Matahari mulai tenggelam, menyisakan cahaya kemerahan yang mulai terasa agak remang dengan banyaknya bayangan hitam yang dihasilkan sudut cahaya yang semakin miring ke barat. Kerlap kerlip lampu berwarna hijau dan kuning yang di nyalakan di sebuah tikungan jalan kecil terlihat menyolok, terlihat bagaikan lampu merah di perempatan jalan, namun bentuk tabung kacanya yang mengular dan ber kelak kelok membentuk sebuah tulisan.
WARUNG POJOK.
Lampunya yang warna warni memantul di atas air yang sedikit menggenang di jalan, sesekali bergetar dan terbelah oleh roda kendaraan yang melintas. Letaknya agak terpencil, di dekat sebuah Universitas ternama di Jakarta. Sesuai dengan namanya, letaknya agak di pojok sebuah jalan kecil yang akan tersendat saat ada dua mobil yang berpapasan. Dua buah pot bunga yang kosong dijadikan pembatas antara jalanan dengan pekarangan kecil cafe itu yang difungsikan sebagai tempat parkir. Muat untuk beberapa motor, tapi hari itu penuh hanya oleh sebuah mobil putih.
Seorang gadis mungil, dengan rambut panjang yang diikat buntut kuda terlihat setengah berlari di pinggir jalan kecil yang mulai ditinggalkan cahaya senja. Bergerak cepat dan agak tersembunyi di dalam silhoutte rumah dan ruko di sepanjang jalan itu. Rambut buntut kudanya mengibas seperti kain bendera yang terkena angin kencang. Dengan cepat dia tiba di depan cafe itu dan dengan kasar membuka pintunya.
Seisi cafe itu menoleh dan memandang ketika dia masuk ke dalam cafe, turbulensi angin yang timbul akibat pintu yang dibuka dengan terburu- buru menggetarkan partisi kaca yang sempat berbunyi seperti garpu tala. Gadis buntut kuda itu menatap jam digital di atas meja kasir. 5:05 PM. Terlambat lima menit, bukan kesan yang bagus untuk pertama kali masuk kerja. Gadis lainnya yang sedang berdiri di kasir hanya tersenyum melihat dia terburu-buru masuk dengan napas tersengal-sengal. Gadis di belakang kasir itu mengenakan seragam cafe yang berwarna coklat susu dengan sebuah name tag : SHERLY.
“Lumayan, nggak terlalu telat kok.” Sherly dengan tersenyum menenangkan.
“Soalnya gue lari.” Gadis berbuntut kuda itu menjawab dengan tersengal dan kembali berlari masuk ke dalam kamar staff di bagian belakang kasir.
Dia menyambar dan mengenakan sebuah seragam yang diletakkan di atas meja staff, sama dengan yang dikenakan Sherly, dengan name tag : ELENA. K. Kemudian berlari kedepan dan berdiri di samping Sherly sambil menghela napas lega.
Cafe itu mungil, hanya ada tiga meja di dalamnya. Dengan pembatas yang separuh dinding dan separuh kaca membuat bentuk berupa persegi panjang pada cafe itu. Dengan empat buah kursi mengelilingi masing-masing meja. Dan karena mungil hanya ada dua karyawan di setiap shift. Satu orang di kasir, satu lagi yang menyelesaikan pesanan. Tidak ada pembagian tugas karena hanya berdua, segala hal dilakukan bergantian.
Hanya satu meja yang terisi pada saat itu, dengan tiga orang yang duduk mengelilingi meja tersebut. Satu orang berpenampilan rocker jaman ‘80an, dengan celana jeans ala korban kecelakaan motor yang sobek sana sini dan rambut panjang model mie instant. Satu orang gemuk, dengan kemeja yang kancing di bagian perutnya seperti hampir terlepas menahan lemak balik kemejanya.
Satu lagi mengenakan busana casual, kaos berlengan panjang berwarna putih di padu dengan jeans hitam. Lengkap dengan sneakers berwarna biru. Rambutnya di cukur pendek ala tentara. Sementara kedua temannya ngobrol dan berteriak sambil main game, dia hanya diam acuh tak acuh. Duduk bersandar dengan kaki terlipat dan sebelah tangan bersandar di punggung kursi, seperti patung MC Donald yang dicukur cepak. Matanya sesekali melirik layar ponsel di tangan.
“Dit, billiard ngga? Habis itu baru pulang.” Si gendut berkata.
“Ayuk. Kita jalan yuk.” Yang berambut pendek menyahut tanpa menoleh kepada lawan bicara, seakan sedang bicara dengan batang pohon.
Mereka masuk ke mobil putih yang parkir tepat di depan cafe, kemudian meluncur perlahan meninggalkan tempat ini. Senja yang telah mendekati malam masih menyisakan cahaya kemerahan yang membuat mobil putih itu terlihat seperti berwarna kuning. Hanya tersisa gelas kosong dengan tissue bekas yang bertaburan di atas meja yang mereka tinggalkan.
Cafe ini sekarang sepi, Elena menghela napas lega, memanfaatkan kesunyian ini untuk sekedar menarik napas dan melemaskan urat tubuh yang menegang setelah seharian bekerja di pasar grosir.
“Yang tadi itu tamu rutin. Hampir tiap hari ke sini. Bingung gue ngeliat mereka kuliah tapi kok santai amat yah. Universitas kita sama, hanya beda jurusan, tapi kok gue gak bisa sesantai mereka yah.” Sherly berkata dengan kening berkerut.
“Lah lu gak mandang gue? Gue gak kuliah tapi lu kalah sibuk kan sama gue?” Napas Elena mulai teratur setelah beberapa menit duduk bersandar di tepian meja kasir.
Sherly tertawa terkekeh mendengarnya. “Ya iyalah, lu double job dari pagi sampai malam. Lu harus banyak minum vitamin Len, sakit loh kalo nggak. Lu gak usah lari- lari kayak tadi Len, kalo udah sore mah tamu juga ga akan banyak- banyak amat kok. Santai aja.”