ELEGI CINTA SANG PENDOSA

Ronie Mardianto
Chapter #7

7 - LANGKAH SELANJUTNYA

Asrofi melihat pesan masuk dari istrinya di handphonenya, dan langsung menyampaikan bahwa siang ini Marlina sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Inggrid senang dengan berita itu.

“Paman, mulai hari ini, menurut sama Inggrid. Inggrid mau, mulai hari ini Paman rahasiakan semua yang akan kita lakukan.”

“Ya Tuhan, kamu mau apa Inggrid?” Asrofi mulai merasa takut dengan perubahan cepat dari keponakannya ini. “Uang yang kamu dapat dari si Yori itu sudah sangat banyak. Kita bisa buka warung kecil-kecilan. Kita bisa sewa rumah yang lebih bagus dan bersih.”

“Paman…” Inggrid bicara lebih tegas. “Ibu masih sakit. Seumur hidupnya Ibu selalu melakukan apapun untuk aku. Untuk Paman juga. Ini waktunya aku membalas kebaikan Ibu, dan ini kesempatan Paman untuk balas kebaikan Ibu kepada Paman dan Bibi Seruni.”

“Tapi kamu janji itu yang terakhir.” Asrofi mencoba meyakinkan Inggrid.

“Nanti kalau Ibu pulang, yang perlu Ibu tahu adalah, aku sudah dapat pekerjaan. Di Mall. Mulai besok aku harus berangkat pagi dan pulang sore atau malam. Paman yang mengantarkan aku tiap pagi dan jemput aku. Atau waktunya kita sesuaikan.”

“Kamu masih belum sadar ya? Perawanmu sudah habis dijual. Perawan itu cuma sekali. Dan lelaki hidung belang yang tajir seperti si Yori itu tidak datang setiap hari. Hargamu pun sekarang sudah sama dengan perempuan di lokalisasi.”

“Tidak Paman. Aku tidak sama. Aku cantik, dan aku akan rawat badanku dengan baik. Aku bisa lebih mahal dari mereka semua. Paman pasti bisa jual aku ke pelanggan yang mau keluar duit lebih banyak.”

Asrofi sampai lemas mendengar keponakannya menjadi seperti itu. Dia tidak habis pikir, bagaimana Inggrid bisa berubah dengan sangat cepat hanya dalam semalam.

“Sebelum Ibu datang, kita harus sudah keluar. Ada banyak yang harus kita kerjakan. Belanja keperluanku Paman.”

***

Siang itu, Yori sudah datang ke apartemen Rio. Sambil tersenyum-senyum senang dia menceritakan apa yang dia lakukan bersama Inggrid mulai dari awal sampai dia terbangun sendirian. Rio mendengarkan dengan tidak senang.

“Ayolah kawan… kamu harusnya ikut senang kalau aku senang.” Yori benar-benar tidak peduli dengan Rio yang tak mau mendengarkannya. “Aku baru tahu, ternyata dia itu luar biasa.”

“Semua perempuan itu sama.”

“Hei, kamu salah. Itulah kesalahan kamu selama ini. Setiap kali ketemu perempuan, kamu gak mau mengencaninya, kamu cuma mau memotretnya. Jadi jangan salahkan aku kalau kamu kalah cepat.”

“Kita bisa bahas yang lain kan?”

“Yang lebih luar biasanya lagi, dia melakukan itu bukan untuk cari uang saja. Tapi orang tuanya sakit, dan dia mau melakukan itu untuk biaya berobat orang tuanya. Itu luar biasa sekali. Kamu tahu gak? Aku malah mau terus membantu dia.”

“Caranya?”

Lihat selengkapnya