“Apa ini?” Gara mengangkat sebuah bingkisan kecil dari Sita dan mengintip isinya.
“Keripik pisang.”
“Kelihatannya sih memang keripik pisang ya kalau dilihat dari bentuknya, bukan ketan susu.”
“Hehe.”
“Ini untukku?”
“Ya. Kalau bukan, tidak akan kuserahkan padamu, kan?”
“Ya… iya, sih,” Gara mengeluarkan satu per satu isi bingkisan, “Dalam rangka apa?”
“Dalam rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia.”
Gara mengangkat sebelah alisnya, menatap Sita yang makin lama makin merasa terpojok dan tertekan dengan tatapan itu.
“Apa?!” Sita berusaha menyerang dengan galak.
“Kau sudah mulai berani bercanda rupanya, hahaha,” Gara tertawa lepas, kelihatan senang sekali.
“Aku nggak pernah takut, tuh!”
“Iya, tapi kalau kuperhatikan, setiap kita berbincang kau selalu menjadi pendengar yang baik seperti kucing. Kau akan selalu menyetujui perkataanku. Bukan begitu?”
“Memangnya sudah berapa banyak sih kita ini bercengkrama begini? Bukannya baru dua kali?”
“Iya ya? Haha! Rasanya aku sudah kenal kau lama sekali. Maafkan aku.”
Terbesit rasa senang di hati Sita mendengar pengakuan lawan bicaranya ini seolah telah menganggapnya teman lama, padahal teman bau kencur. Yah, dengan status anak rantau yang kau sandang sejak awal meniti karir di ibkota, mencari teman bukanlah hal yang mudah. Apalagi teman yang bisa diajak bicara,sebetulnya cukup langka.
“Hei, aku serius. Mengapa kau tiba-tiba memberiku keripik pisang? Apa yang kau inginkan?” Gara menatap Sita penuh selidik seraya meletakkan bingkisan kecil itu di kursi kosong sebelahnya.
“Apa, sih? Itu oleh-oleh. Jangan berlebihan.”
“Dari?”
“Kampung. Kemarin aku habis pulang kampung.”
“Ah, pantas saja kau menolak ajakanku, padahal minggu kemarin ada teater Chairil. Jadinya aku menonton sendirian, deh.”
“Maaf.”
“Bukan salahmu, kok. Tapi sungguh, oleh-olehnya kebanyakan. Kau memberiku tiga bungkus, padahal kau kan tahu aku tinggal sendiri di rumah.”
“Hm? Aku baru tahu, tuh.”
“Oh, ya? Hahaha! Benar-benar, mengobrol denganmu seperti mengobrol dengan teman lama, padahal kita belum tahu apa-apa, ya? Maafkan aku.”
Segaris senyum tipis merona di wajah Sita, tak bisa lagi ia membendung rasa senang yang tak ditunjukkannya sejak tadi. Setidaknya perasaan bahwa ia memiliki teman baru tidak bertepuk sebelah tangan. Bukankah ini hal yang bagus?
“Kemarin ibuku membawakan banyak sekali makanan, termasuk keripik itu. Katanya oleh-oleh untuk teman-teman kantor,” Sita menjelaskan.
“Memangnya kita teman kantor?”
“Kita kan sekantor.”
“Tapi kita kan bertemu di tempat lain dan baru tahu kemarin kalau sekantor.”
“Tapi kau kan temanku juga. Ah, sudahlah. Tinggal mengiyakan saja apa susahnya, sih?”
“Ahahaha..Iya, iya,” Gara tertawa senang sekali, “Terima kasih.”
Suasana hiruk-pikuk café mulai terdengar kembali setelah mereka berhenti meributkan hal yang tidak penting. Sita menyadarinya ketika ia menghabiskan kopinya dalam diam. Ternyata berbincang dengan Gara mulai menemui titik kenyamanan di mana kau tidak akan terdistraksi oleh apapun di luar cengkrama. Bahaya.
“Jadi, mau ke mana kita hari ini? Kita tidak akan menghabiskan hari ini dengan duduk minum kopi di sini, kan?”
“Entahlah. Misiku mengantarkan keripik pisang dan itu sudah selesai.”
“Hah…,” Gara menghela nafas panjang, “Terkadang aku terkagum-kagum dengan kesederhanaanmu yang amat sederhana itu, tapi kadang-kadang juga kesal karena kamu terlihat seperti mayat hidup yang tidak punya motivasi. Kenapa?”
“Apanya?”
“Kenapa kau tidak punya motivasi?”
“Siapa yang bilang?”
“Aku.”
Sita memutar bola matanya, mendengus pelan, “Kau tidak harus menunjukkan motivasimu dengan menggebu-gebu seperti pemimpin demo, kan? Ada juga orang-orang yang hanya ingin hidup dengan tenang dan orang itu adalah aku.”
“O… kee… Baikah.”
“Lagipula motivasiku sudah hilang terkubur bersama elegi yang kutulis setiap malam.”