Ia benar-benar pergi. Dan aku mungkin tak akan pernah melihatnya lagi.
“Aku pamit,” ucapnya padaku tepat sesaat setelah mentari membenamkan dirinya di ufuk barat. Hanya tersisa bayang gelap di tengah deburan ombak. Juga mega jingga yang sedemikian pekat menebar suasana sendu di antara aku dan dia.
Hening, hening kemudian. Aku memilih membisu sembari menata kalimat apa yang sekiranya harus kuucapkan. Berpikir dalam dan menata ekspresi apa yang semestinya aku tunjukkan. Namun bagaimanapun aku belajar menata segalanya, nyatanya aku hanya terdiam. Suaraku tercekat di tenggorokan. Aku tak tahu harus bagaimana berucap.
“Takkah kamu akan kembali ?” suaraku parau. Aku mengucapkannya namun wajahku masih saja tertunduk. Menatap pasir-pasir yang tanpa sengaja tersangkut di kakiku. Bagaimana bisa aku menatap wajahnya ? Tampak jelas seribu kekhawatiran di wajahku. Akankah ia baik-baik saja ? Akankah ia berbahagia kelak di sana ? Kemana ia akan pergi ?
Terlebih, kekhawatiran tentang kisahku dengan dia di masa depan. Akankah dimulai atau hanya akan selesai sampai di sini ?
“Barangkali tidak, tapi mungkin suatu hari nanti aku akan datang berkunjung” jawabnya. Balasan akan tanyaku nyatanya cukup mengecewakan.
Aku tersenyum getir. Memaksakan diri agar aku terlihat baik-baik saja. Seolah menerima segalanya. Dan semua kembali kembali hening. Hanya sayup-sayup angin yang terdengar menemani aku dan dia. Deburan ombak dan kicauan burung yang hendak kembali ke sarangnya bahkan tak cukup memecahkan kesunyian di antara aku dan dia. Segala masih sunyi. Aku dengan diamku dan dia dengan kebingungannya.