Inggrid diantar pulang sampai ke depan jalan apartemen. Dia keluar dari mobil dan berjalan sendirian. Ketika melewati studio dia melihat lampu masih menyala dalam. Inggrid mengetuk pintunya. Beberapa kali dia mengetuk dan tak ada yang keluar. Inggrid melangkah mundur dan meninggalkan studio. Baru beberapa langkah dia mendengar suara Rio memanggilnya. “Inggrid…”
Inggrid berbalik dan kembali melangkah mendekat. “Aku hanya kebetulan lewat dan melihat lampu didalam masih menyala.”
“Kamu mau masuk? Kita bisa ngobrol-ngobrol sebentar.”
“Ok.” Inggrid masuk.
Rupanya didalam hanya ada Rio. Dia sedang mengerjakan rutinitas kerja seorang direktur. Laptop di meja masih menyala dan mejanya berantakan.
Rio mengambilkan kopi untuk Inggrid. “Silahkan.”
“Terima kasih.”
Rio duduk di sebelah Inggrid dan memandanginya. Inggrid meletakkan cangkir kopi yang baru saja diminumnya. Keduanya berpandangan. Inggrid merasa nyaman.
“Apa kamu sudah tahu apa yang terjadi padaku malam ini?”
Rio mengangguk. “Tadi Yori menelponku, dia cerita banyak. Katanya dia melakukan kesalahan dan kamu marah.”
“Ya.”
“Apa kamu merasa bersalah?”
Inggrid menatap mata Rio sebelum menjawab. “Tidak.”
“Kamu tolak lamaran dia.”
“Dia belum berlutut dan memintaku menjadi istrinya.”
Rio tersenyum. “Itu bagus.”
“Apa kamu menyukaiku Rio?”
Rio tertegun dengan pertanyaan seperti itu. Inggrid memandang tepat di matanya. Tajam sekali dan itu melemahkan hati Rio.
“Aku…”
“Apa kamu menyukaiku Rio?”
“Sejak aku melihatmu kerja di café di lokalisasi itu aku sudah menyukaimu.”
“Lalu kenapa kamu gak pernah bilang?”
“Aku belum yakin saat itu.”