ELEGI ITU LENGKARA!

Viska Nurisma
Chapter #5

Tiga

Sejak Jum’at malam sepulang kerja, Sita sudah bersiap pulang kampung tanpa membawa apa-apa. Hanya memakai setelan yang sudah bau keringat dengan tas selempang yang biasa ia bawa ke kantor, Sita memulai perjalanan rutinnya pulang kampung dengan kendaraan umum. Dan jaket, juga masker wajib dibawa untuk persiapan tidur di bus.

Bagaimana caranya Sita pulang kampung naik kapal? Tentu saja tinggal naik. Bukan, bukan. Maksudnya, apa saja yang biasa ia lakukan sebelum benar-benar sampai di rumah? Berdasarkan pengalamannya beberapa kali menaiki salah satu alat transportasi laut itu membawanya pada beberapa kesimpulan yang bisa dirangkum di sini. Pertama, Sita naik trans Jakarta dari Terminal Lebak Bulus ke Terminal Kalideres. Lalu disambung dengan naik bus jurusan Merak. Bus yang ini, amat sangat terasa dinginnya karena hampir semua air conditioner di bangku penumpang tak bisa ditutup, jadi mau tak mau mereka para penumpang harus menerima asupan angin dingin yang semakin dingin saat malam (siap-siap masuk angin). Lalu, Sita akan jalan kaki menuju dermaga pelabuhan ditemani aroma nasi goreng sepanjang jalan. Dari dulu ia selalu menyempatkan diri mengagumi para pedagang yang berjualan di pelabuhan. Sepertinya mereka tidak pernah tidur. Setelah sampai di dermaga, ia harus menunggu kapal datang yang tak tahu jam berapa datangnya. Terkadang, mereka terjadwal setap satu jam sekali menepi di dermaga pelabuhan. Tapi, karena keadaan tertentu kapal bisa saja datang terlambat, misalnya saat iklim tidak bagus dan ombak pasang tinggi. Tentu saja tak ada yang mau mempertaruhkan nyawa di saat seperti itu, kan? Bahkan nahkoda kapal juga berpikir dua kali, apalagi Sita sebagai remahan kentang goreng di meja makan. Kesimpulannya, baginya yang sudah tak terhitung lagi berapa kali menempuh jalan pulang seperti ini, perjalanan pulang tak lagi semenyenangkan dulu. Biasa saja. Tak buruk juga. Biasa saja. Sama biasanya seperti kau menemui pagi setiap hari. Agak menyesal juga, karena rasanya ia seperti kehilangan satu hal yang istimewa dalam hidupnya. Semakin sering kau menemukannya, semakin hambar pula, kan?

Pertanyaannya, mengapa Sita tiba-tiba pulang kampung? Bahkan ini bukan libur natal atau libur lebaran yang bisa kau nikmati dalam jangka panjang. Yang jelas, salah satu alasannya adalah karena kemarin malam Ibunya menelepon dan bertanya kapan pulang, seolah ia tak pernah pulang. Alas an kedua, agar ia bisa menikmati mie ayam dekat rumah yang tak bisa ditemui di Jakarta. Sisanya, anggap saja karena ini akhir pekan.

Dalam perjalanan pulang ini, Sita mempelajari beberapa hal setelah berkali-kali mengalaminya. Pertama, jangan biarkan dirimu berjalan tanpa bekal atau kau akan menemukan waktu makanmu besok siang. Kedua, air. Pergi tanpa air rasanya seperti niat mati di tengah lautan. Kau tahu, harga satu botol air mineral di kapal bisa empat kali lipat harga normal? Dan harga mie instan bisa tiga kali lipat harga normal. Kopi pun begitu, padahal disediakan dalam bentuk gelas plastk sekali pakai. Lalu yang ketiga, usahakan buang air sebelum naik kapal. Toilet di kapal tidak selalu bagus. Apalagi terkadang banyak muntahan di sana karena orang-orang yang mabuk laut. Dan beberapa orang benar-benar tak punya etika ketika menggunakan fasilitas umum, jadi jika kau termasuk orang yang rajin dan sopan yakinlah kau akan merasa risih dengan keadaan tersebut. Apalagi saat ada di kapal dan sendirian, tak ada yang bisa menjaga barang-barangmu kecuali kau berteman dengan oang asing saat itu juga dan menitipkan tas besar bawaanmu tanpa takut diambil. Bukan berniat prasangka buruk, tapi waspada kepada hal seperti itu wajar bukan? Dan keempat, kau harus menandai tempat dudukmu atau ketika kau kembali dari toilet, di sana sudah berbaring orang dengan tanpa rasa malu mengambil alih sederet kursi agar ia bisa meregangkan kakinya yang tebal itu. Apakah ini tips? Bukan. Ini hanya hal-hal yang dipelajarinya setelah beberapa kali naik kapal, karena ia pernah mengalami hal-hal tidak enak seperti tidur di tangga, ke toilet dengan muntahan orang dari bilik sebelah mengalir ke biliknya, kelaparan dan kehausan di perjalanan (yang memaksanya membeli makanan di kapal dengan selisih harga yang lumayan itu), mendapati tempat duduknya raib diambil orang asing, dan yang pasti dan sangat merugikan dari semua itu adalah ia jadi tak bisa tidur. Dalam perjalanan dua sampai lima jam di kapal, tidak tidur merupakan hal yang sia-sia apalagi saat malam. Sedangkan pemandangan di luar tak pernah berubah: layar hitam dengan satu dua lampu mercu suar dan sederet neon kelap-kelip ketika pulau tujuan sudah dekat. Seperti yang sudah disampaikan tadi, walaupun kau bisa melihat sejuta bintang di langit saat malam hari di kapal, itu sudah tidak istimewa lagi dan Sita lebih memilih makan lalu tidur. Novel yang selalu diselipkannya saja nyaris tak pernah ia baca saking malasnya ia melakukan hal lain selain tidur. Pokoknya tidur, itu penting.

Jadi, apa poinnya? Poinnya adalah, sekarang Sita pergi pulang kampung dengan semua kesimpulan itu: berbekal nasi goreng, air mineral dan cemilan, ia duduk di ruang excecutive (masing-masing orang bayar lima belas ribu untuk mendapatkan fasilitas ini). Ia selalu membawa jaket untuk menghindari angin malam, angin bis, dan menandai kursi miliknya. Ya, bisa dibilang ia seegois itu. Dan benar-benar tak ada yang lebih menyenangkan daripada tidur dalam keadaan perut kenyang sekarang. Ia sudah tak perhatian lagi pada sekitar entah sejak kapan, jadi ia juga berhenti mengamati orang-orang di dalam kapal. Film yang diputar di televisi saja diabaikan karena sekali lagi, ia lebih memilih tidur.

Kurang lebih tiga jam lamanya kapal laut mengarungi Selat Sunda, terombang-ambing di tengah kegelapan laut, dengan bunyi penumpang mengorok di mana-mana. Sesaat sebelum berlabuh, petugas kapal akan mengumumkan melalu pengeras suara agar penumpang yang tadinya tidur segera terbangun dan yang tadinya nyaman segera bersiap-siap. Sita terbangun, tapi tidak bersiap-siap. Pengalaman mengatakan segera bersiap-siap pun tak menjamin kau akan langsung turun dari kapal. Menyenderkan kapal ke pelabukan memakan waktu cukup lama. Sita pernah memperhatikannya sekali dan itu bisa memakan waktu sampai satu jam! Belum lagi penumpang tanpa kendaraan sepertinya yang bejubel ingin lekas turun membuat mereka berdesak-desakan di pintu keluar. Oleh karena itu Sita akan menunggu sebentar lagi sampai akhirnya kapal benar-benar sudah berhent berlayar dan menyandarkan lelahnya pada dermaga pelabuhan.

Motor matic warna merah sudah terparkir di terminal begitu ia turun dari bis yang membawanya pergi dari pelabuhan. Seorang anak kuliahan duduk menunduk menatap layar handphone dengan khidmat, sesekali tertawa lalu manyun lalu bertopang dagu, lalu menengadah, menyadari sebuah kehadiran yang sejak beberapa menit lalu berdiri memperhatikannya. Namanya Nalin, adik Sita yang nomor tiga.

“Aku lupa bawa helm.”

Dia mengatakannya dengan enteng, sambil nyengir, memamerkan gigi gingsulnya yang (Sita yakin) belum disikat pagi ini.

Semprul. Bagaimana kalau ada polisi nanti?”

“Ke kostan teman aku dulu ya, Mbak. Nanti pinjam sama dia. Aku lupa tadi. Ingatnya barusan pas lihat kamu sampai.”

Mau tidak mau Sita menyetujui idenya.

“Mbak, sama mampir ke lahan sebentar, ya.”

Belum juga motor ini berjalan, lagi-lagi Nalin meminta hal yang tidak-tidak.

“Mau apa ke lahan?”

“Ambil laos, tadi Ibu minta.”

“Bukannya tanaman yang ada di lahan itu buat praktikum, ya?”

“Iya, tapi udah nggak terpakai kok.. Biasanya yang lain juga pada ambil, bukan cuma aku.”

“Yaaa terserah lah, yang penting aku sampai rumah.”

 

* * *

 

Ada yang bilang, tak ada tempat senyaman rumah. Ada lagi yang bilang, ke mana pun kau pergi keluarga adalah tempatmu berpulang. Atau, sejauh apapun kakimu melangkah, rumah adalah tempat untuk meletakkan rindu. Atau, seperti apapun rumah kita, ada jiwa kita di sana, sebab rumah adalah tempat berteduh bagi bagi hati dan perasaan kita. Apapun itu, bagi Sita saat ini, yang paling ia rindukan adalah tempat tidurnya yang lebar dan masakan rumahan yang bisa ia makan sepuasnya.

Sebuah rahasia kecil, Sita selalu mempertanyakan perasaan dan statusnya di keluarga yang ia sayangi. Ya, ia amat sangat menyayanginya, disuruh ganti jadi anak ratu Inggris pun tak mau, atau anak sultan yang bergelimang harta, tetap saja ia emoh. Tapi, di setiap perasaan rindunya selalu terselip perasaan ogah. Ia selalu merindukan rumah, tapi juga ingin pergi darinya. Ia selalu ingin cepat pulang, tapi juga ingin cepat pergi. Ia selalu ingin tinggal lebih lama, tapi juga ingin kembali lebih nanti. Sekali lagi, ia amat menyayanginya, tapi selau ada noda penolakan di setiap perasaannya. Entah kapan entah bagaimana ia bisa berdamai dengan perasaannya itu.

Tentu saja semua perasaan itu tak menyurutkan kesenangannya bertemu tempat tidur dan kamarnya yang jelas saja lebih bagus daripada kamar kost, menurutnya. Tempat tidurnya bersebelahan dengan jendela yang setia mengantarkan angin semilir, membelai lembut pelipis dan telinga ketika sedang tidur siang: sesuatu yang tak akan didapatkannya dari hiruk pikuk Jakarta.

“Kamu mau dibuatkan masakan apa Sita?” Ibu langsung meminta orderan dari wira-wirinya di dapur.

“Memangnya Ibu belum masak?”

Sita membuka tudung saji di atas meja, tertatalah sayur kangkung dan ikan laut goreng di sana.

“Ya, sudah. Tapi kalau kamu mau yang lain nanti Ibu buatkan.”

“Ini juga sudah cukup, Bu. Makan yang ada dulu saja. Masaknya nanti lagi. Atau besok.”

Ibu tidak menjawab, hanya melanjutkan gerakan manuvernya mengatasi perkara perdapuran. Sita Kembali ke kamarnya, membereskan barang bawaannya yang sedikit, mengambil oleh-oleh cemilan pisang cokelat keju untuk adik-adiknya, lalu kembali ke kamar lagi. Melamun.

Semoga nanti sore tidak hujan, gumamnya.

Lihat selengkapnya