Pagi hari. Yori dan Papanya di meja makan. Seperti kebiasaan keluarganya mandi pagi pasti sudah dilakukan. Sambil sarapan keduanya berbincang-bincang melanjutkan pembicaraan semalam.
Yori menyampaikan bahwa selama ini dia tak pernah ingin perempuan untuk selalu dekat dengannya, kecuali Inggrid. “Apa Papa tahu kenapa aku menginginkan dia?”
“Kamu bisa katakan…”
“Karena dia tidak pernah berpikir untuk dirinya sendiri. Dia melacur karena dia ingin membiayai ibunya yang sakit.”
Irawan menghela napas. “Tapi apa harus menjadi pelacur?”
“Kalau Papa bukan orang kaya, lalu aku sakit. Apa yang akan Papa lakukan?”
Irawan diam. Dia berpikir.
“Itu yang dia lakukan untuk ibunya.”
“Tetap saja dia pelacur.”
“Dia memang tidak seberuntung keluarga kita Pa, dia tak punya kemampuan apapun, tapi dia belajar dengan cepat.”
“Bagaimana pandangan orang jika melihat keluarga kita?”
“Papa tak pernah peduli apa yang orang katakan. Kenapa sekarang tiba-tiba peduli?”
“Setelah aku nikahi dia, dia tidak akan jadi pelacur lagi. Dia akan jadi orang terhormat. Menjadi bagian keluarga besar Irawan. Tidak akan ada orang yang berani bicara macam-macam.”
“Papa senang kalau kamu menikah, tapi berpikirlah dulu. Pernikahan itu sakral. Jangan sampai kamu menyesal.”
“Tidak akan Pa. Aku yakin dengan Inggrid. Aku ingin perempuan yang berani berjuang untuk orang yang dia cintai. Aku ingin diperjuangkan pada saat aku butuh diperjuangkan. Aku tidak butuh perempuan yang senang karena aku anak tunggal Irawan, dan menikah dengan aku karena dia ingin hidupnya terjamin.”
“Baik jika itu mau kamu. Tapi dengan satu syarat. Lamar dia dihadapan Papa.”
Yori masih terkejut, dan Irawan melanjutkan kalimatnya.
“Nanti malam, orang kita jemput dia, dan Papa mau bicara dengan dia sebelum kamu lamar dia. Setuju?”
“Papa setuju aku akan menikahi Inggrid?”
“Jangan terburu-buru dulu anak muda…” Irawan tertawa. “Kamu memulai hubungan dengan cara yang tidak baik, itu sudah terjadi dan tak bisa dihapus. Setidaknya perbaiki hubungan kalian kedepannya. Sekarang kamu hubungi dia, dan minta dia untuk bersiap-siap.”
Yori segera menelpon Inggrid. Dia merasa begitu senang, ternyata Papanya tidak mempermasalahkan Inggrid. Dia merasa ayahnya hanya sedang mengkhawatirkan dirinya.