Malam itu Bram masih menunggui Yori di rumahnya.
“Ayah, terima kasih ya…” kata Yori.
Bram tersenyum. “Tadi aku telepon Rio, supaya kamu punya teman disini.”
“Rio disini bukan untuk menemani aku kan Yah? Tapi untuk jaga aku biar aku nggak kabur.”
Bram bangkit berjalan menghampiri Yori dan menggosok-gosok rambutnya. “Anak pintar.”
“Ayah, boleh aku bertanya?”
Bram kembali menghampiri sambil membuka jas dan menggantungkan sarung pistolnya di kursi. “Kamu boleh bertanya apapun. Ayah akan jawab.”
Yori memperhatikan pistol yang tergantung di kursi didekatnya. Perlahan tangannya mendekat dan mengambil salah satu pistol dan melihat-lihatnya dari dekat. Dia memutar dan menciuminya, seperti ingin mengenali pistol itu dengan penciumannya.
“Siapa yang paling ayah sayang? Aku atau Rio?”
“Pertanyaan macam apa itu? Aku sayang kalian berdua.”
“Kalau misalnya kami berdua ditangkap penjahat, dan ayah cuma bisa selamatkan satu orang. Siapa yang akan ayah selamatkan?”
“Aku akan tembak penjahatnya, dan kalian berdua selamat.”
“Ayolah Ayah, jawab saja. Siapa yang akan ayah selamatkan?”
“Dengar Nak… Papamu sudah memberiku fasilitas pistol. Ada surat ijinnya dan aku terus berlatih menembak. Waktu muda aku seorang petinju. Aku juga belajar banyak ilmu beladiri. Jadi untuk apa aku harus memilih siapa yang akan aku selamatkan? Kamu dan Rio sama-sama anak Ayah.” Bram tersenyum.
“Hah?” Yori terkejut. “Apa itu betul Ayah?”
Bram tertawa lebih lebar. “Coba kau dengar ini ya… Ayahmu menikahi ibumu sudah berumur enam puluh tahun. Istri pertamanya tak pernah memberinya anak. Lalu istri kedua, yaitu ibumu melahirkan seorang anak lelaki.” Bram menunjuk kepala Yori, “Kamu. Apa kamu pikir ibumu benar-benar hamil oleh Papamu, atau atas bantuanku?”
Yori terperanjat. “Ayah? Apa itu benar?” Bola matanya sampai mau copot.
Bram tertawa terbahak-bahak sambil merangkul Yori dengan erat. “Nak, aku cuma bercanda. Kau anak Papamu, dan Rio adalah anakku.”
Yori membuang nafas lega.
“Sekarang kembalikan pistol itu ke sarungnya. Kalau kau ingin punya pistol juga silahkan urus sendiri, yang itu milikku.”
Yori mengembalikan pistol ke sarungnya.
Saat itulah Rio datang dan langsung bergabung dengan keduanya.
“Ayah, bagaimana kalau aku dan Rio suka pada perempuan yang sama? Siapa yang akan ayah dukung? Aku atau Rio?”
“Mudah saja, aku akan menembak perempuan itu. Lalu kalian masing-masing tinggal cari perempuan yang kalian suka.”
“Wow, keren sekali.” Yori bertepuk tangan.
Rio hanya tersenyum.
“Bagaimana menurutmu Rio, jika kita menyukai perempuan yang sama, apa yang akan kamu lakukan? Kamu akan berikan perempuan itu padaku? Atau?”
“Aku akan bawa perempuan itu kepadamu…”
“Wow, kamu baik sekali Rio.”
“Untuk kita tembak bersama-sama.” Rio tertawa terbahak-bahak.
Yori pun ikut tertawa.
Bram melenguh dan bangkit lalu mengambil jaket dan pistolnya. “Rio, kamu temani Yori. Dia sedang dihukum tidak boleh keluar rumah.”
“Ya Tuhan kamu bikin salah apa sih?”
“Memangnya ayahmu tidak cerita?”
“Cerita apa?”
“Ok, aku ceritakan ke kamu ya…”
Rio mengangguk dan menghadap lurus ke Yori.
“Tadi siang aku kencan.”