ELEGI ITU LENGKARA!

Viska Nurisma
Chapter #2

Prolog #2

Perjalanan.

Bagi seorang Gantari Nirwasita yang berusia seperempat abad ini, perjalanan bukanlah tentang mencari jati diri, bukan pula tentang menjelajahi negeri, apalagi mencari kitab suci – ia tak sesakti itu. Perjalanan, baginya, saat ini, hanyalah tidur di ruang executive dengan membayar lima belas ribu dan kau bisa mendapat kursi yang (sedikit lebih) empuk dari ruang ekonomi dan merasakan dinginnya air conditioner yang perlahan menghangat seiring bertambahnya manusia yang masuk. Semakin banyak manusia, ruangan semakin hangat, di situlah letak korelasinya di mana ia jadi tak paham apa bedanya ruang executive dengan ruang ekonomi di luar sana. Setidaknya tak ada musik dangdut karaoke yang membuat tuli dan mengganggu tidurnya.

Jika dibandingkan dengan dua puluh tahun lalu, perjalanannya kali ini tidak lebih dari sekedar melompati waktu menghadapi realita yang–yah–kalau boleh tak dihadapi. Bolehkah aku menghindar saja seperti pengemudi nakal yang memutar balik motornya karena seratus meter di depannya ada polisi yang sedang mengadakan razia dan ia tak punya SIM, tak pakai helm, bahkan motornya tak layak berada di jalan? Bolehkah aku memutar jalanku, kembali ke masa-masa di mana keadaan terburukku hanyalah mendapat nilai nol di pelajaran matematika? Atau sakit perut karena kebanyakan makan jeruk? Lutut lecet karena tersandung batu di jalan? Apakah aku boleh protes bahwa apa yang kualami ini sepertinya lebih berat dari apa yang bisa kupikul di kedua pundakku yang tulangnya sudah kelihatan menonjol ini? Pertanyaan-pertanyaan retoris yang sama selalu berulang-ulang menghadiri pikirannya. Sebetulnya ia ingin protes, tapi Tuhan tidak menyediakan kotak kritik dan saran. Walaupun ia sudah sering meyakinkan diri bahwa Tuhan tak akan memberi ujian melebihi kapasitas hamba-Nya, tetap saja malam yang dilalui serasa tidur di atas sikat kamar mandi raksasa atau berjalan di atas sendal refleksi yang terbuat dari paku-paku tumpul; keras, tak melukai, tapi menyakitkan.

Aku tak boleh mengeluh, tegasnya.

Biar kuberitahu satu hal: saat ini ia sedang berada di kapal laut, duduk bersandar di ruang executive dengan memakai jaket putih yang kupluknya dikenakan sampai menutupi wajah, memakai masker hitam untuk berjaga-jaga agar saat ia tertidur dan mulutnya mangap tanpa izin, iatidak difoto, di-posting di media sosial, menjadi viral, dan mempermalukan diri sendiri. Oke, mungkin tidak bakal sejauh itu. Ia hanya menghindari kemungkinan terburuk, begitulah.

Lihat selengkapnya