Pukul tiga sore Aldo berpamitan. Mbak Ratih menyuruhnya membawa sisa tar cokelat. Dalam perjalanan pulang ke Jagakarsa, jalanan Jakarta seperti mencoba menguapkan melankoli yang tiba-tiba saja dia rasakan. Di atas motornya dia masih mengingat apa benar ini hari ulang tahunnya. Setelah melihat angka 10 di jam tangannya, dia baru yakin. 10 Agustus, benar. Kalau begitu ini ulang tahun kedua tanpa Ibu dan Rahayu. Hanya ada pekerjaan dan keluarga Mbak Ratih.
Sudah enam bulan terakhir Aldo memotret untuk Mbak Ratih. Klien pertamanya sekaligus yang paling dia senangi. Mbak Ratih membayarnya per bulan, memberi dia kebebasan saat memotret, dan yang membuat memotret untuk Mbak Ratih lebih berkesan daripada klien-klien lainnya adalah suasana keluarga di rumah.
Keluarga dan rumah, dua kata yang sekarang terasa asing bagi Aldo.
Usaha home cooking Mbak Ratih membuat Aldo selalu pergi ke rumahnya untuk memotret. Berbeda dengan klien-klien lain yang kebanyakan kafe dan restoran, Aldo akan memotret di kafe dan restoran mereka langsung. Dia pergi ke sana seperti pengunjung, hanya membawa kamera dan tidak memesan menu apa pun. Di rumah Mbak Ratih, suasananya berbeda. Dia datang tidak hanya sebagai pekerja lepas yang diberi tugas dan dibayar, tetapi juga sebagai anggota keluarga.
Dia rindu perasaan semacam itu.