ELEGI ITU LENGKARA!

Viska Nurisma
Chapter #3

Satu

Bangku teater, panggung dengan tirai beludru, wangi pengharum ruangan yang tidak tahu apa merknya, dan udara dingin yang menetap di besi-besi. Bangku nomor H11 yang kosong, itu adalah bangku yang diduduki Sita sekarang: bangku langganan kalau ia menonton teater. Seandainya ia orang kaya, ia ingin menonton semua pertunjukan teater. Sayang, uang yang dikumpulkan juga dibutuhkan oleh keluarganya di kampung sana. Tak boleh boros!

Tirai beludru dibuka. Pada saat yang sama, semua hal yang berada di momen itu pun dimulai dari nol.

 

Kita guyah lemah

Sekali tetak tentu rebah

Segala erang dan jeritan

Kita pendam dalam keseharian

Mari berdiri merentak

Diri-sekeliling kita bentak

Ini malam bulan akan menembus awan

 

Riuh gemuruh tepuk tangan mengiringi puisi yang dibacakan dengan menggebu-gebu sebagai titik awal dimulainya persembahan pertunjukkan teater, dibawakan oleh seorang artis yang tidak terlalu terkenal (karena tak pernah main sinetron), di depan single standing mic, sendirian. Single spot light sudah redup, seorang narator mulai mengoceh memperkenalkan alur cerita yang bergerak maju.

26 Juli 1922, seorang bayi laki-laki lahir dari darah keturunan Bupati Indragiri. Siapa sangka, di usianya yang ke-duapuluhtiga, tepat pada tahun 1945, ia menjadi sosok penting di balik merdekanya Bumi Indonesia tercinta kita ini−

Siapa sangka pula Sita di usianya yang ke-duapuluhlima belum melakukan apa-apa.

Sebagai seorang bungsu yang lahir di tengah keluarga berada, tak pernah sekalpun Chairil dibiarkan berkekurangan. Baik dengan orang tuanya maupun neneknya, ia selalu dimanjakan dan dicukupkan−“

Seorang bocah laki-laki kecil keluar, bergaya ala Ghost Rider mengendarai motor Harley Davidson (walaupun Harley-nya diganti sepeda kinclong roda tiga). Dua tiga anak-anak mengekor, mungkin itu kawannya.

Ini adalah pertunjukkan teater ketiga yang ditonton Sita sejauh ini. Sekarang, ia sedang berusaha menikmati pertunjukkan yang mulai membosankan di menit ke-duapuluh. Ia tak menyangka teater kali ini akan semembosankan itu. Padahal ceritanya tentang Chairil Anwar dan ia menaruh ekspektasi besar terhadapnya; manuskrip, puisi, perjuangan, proklamasi−kiranya cerita bakal berkutat di hal-hal seperti itu. Ternyata tidak. Penulis skenario tak sependapat dengannya rupanya.

Prolog yang terlalu lama, narasi yang terlalu polos dan Chairil Anwar yang tak besar-besar, membuat sebagian penonton menguap lebar. Ekspektasi mereka sejauh ini tenggelam. Ternyata bukan cuma ia saja yang merasa bosan. Kasihan anak kecil yang memerankan Chairil itu, padahal kelihatannya masih berumur lima, tapi adegannya cukup banyak dengan dialog yang tak sedikit pula. Ia tak mengerti apa yang ingin ditonjolkan oleh si penulis skenario teater ini. Pikirnya begitu, hingga pada menit ke-tigapuluh, seorang pemuda kerempeng necis menampakkan muka di atas panggung; diyakini sebagai Chairil muda yang keras kepala, berani dan cerdas. Mata-mata penonton mulai terbuka. Tentu saja, yang jadi Chairil pun tampan rupawan.

“Wahai pemuda satu kampung! Kalau berani, sini lawan saya! Saya tidak takut! Demi Ani, apapun akan saya lakukan!”

Ani?

Ia tidak tahu sejak kapan Chairil jadi kasar begitu. Apakah adegan ini sedang berusaha menunjukkan sisi cerita cinta Chairil yang suka luput dari perhatian masyarakat? Tapi mengapa teater ini jadi lebih mirip drama sekolah?

Benar-benar. Sita nyaris tertidur di tengah pertunjukkan. Sejauh ini baru satu puisi yang didengar. Sejauh ini ia hanya menonton adegan picisan kehidupan sehari-hari Chairil yang tak lebih dari cerita remaja puber di era 1930-an.

‘Maafkan aku, penulis skenario jika aku terdengar merendahkan karyamu ini. Tapi, selera kita berbeda. Itu saja.’ Sita pun memjamkan mata.

“Hei, sebentar lagi klimaks. Kau mau melewatkan adegan penting?”

Bisikan halus berhasil membuatnya melek Kembali.

 

Mulai kelam

Belum buntu malam

Kami masih saja berjaga

Thermopylae

Lihat selengkapnya