Mie Ayam Alun-Alun dan Kamu
Siang ini pulang sekolah aku sengaja mampir ke toko buku favoritku, ini adalah toko buku terbesar yang ada di kotaku. Aku kehabisan alat-alat tulis maka aku sempatkan untuk membelinya. Aku selalu merasa senang sekali setiap memasuki toko buku ini. Ada sensasi luar biasa setiap berjalan di antara deretan buku yang tersusun rapi, buku-buku itu seakan memanggil-manggil, begitu menggoda untuk kudekati. Kujelajahi setiap rak maupun tumpukan buku, meskipun tidak semua buku kubaca, terkadang hanya kuamati sampulnya saja, beberapa buku new arrival kubaca sinopsisnya. Gairahku untuk membaca semua buku membuatku sering lupa waktu demi memilih buku yang paling menarik. Puas memilih buku, aku memilih beberapa pulpen cantik, kedua hal ini sebenarnya tidak ada dalam agendaku. Awalnya hanya butuh beberapa alat tulis, tetapi melihat pulpen yang lucu aku tak kuasa untuk tidak membelinya.
Sementara tanganku sibuk memilih pulpen yang yang tertata rapi di rak susun, sekilas mataku menangkap bayangan seseorang yang sepertinya aku kenal. Dia berada di sudut alat-alat olah raga dan musik. Untuk meyakinkan bahwa yang kulihat itu adalah dia, maka aku menggeser tubuhku hingga lebih condong ke arah kanan, dengan begitu aku bisa melihat seseorang itu dengan lebih jelas. Dan benar, itu memang dia, Rey yang sedang memilih sebuah gitar. Entah magnet apa yang menyedot pikiran kami, seakan Rey juga menyadari kalau aku memperhatikannya, tiba-tiba lehernya berputar ke arahku, kini dia menengok tepat kepadaku yang sedang berdiri. Frezze. Kami saling bersitatap, kilatan matanya menyiratkan kalau dia kaget dengan pertemuan kami, namun kemudian dia kembali pada sikap biasanya yang cuek, ia kembali fokus pada gitar yang sedang dipilihhnya. Namun beberapa saat berikutnya ia terlihat agak tergesa, sekarang dia bergegas, terburu-buru. Diambilnya sebuah gitar dan segera ia menuju kasir. Begitu selesai bertransaksi iapun berlalu dengan mengayuh sepeda BMX-nya.
Aku menghela nafas. Sikapnya jelas menunjukkan jika dia tidak berharap bertemu denganku. Ya sudahlah, biarpun satu kelas, nyatanya memang kami hampir tidak pernah mengobrol. Jadi apa perlunya ku tegur dia? Ku putuskan untuk segera pulang juga. Sudah sore, pasti papa bakal mengintrogasiku kalau terlalu lambat pulang sekolah.
Waktu menunjukkan pukul lima sore. Aku duduk-duduk di teras rumah setelah mandi. Masih ada sedikit waktu untuk bersantai. Sore begini aku paling suka duduk di teras. Bersama papa dan Lucy, sedangkan mama, menyiapkan makan malam bersama Bi Warni. Aku dan Lucy memeng tidak pernah membantu mereka, lagipula mama juga hanya memberi instruksi kepada Bi Warni saja mengenai apa saja yang harus disiapkan. Dari menu sampai menyiapkan makanan di meja makan.
Kami menikmati sore itu, duduk di teras, aku dan Lucy, kami berdua sepakat untuk menunggu tukang baso langganan kami, Mang Mansur, lewat di depan rumah. Sedangkan papa lebih menikmati teh tawar dan kudapan buatan mama. Kami mengobrol mengenai kegiatan di sekolah, Lucy bercerita mengenai kejadian-kejadian lucu. Lucy sangat pandai bercerita, dia gadis periang yang menganggap segala hal dengan perspektif humor. Ada saja hal lucu mengenai kawan-kawannya, bahkan para gurupun sering dia jadikan bahan gurauan, mulai dari cara bicara, berjalan, gaya guru saat marah-marah, semua yang diceritaknnya membuat aku dan papa terpingkal-pingkal.
Namun belum sampai terwujud keinginan kami untuk menikmati semangkok bakso Mang Mansur, tiba-tiba sebuah suara teriakan gaduh terdengar lagi dari rumah yang tak jauh dari rumahku, yaitu rumahnya, Rey. Terdengar teriakan Om Arya yang sangat keras. Teriakan itu membuat kami kaget hingga kami mematung, saling berpandangan. Berikutnya suara teriakan yang disusul suara teriakan Rey yang juga tidak kalah kerasnya. Jantungku berdegup kencang memikirkan apa yang sedang terjadi. Mama dan papa keluar karena mendengar suara itu. Ini bukan yang pertama kalinya memang tapi tetap saja kami selalu dibuat kaget. Tak lama kulihat Rey keluar rumah dengan sepeda BMX-nya. Terburu-buru dia mengayuh sepedanya itu entah kemana tujuannya. Sepertinya dia berusaha menghindari amarah ayahnya itu dengan kabur dari rumah.
Bukan hanya sekali, sering sekali kudengar Rey dimarahi oleh ayahnya semenjak mereka pindah kemari. Tetapi kulihat sepertinya Rey terbiasa, dia tampak cuek saja. Apakah sebegitu badung anak itu? Sebegitu bebalnya sampai ayahnya selalu marah padanya?
Peristiwa itu membuat kami terdiam, saling bertatapan, kami saling berbicara dengan pikiran masing-masing, menduga-duga dengan apa yang barusan terjadi, begitu fokusnya kami hingga Mang Mansur yang lewat tidak kami sadari, lagipula kami jadi merasa tidak enak, berada di teras di saat tetangga sedang ribut, seakan kami kepo dengan urusan orang lain. Jadi papa menyuruh kami untuk masuk rumah.
Sehabis magrib mama baru teringat kalau belum membeli kado untuk sahabatnya yang berulang tahun. Mama menyuruh aku membelinya di toko souvenir bersama papa. Lucy sedang banyak PR sehingga tidak mau ikut kami, padahal biasanya bocah itu paling antusias. Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai di toko souvenir itu. Papa menyuruhku memilih souvenir sesuai dengan arahan mama. Tidak butuh waktu lama, aku menemukan barang sesuai dengan yang diinginkan mama. aku meminta pelayan membungkusnya dalam kado, kupilih kado motif bunga kecil-kecil warna pink, juga pitanya kupilih yang warna senada. Selesai, kami bermaksud untuk pulang, namun saat keluar dari toko tiba-tiba hujan turun. Hujan yang mendadak turun dengan sangat deras.
“Kita tunggu saja sampai agak reda ya.” kata papa.
Aku hanya bisa mengangguk, sejujurnya aku sedikit kesal, ada PR yang belum selesai kukerjakan. Namun, memang kenyataannya tidak mungkin kami langsung pulang sebab papa memarkir mobil agak jauh dari toko souvenir ini, sebab kebetulan di depan toko ini telah penuh oleh mobil konsumen lainnya. Jika kami nekad menerobos hujan, bisa-bisa kami basah kuyup.
“Kita tunggu di café itu saja. “
Aku mengikuti papa yang berjalan menuju sebuah café. Kami duduk berhadapan menunggu minuman dan snack yang kupesan. Aku sengaja memilih duduk di dekat jendela, aku ingin melihat hujan dari kaca café. Hujan itu begitu indah, terlihat dari cahaya lampu-lampu jalanan yang berwarna perak di luar sana. Lama pikiranku terbius oleh suara hujan yang berbaur dengan alunan musik dari pengeras suara café. Papa menikmati kopi pesanannya.
Sepuluh menit berlalu, hujan masih mengguyur kota. Aku masih tenggelam asik menikmatinya. Beberapa orang pengamen masuk, mereka bernyanyi di kursi paling depan. Kulirik mereka dengan sudut mataku, tiga orang cowok kumal, kemudian aku kembali fokus memandang hujan, beberapa mobil yang lewat, rodanya menggilas genangan air, menimbulkan cipratan air berbentuk sayap burung raksasa, diiringi suara renyah dari air yang tergilas roda.
Kudengar para pengamen menyanyi di kursi kami, suaranya merdu, tapi aku tidak peduli. Lebih menarik bagiku menikmati suara hujan.
“Loh…Nak Rey.”
Itu suara papa.
“Ehh…iya Om.”
Suara yang kukenal berbicara pada papa. Reflek kuputar leherku, dan ya, dia, Rey, yang sedang mengamen di depanku. Kami bersitatap. Dia mematung.
“Yuk…duduk sini. Gabung dengan Om. Ini ada Yasmin juga, kalian teman satu kelas kan.”
“Iya Om.” Rey masih mematung.
“Ayo, mari duduk di sini.”
Papa menggeser sebuah kursi dan mempersilakan Rey untuk duduk.
“Nah, ajak juga kawan-kawan kamu sekalian.”
Papa menyuruh seorang pelayan menambahkan kursi untuk dua orang kawan Rey. Mereka menolak namun papa memaksa.
“Ayo….ayo….nggak usah sungkan. Di luar masih hujan deras. Lebih baik kalian menunggu hujan reda.”
Aku sebenarnya agak kurang nyaman dengan sikap papa yang berkesan memaksa. Rey berulang kali melirikku. Dia sangat ragu namun tidak kuasa menolak ajakan papa. Aku tidak berreaksi apa-apa. Dalam hati kupikir terserah dia, apakah mau menuruti ajakan papa atau tidak, bukannya selama ini memang dia juga tidak ramah, kami tidak akrab sama sekali. Aku yakin dia tidak akan menerima ajakan papa, tapi kemudian dia, Rey, dia duduk di kursi yang disediakan oleh papa tadi. Kini justru aku yang salah tingkah.
“Nah…begitu dong. Ayo ajak kawan-kawan kamu.”
Rey memberi kode dengan gestur tubuhnya, menyuruh kawan-kawannya untuk duduk. Kini meja kami ramai dikelilingi oleh Rey dan dua kawannya. Kami berlima duduk melingkari meja. Hujan di luar belum mengisyaratkan akan reda.
“Kalian berdua siapa namanya?”
“Mmm…saya Edi Om.” Edi mengulur tangannya pada papa.
“Saya Nanang Om.” kini Nanang yang mengulurkan tangannya.
“Kalian juga satu sekolah dengan Rey dan Yasmin?”tanya papa.
Papa memulai percakapan dengan berbasa-basi.
“Nggak Om, kami nggak sekolah.” Jawab mereka malu-malu.
“O…kenapa nggak lanjut sekolah?”
“Dikeluarin dari sekolah Om, sering bolos.” jawab cowok yang bernama Nanang.
Edi dan Rey tertawa cekikikan, anehnya papa kok juga ikut tertawa.
Makanan dan minuman yang sengaja dipesan papa untuk mereka datang, papa menyilakan mereka untuk makan. Baik sekali papaku ini, pikirku. Mereka terus ngobrol sambil makan. Kulihat papa begitu asik ngobrol dengan mereka, ada saja bahan pembicaraan, topik seputar lelaki, topik tentang olah raga pastinya.
Kira-kira tiga puluh menit berlalu. Seorang lelaki masuk ke dalam kafe, dia duduk di kursi yang tidak jauh dari kami, membelakangi papa, namun tidak lama kemudian lelaki itu menyapa papa. Ternyata dia rekan kerja papa. Kini papa malah berpindah tempat duduk dengan rekan kerjanya itu.
“Rey, kita cabut dulu ya.” Kata Edi.
“Bareng dong.” Jawab Rey.
“Eh…jangan, kamu di sini saja. Kasihan teman kamu sendirian.”
Edi dan Nanag pergi tanpa menunggu persetujuan dari Rey, mereka sempat berpamitan sambil mengucapkan terima kasih pada papa yang dijawab dengan ramah oleh papa. Kini aku dan Rey, duduk bersama menghadap satu meja, kikuk.
“Diminum Rey.”
Aku memecah kekikukkan. Dia Rey, mengangguk. Dengan jarinya ia menyisr rambut yang menutupi dahinya. Deggg…mengapa kulihat dia begitu eksotik.
“Tadi kamu beli gitar ya? Itu gitarnya?” aku menunjuk gitar yang disandarkan di kaki kursi di samping Rey.”
“Ya.”
“Kamu pinter main gitar, aku nggak bisa main musik sama sekali ”.
Rey meraih gitarnya, meletakkan di pangkuannya dan mulai memetiknya pelan, mulai tetdengar sebuah nada, entah lagu apa.
“Mau coba?’ dia bertanya, aku tergagap.
“Emm…”
“Sini, cobalah.”
Dia menyodorkan gitarnya padaku, aku masih ragu, tapi kemudian dia mengulangi kalimatnya, ia memintaku mencobanya.
“Begini posisi jari kamu.”
Aku mengikuti petunjuknya. Namun ternyata tidak mudah, beberapa kali mencoba jariku malah terasa sakit.
“Kamu terlalu banyak baca buku, kutu buku.” katanya, ia melirikku, tersenyum tipis, sedikit nyinyir, namun begitu manis, aku tersipu, dan aneh, aku tidak merasa tersinggung.
“Ini kunci G…ini kunci C…”
Begitu terus dia menjelaskan, jarinya memindahkan jemariku naik turun. Setengah jariku memencet senar, satu jari lagi penuh memencet senar gitar, aku meringis sebab yang kurasakan ujung jariku sakit.
“Coba kulihat jari kamu.” Rey menarik jariku kemudian mengamatinya.