“Arini, kamu Arini bukan ?.”
Kali pertama aku mendengar suaranya adalah ketika hujan deras di suatu sore yang bergemuruh. Suaranya memecah bongkahan kenangan di hari kemarin yang mulai kususun payah. Aku menatapnya sendu dan mengangguk pelan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian kualihkan pandanganku melihat awan yang tiada henti mencurahkan riak-riak air pada tanah yang bahkan lebih dari sekadar basah.
Dia duduk di sampingku. Sekalipun aku tak terlalu mempedulikannya atau bahkan bertanya-tanya bagaimana bisa ia tahu namaku. Aku terus saja terpaku pada hujan itu sembari menanti-nanti kapan ia akan reda dan mengizinkanku beranjak dari tempat ini. Hujan, ya hujan selalu saja mengusik kenangan berbalut romansa melankoli.
“Aku Cakrawala, panggil saja Kala,” ucapnya tanpa menyodorkan tangan atau menoleh kepadaku. Ia menatap gundukan pasir yang tertimpa riak hujan. Pandangannya lurus ke depan padahal aku disampingnya. Aku menarik napas dalam, menatapnya pelan. Namun dia tak membalas tatapanku.
Cakrawala. Saat itu yang bisa kulakukan adalah mengernyitkan dahi. Tak mengerti. Sebuah nama yang unik. Dan Kala ? nama apa itu ? Belum pernah kudengar nama yang sedemikian anehnya. Seaneh orang yang tetiba menyapaku dalam romansa senjakala. Tanpa menatap atau sekadar menyodorkan tangannya ketika berkenalan. Manusia yang aku bahkan tak mengenalnya namun ia tahu namaku dengan baik.
Aku diam, pun dengan dia. Apa peduliku ? Aku tak sedang berminat untuk menambah daftar lelaki yang berkenalan denganku. Namun entah mengapa, peristiwa itu jelas masih terpatri kuat. Mengiang-ngiang dalam bayangan. Meski tak sering, ia hadir menjadi kenangan di setiap sore. Sayangnya, ucapannya terhenti sampai di situ. Tak lebih dan tak kurang. Ketika hujan berbaur dengan gerimis, hujan menghilang. Tinggal gerimis seorang diri. Kala pergi. Aku dan gerimis sama-sama sendiri di sebuah sore yang menyayat hati.