Ketika pertama kali mendengar penyakit Marlina, Inggrid memang berusaha tenang, tapi bersama paman dan bibinya Inggrid menangis sejadi-jadinya. Dia cuma punya ibunya. Ibunya yang selalu diandalkan. Ibunya yang selalu melindungi dia. Merawatnya sampai dia bisa seperti sekarang.
Disini, di apartemennya yang rencananya akan menjadi kejutan buat Marlina, malah tertunda lebih lama karena Marlina harus dirawat dulu di rumah sakit.
“Ok Inggrid, berita bagusnya adalah penyakit ini tidak mematikan. Bukan seperti penyakit jantung yang bisa tiba-tiba saja mati.” Kata Asrofi.
“Tapi Ibu akan sakit ini seumur hidupnya Paman.” Inggrid terisak.
“Apa ada solusinya?” Tanya Seruni.
“Donor liver.” Kata Inggrid.
“Kamu pasti bisa. Kamu kan masih sehat.”
“Tapi Ibu gak mau donor dari aku Bi, Ibu gak mau.”
“Donor liver pasti mahal. Dan siapa orang yang mau livernya diiris?”
“Harganya satu milyar, atau lebih mahal lagi.” Inggrid sampai berteriak kesal.
“Ya Tuhan…” Asrofi sampai menarik nafas panjang mendengarnya. “Bagaimana caranya dapat uang segitu?”
Seruni menatap Asrofi, lalu melirik pada Inggrid. “Sebaiknya aku segera ke rumah sakit. “Marlina jangan terlalu lama sendirian. Kamu tetap kerja yang tenang, biar bibimu ini yang akan jaga ibumu ya…”
“Iya Inggrid. Sekolah model kamu kan belum selesai, sekarang selain dari Rio, kamu juga sudah mulai banyak tawaran untuk foto. Kamu gak perlu mikir macam-macam. Kamu pasti bisa dapat uang untuk bayar orang yang mau jadi donor liver untuk ibu kamu.”
Inggrid mengangguk. Tapi aku butuh cepat. Aku takut sampai Ibu mati.
Asrofi mengantarkan Seruni ke rumah sakit. Karena sekarang sudah tinggal di apartemen, dia dan Seruni harus menyesuaikan diri. Penampilan pun harus dijaga, jangan seperti ketika tinggal di rumah kontrakan lama.
Inggrid melihat handphonenya berdering. Dia melihat, hanya ada nomor. Dia mengangkatnya. “Hallo…”
“Hallo Inggrid. Ini aku Yori.” Terdengar suara Yori disana. “Apa kabar?”
“Kamu mau ketemu aku, atau cuma mau tau kabarku?”
***