“Dunia bisa digambarkan melalui untaian kata yang paling indah dalam bait-bait sebuah puisi. Dalam setiap kata tersimpan banyak makna yang mendalam. Begitu dalam, sehingga sering kali pembaca tidak mampu menangkap makna dari puisi itu. Puisi banyak menggunakan bahasa kiasan, majas, simbol dan lain sebagainya. Semuanya itu semakin membuat sebuah puisi menjadi begitu misterius. “
Bu Yessy menjelaskan sambil berjalan mengelilingi kelas, tangannya menunjuk ke arah papan tulis hitam yang telah ia tulis dengan kapur, sebuah puisi karya WS. Rendra yang berjudul, “Bunga Gugur’’.
Aku membacanya berulang kali, mencoba untuk memahami isi puisi itu, aku tidak menemukan sesuatu yang misterius seperti yang Bu Yessy katakan, aku suka dengan kata-kata dalam puisi itu, itu saja.
“Sebuah kata seperti sebuah cangkang yang menyembunyikan arti sesungguhnya sebuah puisi. Tidak ada yang bisa menentukan makna sebenarnya dari sebuah puisi, kecuali pengarangnya sendiri. Kita sebagai pembaca hanya mampu menafsirkan saja, sedangkan makna sebenarnya dari puisi hanya sang pengaranglah yang paling tahu,” lanjut Ibu Yessy.
“Nah, anak-anak semua, perlu kalian ketahui juga bahwa sebuah puisi tidak hanya indah untuk dibaca, pembacaan sebuah puisi bisa juga diringi dengan musik, diiringi musik dan gerak teatrikal, bahkan puisi juga bisa dinyanyikan seperti sebuah lagu, itulah yang disebut dengan musikalisasi puisi.”
Lalu Bu Yessy menayangkan sebuah video, seorang lelaki yang sedang membaca puisi dengan diiringi musik. Berikutnya beliau menayangkan lagi video seseorang yang meyanyikan lagu yang diambil dari sebuah puisi, dan terakhir, beliau menayangkan video sekelompok siswa yang memperagakan musikalisasi puisi, tiga orang menjadi vokalis, sedangkan selebihnya memainkan beberapa jenis alat musik tradisional. Penampilan mereka luar biasa.
“Untuk tugas dari Ibu, kalian menampilkan musikalisasi puisi secara berkelompok. Ibu akan membagi kelompok secara acak.”
Riuh seketika isi kelas. Setiap anak berceloteh dengan kawan-kawan sekelilingnya. Murid-murid masih dalam tahap memahami penjelasan Bu Yessy mengenai musikalisasi puisi, sekarang kami sudah harus membuat tugas musikalisasi puisi secara berkelompok, entah beliau yang terlalu cepat dalam mengajar atau dasar otak kami saja yang lemot.
“Ibu minta kalian berhitung dari angka satu sampai enam. Setiap sampai di angka enam kalian mulai lagi dari angka satu lagi, begitu seterusnya sampai semuanya selesai berhitung.”
Riuh lagi seisi kelas, bahkan sekarang suasana menjadi gaduh, sebuah kebiasaan buruk anak-anak IPS yang IQ-nya hanya sedikit di atas IQ jongkok, setiap mendapatkan tugas dari guru pasti meresponnya dengan gaduh terlebih dahulu.
‘Sudah! Sudah !! Semua perhatikan instruksi dari Ibu.”
Semua siswa bersiap menunggu Bu Yessy memulai instruksinya.
“Baiklah anak-anak, berhitung mulai.”
“Satu, dua, tiga….” Begitulah, setiap murid menghitung sesuai dengan urutannya.
“Baiklah anak-anak semuanya, sekarang Ibu kelompokkan kalian berdasarkan nomor urut kalian masing-masing. Ibu panggil nama kalian kemudian nama yang Ibu panggil silakan duduk di tempat sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Ibu sudah membagi posisi duduk yang terpisah dari masing-masing kelompok. Nah sekarang kalian semua berkumpul di depan dulu, setelah itu Ibu panggil nama kalian satu per satu.”
“Ya Bu.”
“Baik Bu.”
Riuh kembali suasana kelas, murid-murid berhamburan ke depan kelas . meskipun sudah kelas dua SMA tetap saja kami ribut hanya gara-gara disuruh BuYessy maju. Murid perempuan ketawa-ketiwi, entah apa yang lucu, sedangkan yang laki-laki dorong-mendorong nggak jelas.
“Ibu mulai panggil kalian, perhatikan ya, jangan ribut.
Satu per satu nama dipanggil, tentu saja karena namaku berhuruf Y maka aku paling akhir. Aku kebagian nomor urut tiga. Dan sekarang Bu Yessy telah memanggil nama dengan huruf depan R, sampai beliau panggil nama Rey.
“Raka Reynanda…”