Kira-kira dua tahun lalu, saat itu Sita masih polos dan lugu sebagai anak kampung yang merantau ke Ibukota. Seperti cerita orang kebanyakan, ia merantau mencari receh yang bernilai lebih tinggi daripada receh-receh di desa. Yah.. Sebenarnya itu ungkapan halus untuk kesialannya saja yang tak mendapat pekerjaan di daerah kelahirannya sendiri, berapa kalipun ia memasukkan lamaran pekerjaaan. Padahal dengan sombongnya ia bisa berbangga bahwa ia ini lulusan sarjana, tapi bahkan toko buku dan cafe saja tak pernah menerima lamarannya. Mungkn mereka tahu, bukan di sana tempat seharusnya ia bersaing. Bahkan mungkin mereka lebih tahu kalau pekerjaan itu bukan untuknya. Mereka tahu mana kandidat yang lebih membutuhkan. Pikirnya seperti itu. Serakah juga ia waktu itu memasukkan lamaran ke pekerjaan yang kualifikasinya lebih rendah seperti untuk lulusan SMA, padahal ladang itu bukan ladang yang seharusnya ia dapatkan. Rasanya seperti merebut kesempatan orang lain, walaupun niatnya tidak begitu. Tapi pada akhirnya, takdir lebih tahu mana keputusan yang tepat.
Tibalah Sita di ibukota ini. Berhadapan langsung dengan semboyan ‘ibukota lebih kejam daripada ibu tiri’, ia mendapatkan realita yang berkebalikan. Memang, segala kebutuhan di sini butuh uang, namun bagusnya ia tak sampai tinggal di kolong jembatan, dicopet ataupun mencopet demi makan, bahkan kejahatan apapun tak ada yang terjadi padanya, walaupun terjadi pada orang lain dan bahkan teman-temannya sendiri. Ia yang selalu bermain aman sepertinya memang diikuti peri pelindung yang membuat kejahatan menjauhinya, haha.
Bekerja di perusahaan asuransi, tinggal di kamar kost seluas 3x3 meter dengan kamar mandi di dalam, ia merasa hidupnya sudah bagus. Jarak kost ke kantor Cuma lima menit. Kantornya pun bagus, difasilitasi elevator, dispenser, kantin murah, dan gaji yang lumayan. Bahkan ia mendapat libur di akhir pekan selama dua hari. Tak ada alasan baginyau mengeluh dan menuntut banyak hal.
Tapi ada satu hal lucu yang membuatnya benar-benar percaya bahwa dunia itu sempit sekali.
Sebuah kesalahan besar karena ia pernah berpikir tidak akan bertemu Gara lagi tanpa event sastra apapun itu. Pria kacamata itu, walaupun hanya bertemu sekali saat menonton teater, ia cukup meninggalkan kesan karena sudah dengan baik hatinya menjelaskan secara detil apapun yang ia tak tahu tentang sastra kala itu. Dan karena dia sudah baik, Sita ingat namanya. Tapi itu bukan alasan mereka bisa bertemu lagi, kan? Ah, tapi Tuhan selalu punya alasan untuk mempertemukan mereka, setuju atau tidak. Itu yang belum ia tahu, walaupun sekarang ia sudah berseberangan meja dengan Gara. Di kantor.
“Bagaimana−“
Tanpa sadar Gara berseru di sela keterkejutannya melihat Sita yang duduk berseberangan dengannya di ruang meeting, berhasil mengundang beberapa pasang mata melihat ke arahnya. Sontak, ia langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya yang besar. Sita hanya mengangkat bahu, pura-pura tak kenal.
Hari ini ada meeting kecil secara berkala yang dilakukan tiap lantai dengan bimbingan makhluk-makhluk IT karena ada sosialisasi pemakaian aplikasi baru terkait layanan perusahaan yang disinyalir dapat mempermudah konsumen. Kurang lebih itu yang membuat Sita beserta rekan satu departemen duduk di ruang meeting sekarang, membawa ponsel yang sudah di-install aplikasi perusahaan sebagai upaya ujicoba sebelum diluncurkan ke pasar.
“Jadi, kita mulai ke menu yang di samping kanan atas, kalian bisa login menggunakan e-mail kantor dan password komputer...,” Sang tutor mulai menerangkan step by step penggunaan aplikasi.
Tak ada alasan bagi Sita mempertanyakan kehadiran Gara di ruangan ini. Pertama, kemungkinan mereka sekantor memang ada. Toh, perusahaan ini perusahaan besar dengan ribuan karyawan yang tersebar di delapan lantai plus dua lantai lainnya di gedung lain. Kedua, Gara ada di departemen IT dan ia ada di departemen klaim; dua bagian yang hampir mustahil bertemu kecuali lewat e-mail karena kantor mereka beda gedung dan ruangan mereka ada di lantai yang lumayan tinggi dari masing-masing gedung. Bisa saja mereka memang pernah berinteraksi satu sama lain lewat e-mail karena alasan tertentu, tapi karena benar-benar tak pernah bertatap muka, mereka tak sadar kalau bekerja di satu perusahaan. Dan gara-gara teater itu, mereka jadi menyadari kehadiran satu sama lain. Atau Gara anak baru? Oh, ayolah.. Jakarta memang sesempit itu, kawan.
Sita memutuskan untuk mengabaikan Gara yang sekali dua kali melirik dengan tatapan aneh, terlihat sama herannya mengapa ia bisa bertemu dengan Sita di kantor. Kantor! Tempat Gara menghabiskan tujuh puluh lima persen minggunya. Apakah dunia benar sekecil itu? Dari sekian juta penduduk Indonesia dan ribuan karyawan yang bekerja di perusahaan ini, bisanya ia bertemu wanita yang baru ditemuinya kemarin di kursi teater?
“Kalau sudah masuk, lanjutkan ke data kendaraan. Kawan-kawan bisa masukkan data kendaraan yang ada di kertas yang dibagikan tadi...”
“Hei,” Paras menyenggol siku, “Habis masukkan nomor rangka, kita ke mana?”
“Ini,” Sita mempraktekkan step yang dijelaskan tutor tadi di ponsel Paras langsung, “Polis ini dimasukkan ke kolom ini, terus tanggal masa berlakunya di sini.”
“Oh...”
Paras itu... Nanti dijelaskan. Lain kali, deh.
TAKK! Sebuah tutup pulpen melayang ke atas kertas Sita yang tak salah apa-apa. Ternyata Gara memberikan isyarat tak jelas begitu pandangan kami bertemu.
“Apa?” Aku bertanya setengah berbisik.
“I-tu, ka- mu ma-u i-kut mi-num ko-pi tak?” Gara menggerakkan bibirnya tanpa suara.
Sita menjawab dengan menggeleng sekali, malas memahami bahsa isyaratnya yang mengambang apakah ia salah dengar atau tidak.
Gara menepuk dahinya, kemudian mengulangi gerakan yang sama, kali ini tangannya ikut bergerak, “Ka-mu,” Ia menunjuk ke arahku,”Ma-u i-kut mi-num ko-pi?” Kali ini ia membuat adegan mengaduk minuman di udara, lalu menenggaknya sendiri.
“Ha?”
“Gara. Gara!” Seorang pria berperawakan oriental dengan kacamata tebal menjitak kepala Gara dengan gulungan kertas materi.
“Aduh, Bapak Gara, ini selanjutnya bagaimana?” Sang tutor meledek,mengundang tawa renyah peserta meeting.
“Ah, maaf. Jadi begini,” Gara bangkit dari kursinya, “Kan data kendaraan sudah masuk. Sudah login juga. Jadi, sekarang kita mau buat simulasi kalau terjadi sesuatu dan kita mau klaim. Misalnya kita lagi naik mobil, terus menabrak pohon pisang. Jadi, kita buat ke menu klaim yang di bawah data kedaraan, lalu kita isi tanggal kejadian, terus penyebab kerugian. Kalau menabrak pohon pisang, berarti kita isi menabrak. Kalau banjir dan sebagainya beda lagi, ya. Jadi ini kita buat semacam laporan kerugian online. Nanti laporan kita otomatis bakal terekam dan tidak perlu lagi mengisi lembar kertas laporan kerugian. Karena dari sini surveyor juga sudah dapat data untuk membuat Surat Perintah Kerja dan sebagainya−“
“Iya, Pak. Cukup,” Sang tutor menghentikan ocehan Gara, “Penjelasannya kebanyakan, Pak. Nanti peserta kita malah bingung.”
“Ahahaha. Maaf, maaf. Nanti kalau bingung tanya saja langsung.”
Ternyata, basic-nya dia memang hobi mengoceh. Kemampuannya menjelaskan memang bagus. Detil, sampai yang tidak perlu dan tidak ditanyakan pun dijelaskannya. Bersih! Seperti mengupas kelapa sampai ke tempurungnya.
Meeting berlangsung selama kurang lebih dua jam. Sebenarnya meeting ini cukup menyita waktu Sita yang berharga untuk membersihkan meja dari berkas klaim yang menumpuk, tapi apa daya? Ia hanya bawahan tanpa pangkat yang wajib taat. Apalah arti pulang tepat waktu jika tanggung jawab menunggu?
“Hei.”
Seseorang menepuk bahunya begitu ia beranjak pergi meninggalkan ruangan. Gara datang dengan senyum lebarnya.
“Kamu mau minum kopi denganku setelah pulang nanti?”
Sita melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul empat lewat empat puluh lima menit. Mepet sekali.
“Aku tidak bisa. Pekerjaanku belum selesai. Masih ada berkas yang tanggalnya hampir overdue.”
“Lembur?”
“Tidak.”
“Selesai kapan?”
“Mungkin sekitar pukul tujuh.”
“Oke, aku tunggu, ya.”
Gara itu, dia tidak sebegitu inginnya minum kopi bersama, kan?
“Aku senang kita bisa bertemu lagi. Sungguh! Bertemu teman satu hobi itu menyenangkan! Dan selama aku hidup, baru kali ini aku menemukannya. Eh, aku tak keterlaluan kan menyebutmu teman walaupun baru satu kali bertemu?”
“Tak masalah,” bahkan sebetulnya Sita tak begitu peduli.
“Oke. Kalau begitu, aku tunggu di lobby, ya.”
“Oh, aku akan berusaha menyelesaikan pekerjaanku lebih cepat.”
“Santai saja. Aku bukan deadline, kok.”
“Tapi membuat orang lain terlalu lama menunggu itu tak baik, kan?”
Gara tak menjawab. Hanya tersenyum. Terserahlah. Sepertinya ia punya banyak stok senyuman di kantongnya yang tipis itu.
Selisih lima belas menit dari waktu perkiraan, Sita menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat tepat pukul enam lewat empat puluh lima. Lima menit berikutnya ia habiskan untuk membereskan meja dan meregangkan otot-otot yang kalau ia jadi mereka, ia pasti mati bosan. Duduk menatap layar komputer tanpa berpaling selama dua jam pasti membuat mereka mati kutu kan karena tidak bisa apa-apa?
Sebenarnya, Sita tak mengharapkan apapun dari janji kecil yang dibuatnya sore tadi. Tapi, melihat Gara menunggu di sofa lobby sambil memiringkan handphone-nya (Sita yakin dia lagi main game pakai wi-fi kantor), entah mengapa Sita merasa sudah kenal dengan pria ini cukup lama. Padahal yang ia tahu tentangnya hanya setepian pantai yang pasirnya siap dihempaskan begitu ombak datang - besok juga lupa. Dan terbesit juga rasa ingin tahunya mengapa ia mau menunggu lama hanya demi orang yang baru dikenal? Untuk secangkir kopi pula. Padahal pulang ke rumah, menyeduh kopi sachet, sambil duduk santai di teras, sudah nikmat bukan? Apakah ini yang disebut dengan kesadaran akan kehadiran seseorang cenderung membuat kita penasaran?