bibinya
hanya duduk menangis, tanpa melakukan apapun. Dengan air mata berderai ibunya
menghampirinya. Inggrid begitu terkejut melihat ibunya seperti itu.
Melihat
ibunya menangis adalah sebuah siksaan untuknya. Ibunya mendongak menatapnya
dengan air mata yang tumpah, kedua tangannya menggapai kepalanya, dan jari-jari
itu menyentuh pipi Inggrid yang seketika itu juga basah dengan air mata.
“Maafkan
ibumu nak?” Suara ibunya sudah terdengar serak.
Kalimat
itu seperti petir yang menyambar bagi Inggrid. Apakah ibu sudah tahu?
Dipandanginya
satu persatu paman dan bibinya yang menatapnya dengan pandangan memelas. Mereka
lebih seperti minta dikasihani dari pada mengasihani dirinya.
“Anakku
sayang…” tangisnya semakin menyayat.
Inggrid