Cukup banyak uang yang Inggrid keluarkan untuk sekolah modeling. Dia sangat menikmati prosesnya walau pengeluaran terbesarnya bukanlah biaya pendaftaran, tapi dia tidak punya banyak pakaian yang cocok digunakan untuk latihan dan bersosialisasi dengan semua teman-temannya. Dia harus membelinya.
Belajar mengenakan sepatu dengan hak tinggi adalah siksaan bagi Inggrid dan dia harus terjatuh berkali-kali ketika memaksakan berjalan dengan sepatu seperti itu. Semua tertawa melihatnya jatuh, tapi itu bukan sebuah bully untuknya. Instrukturnya memberikan banyak perhatian kepadanya, karena Inggrid memang potensial bagi sekolah modeling itu, walau dia memulai sekolah di umur dua puluh tahun.
Rio membebaskan Inggrid untuk menggunakan setiap sisi studio untuk digunakan Inggrid berfoto atau membuat video. Bahkan dia diarahkan dan diajari agar terus bisa menguntungkan perusahaan rumah mode miliknya. Dia memantau terus yang dilakukan Inggrid dengan sosial medianya. Dia merasa Inggrid memang akan sangat menguntungkan dalam bisnis rumah modenya.
Di rumah Inggrid pun terus berlatih untuk berjalan dengan menggunakan sepatu hak tinggi. Ibunya, pamannya dan Seruni memperhatikan dengan bangga. Berkali-kali dia terjatuh dan kembali bangun dan terus berlatih. Lama kelamaan dia jadi terbiasa.
“Ibu, aku mau kita pindah dari rumah ini.”
“Pindah? Kita mau pindah kemana? Apa kamu sudah punya cukup uang untuk pindah?”
“Gajiku akan turun besok, dan setelah itu kita bisa pindah secepatnya.”
Marlina menoleh pada Seruni. Seruni mengangguk-angguk senang.
“Apa kamu juga akan ajak bibi dan paman kamu ini pindah?” tanya Seruni.
“Ya, kita akan tinggal satu rumah.”
“Yeee…” Seruni mengangkat tangannya senang.
Asrofi pun mengangguk senang. Walau begitu, dia tetap merasa sedih dengan apa yang telah dikorbankan oleh keponakannya.
Sudah berbulan-bulan Marlina tidak pergi ke lokalisasi, juga pergi ke rumah sakit. Kondisinya jauh lebih baik dibanding sebelumnya yang harus sering keluar malam, apalagi untuk orang seumur Marlina.
“Kenapa sekarang Ibu terlihat lebih gemuk ya?” Tanya Inggrid.
“Yaaa… karena karena sekarang kamu sudah keliatan sukses.” Kata Seruni
“Sukses?”
“Iya, sukses untuk orang seperti kita ini adalah bisa lepas dari lokalisasi.” Seruni tertawa.
Marlina mencubit Seruni, “Kamu gak usah lah sebut-sebut itu lagi. Yang penting Inggrid sekarang sudah kerja. Itu aja aku udah senang.”
“Apa Ibu hamil?” Inggrid curiga.
“Hush… kamu jangan ngomong sembarangan.” Kata Marlina.