Jam telah menunjukkan pukul sembilan malam, jalan di depan cafe telah sepi. Lampu warna warni di depan cafe masih menyala, namun hanya sanggup mengundang beberapa ekor kumbang malam yang beterbangan dengan riang mengelilingi sinarnya. Sebagian penghuni rumah telah memadamkan lampu, bersiap untuk mengakhiri hari ini dan menyusun harapan untuk hari esok. Elena dan Sherly masih berberes di dalam cafe mungil itu, melap meja dan menumpuk bangku sambil menunggu si pemilik datang untuk menutup cafe.
“Len, lu kenapa ngga coba cari satu kerjaan yang gajinya kurang lebih sama seperti dua kerjaan?Kan lu kerja di sini juga bayarannya gak seberapa.” Sherly bertanya sambil membersihkan meja.
“Emang ada? Kalau ada gue mau.”
“Kalau mau dicari pasti ada aja lah. Daripada lu kerja double gitu, gue yang ngeliat aja berasa cape. Lu yang kerja tapi gue yang sakit pinggang.”
Elena tertawa. Satu- satunya orang yang paling mengerti keadaan Elena adalah Sherly. Sherly tahu kejadian dua tahun yang lalu, saat seluruh kawasan tempat tinggalnya heboh oleh amukan Ibunya akibat kehabisan obat. Rumah kecilnya menjadi panggung utama yang mengundang perhatian seluruh orang kampung. Kejadian yang memalukan bagi Elena, namun kejadian itulah yang memperkenalkan mereka berdua.
“Lu bantu cariin dong, ada nggak satu kerjaan yang bayarannya bisa nutupin dua kerjaan gue yang sekarang?” Elena berkata sambil merenung, bohong jika dia mengatakan bahwa dia tidak lelah. Sejak mengambil dua pekerjaan dia dapat merasakan sakit di kaki dan pandangan mata yang agak nanar ketika berjalan pulang. Selalu agak sempoyongan ketika berjalan pulang.
“Pasti gue bantu cariin. Kalau ada tar pasti gue kasih tau. Gue takut lu sakit, tar nyokap lu malah gak ada yang jagain.” Sherly mengangguk dengan tegas.
“Gue juga sempat kepikiran soal itu sih. Gue juga udah lama coba nyari kerjaan yang lebih ada prospek. Tapi hanya lulusan SMA gak banyak pilihan. Yang buka lowongan untuk lulusan SMA malah gajinya lebih mepet Sher, takutnya gak cukup untuk beli obat. Tar malah kejadian kayak dulu.” Elena bergumam dengan agak murung. Dia tahu seharusnya mencari pekerjaan yang ada jenjang karir. Namun kebutuhan memaksa dia untuk memilih yang bisa mencukupi secepatnya. Dia tidak punya waktu untuk menunggu karirnya berkembang sebelum mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Dia sama tidak ada waktunya dengan orang- orang kaya yang memiliki perusahaan berderet- deret.
Dia sedang hidup di jaman edan di mana orang miskin menghabiskan waktunya dengan deretan pekerjaan yang tiada habisnya hingga kurus kering, dan orang kaya menghabiskan waktu berjam- jam di atas treadmill untuk menguruskan tubuh.
Sherly diam mendengarkan kata- kata Elena, dia dapat merasakan kepedihan hidup yang dijalani temannya itu. Bagaikan berada di atas perahu yang bocor, Elena harus memiliki gayung yang cukup besar agar air yang di buang keluar sama banyaknya dengan air yang masuk. Itu adalah satu- satunya cara untuk mempertahankan agar perahunya tidak tenggelam. Dan dia tidak boleh berhenti menimba air yang masuk ke dalam perahu. Semua karena obat- obatan mahal yang harus diminum oleh Ibunya setiap hari. Seperti hidup di dalam lingkaran setan yang tidak kunjung menemukan jalan keluar.
“Sher, makasih udah bantuin gue kerja di sini.”