Elegi Hujan

Yis Puji Astuti
Chapter #1

Chapter tanpa judul #1Kamu, Anak yang Kumal dan Angkuh

Seringkali cinta bahkan seperti benalu yang menempel pada batang beringin tua, merambat, menjalar dan menyeramkan. Atau seperti parasite yang menggerogoti organ vital hingga sekarat. (Yasmin).

Chapter 1

Kamu, Anak yang Kumal dan Angkuh

1997

Mata kami beradu tanpa sengaja, dan anehnya dia melotot seakan marah. Emangnya apa salahku, kata batinku, aku mendengus kesal, meski kutahu dia pasti tidak akan mendengarnya.

“Sekali lagi kamu terlambat datang di pelajaran saya, saya tidak akan mentolerir.”

Bu Fika memberikan stressing pada kata mentolerir. Aku tahu bahwa beliau bermaksud membuat murid di depannya itu jera dan tidak mengulangi kesalahannya, terlebih lagi Bu Fika kan wali kelas kami, itu pastinya adalah kata-kata sakti yang bisa membuat anak muridnya tidak berkutik.

“Kamu dengar apa yang ibu bilang Rey?” Ibu Fika kembali menegaskan.

“Ya Bu.” Jawab anak itu tak acuh.

“Jadi kamu sudah paham dengan apa yang tadi sudah ibu katakan?”

“Ya Bu, saya paham.”

“Ya sudah sana duduk di bangku kamu.”

Sangat tidak sabar, karena harus berdiri beberapa lama di depan Ibu Fika, anak itu, Rey, dia bergegas menuju bangkunya, melewati aku, sekibasan angin menerpaku bersamaan saat tubuhnya lewat di dekatku,  melirik aku dia dengan ekor matanya. Seakan mengancam. “Apa lo lihat-lihat?”!!”.

Dih….apa urusannya dengan gue, dasar lo-nya aja yang bandel. Sungutku, masih hanya dalam hati lagi.

Dia, Rey, anak pindahan, baru kurang lebih dua minggu. Pindahan dari Tangerang, anak kota, datang ke kelasku dan sering bikin masalah.

Baru hampir dua minggu namun entah mengapa dia sudah bikin aku kesel. Kami sebenarnya belum saling kenal secara dekat, meski satu kelas kami hampir tidak pernah bertegur sapa, dia hanya berbicara pada kawan-kawan satu genk-nya, hebat kan, baru pindah sudah bisa membuat genk, tentunya genk anak-anak badung yang sering bikin masalah.

 Sore menjelang magrib saat kulihat beberapa orang sibuk memasukkan berbagai macam perabot ke dalam rumah di seberang jalan. Itu rumah milik Nenek Mar. Rumah itu sudah cukup lama kosong sejak Nenek Mar meninggal dua tahun lalu. Tentu saja rumah itu berkesan horror, terlebih karena letaknya sedikit menjorok ke tepi sungai. Setiap pulang sekolah aku melewati rumah itu. Kami berempat, aku, Wulan, Azia, dan Mecca selalu berjalan terburu-buru sebab banyak rumor yang terdengar bahwa rumah itu berhantu. Padahal sebenarnya rumah itu masih bagus, bahkan sebelum nenek Mar meninggal rumah itu dipuji-puji sebagai rumah paling bagus di kampung ini. Rumahnya besar, halamannya luas, desainnya meniru gaya rumah orang Eropa.

Tetapi meskipun halamannya luas namun jarang ada anak-anak yang berani main di sana, sebab nenek Mar dikenal sebagai nenek yang kurang ramah dengan anak-anak. Pernah saat aku masih SD, saat berjalan pulang bersama kawan-kawanku, kami melihat buah rambutan yang lebat, buahnya berjuntaian sangat menggoda, ada buah-buahan lain juga di  sekitar halaman rumahnya, ketika nenek Mar melihat kami beliau langsung memarahi  kami, dengan penampilan yang sedikit menyeramkan bagi pandangan kanak-kanak kami, akhirnya kamipun kabur, beberapa dari kami bahkan sampai lari terbirit-birit.

Kali ini aku pulang eskul sendirian, menjelang magrib pula. Namun melihat rumah itu bakal dihuni lagi setidaknya membuatku sedikit lega. Esoknya mama menyuruhku mengantarkan makanan untuk keluarga baru itu. Sungguh aku merasa enggan.

“Yasmin tolong antarkan makanan ini ke tetangga baru kita ya.”

“Lucy aja sih Ma.” Jawabku malas.

“Lucy tidak mau, lagi pula kamu yang lebih besar jadi kamu yang lebih pantas mengantarkan ke sana.”

“Kenapa bukan Mama aja sih…”

“Mama masih belum selesai nyiapin makan malam. sebentar lagi papa pulang kan?”

. Dulu saja ketika Nenek Mar masih hidup aku tidak pernah  menginjakkan kaki di rumah itu. Apalagi sekarang harus mengantarkan makanan kepada penghuni baru yang jelas belum kukenal. Enggan kulangkahkan kaki, namun mau bagaimana lagi kami sudah terdidik untuk tidak boleh membantah.

“Assalamualaikum…”

“Waalaikum salam..” Seorang lelaki seusia papaku muncul dari balik pintu.

“Ada apa Nak?”

“Ini Pak, ada makanan dari mama.” Langsung kusodorkan piring berisi bolu kukus dan brownies itu.

“O...siapa nama mama kamu?”

“Mama Nana Om.”

Lelaki itu terdiam, tampak berpikir, mengingat-ingat sesuatu.

“Rumah kamu yana mana Nak?”

“Itu Om .” Aku menunjuk ke arah rumahku.

“O..kamu anaknya Pak Taufik?”

Aku mengangguk kemudian langsung berpamitan. Bergegas, setengah berlari kulalui halaman rumah itu. Aku melangkah cepat tanpa melihat ke depan, hingga saat keluar pagar aku hampir bertabrakan dengan seorang anak lelaki yang bersepeda. Dia jauh lebih muda dibandingkan denganku. Kami sempat bersitatap namun karena tidak saling kenal maka kami hanya menghindar dan aku kembali berlari.

“Sudah diantarkan kuenya, Yasmin?”

“Sudah….”

Malamnya kudengar suara seorang lelaki bertamu. Dari percakapan dengan mama dan papa kutebak kalau dia adalah penghuni baru rumah almarhumah Nenek Mar. Aku tidak terlalu peduli, kulanjutkan saja meneruskan lukisan untuk dikumpulkan pada pelajaran kesenian esok hari.

“Itu tetangga baru kita loh, Kak.”

Tiba-tiba Lucy membuka pintu kamarku dan langsung mengoceh.

“Dia punya anak laki-laki seumuran aku, namanya Rendy. Masih kelas enam SD. Katanya dulu pernah sakit sampai tidak naik kelas makanya dia masih kelas enam SD.” Lucy semakin nyerocos.

“Ooo… tahu dari siapa kamu?!” jawabku cuek saja.

“Aku tadi kan ikut nemuin, jadi aku disuruh kenalan sama mama.”

“Kepo..”Aku mencibir.

“Biarin…”

“Mau ke mana?”

“Mau ikut ngobrol lagi dengan mama papa dong…”

“Hei..tutup lagi pintunya!!!.” Teriakku tapi Lucy sudah menghilang. Sambil bersungut kututup pintu kamarku. Selintas teringat perkataan Lucy tentang anak laki-laki yang seumuran dia, aku tadi siang berpapasan dengannya, sepertnya anak itulah yang namanya Rendy

Pukul setengah sepuluh malam tamu itu pulang. Sepertinya mereka asyik sekali mengobrol, biasalah para orang tua memang suka belebihan kalau berbasa-basi, sampai lupa waktu. Aku tidak terlalu menangkap obrolan mereka, karena sepanjang mereka mengobrol aku asyik melukis sambil menutup telingaku dengan. Menikmati suara Bon Jovi, ‘Always’ jauh lebih enjoy. 

“Kamu belum tidur, Yasmin?”

Mama masuk ke kamarku.

“Tetangga baru kita punya anak yang bersekolah di tempat yang sama dengan kamu.” mama menjelaskan.

“Apa Ma?” kubuka headset-ku.

Anak tetangga baru kita, yang anak pertama, dia sekolahnya sama dengan kamu.”

“O…” hanya itu jawabku. Aku pasang kembali headset, Bon Jovi kembali bernyanyi di telingaku, nada tinggi dan liukan suara melodinya kembali membuatku tenggelam asyik sambil melukis.

Esok paginya, pukul tujuh kurang sepuluh menit aku sampai di gerbang sekolah diantar oleh papa seperti biasa. Lucy sudah turun dari mobil lebih dahulu, ia segera berlari masuk ke gerbang sekolah, rupanya ia mengejar kawan-kawan satu genk-nya. Kelas Lucy lebih ke arah kiri dari gerbang. Aku turun beberapa ratus meter dari sekolah Lucy. Sebentar lagi gerbang segera ditutup sebelum bel tanda masuk berbunyi. Lapangan ramai oleh siswa-siswa yang bergegas menuju kelas masing-masing. Tiba-tiba seseorang menabrak keras punggungku saat berjalan di selasar kelas yang ramai dengan lalu lalang anak-anak kelas delapan. Aku terjerembab. Tas hampir jatuh namun tertahan oleh tubuh anak lain yang kebetulan berjalan juga di depanku. Kesal, reflek aku menoleh dan yang kulihat wajah anak lelaki. Rey, aku menatapnya kesal dan hampir kumarahi dia namun dia justru menatapku dengan angkuh tanpa meminta maaf. Dia berlalu seperti tergesa-gesa.

Lihat selengkapnya