Ingrid pulang dan melihat ibunya terlihat begitu lelah. Beberapa tetangga yang melihat Inggrid dengan penampilannya yang terlihat seksi. Dia sempat melihat pandangan sinis mereka, tapi dia tak peduli. Dulu pun mereka memandangnya remeh, ketika dia masih berpenampilan lusuh. Kenapa sekarang aku harus peduli.
Biar aku siapkan makan untukmu. Kamu mau makan kan?” Tanya Marlina setelah membelai wajahnya.
Inggrid mengangguk. “Ya.”
Setelah Marlina masuk kedalam Seruni baru mulai bicara. “Hari ini waktunya kita ke rumah sakit.” Seruni bicara pelan-pelan. “Perut ibumu semakin besar. Aku khawatir dia kena santet.”
Inggrid mengangkat dagu dan tertawa. “Aku gak percaya itu. Aku lebih pecaya dokter. Hari ini biar aku yang antar ibu ke rumah sakit.”
“Aku harap juga seperti itu. Mungkin cuma kembung.”
“Apa ibu hamil?”
Seruni menggeleng. “Ibumu sudah benar-benar tidak pernah datang ke lokalisasi. Jadi gak mungkin dia hamil. Mau hamil sama siapa? Kamu ini…”
Kepada pamannya dia memberikan kunci apartemen. “Nanti setelah aku bawa ibu ke rumah sakit. Paman bisa kosongkan rumah ini.”Inggrid tersenyum. “Kita pindah ke apartemen.”
Asrofi tersenyum senang. “Terima kasih nak.”
Ketiganya berpelukan. Kemudian ibunya datang membawakan mie rebus untuk Inggrid. Asrofi dan Seruni saling pandang. Keduanya senang sekaligus merasa kasihan pada Inggrid.
***
Di rumah sakit Inggrid mendapatkan berita yang tidak pernah ingin dia dengar. Dokter menerangkan penyakit ibunya yang baru dia dengar.
“Saya sudah sering bilang kan sama Ibu, berhenti minum minuman keras.”
“Saya sudah berhenti dokter. Anak saya sudah kerja. Jadi sekarang saya sudah tinggal di rumah.”