Embun pagi belum sepenuhnya mengering ketika Elena menyebrangi jalan yang berlawanan dengan letak gedung pasa grosir. Namun trotoar yang lebarnya hanya beberapa ubin mulai penuh oleh tikar plastik yang digelar oleh para pedagang yang gemar berpiknik dipinggir jalan.
Sebuah tiang besi seukuran lengan terlihat agak menjorok keluar di depan sebuah bangunan tua yang warnanya agak sulit untuk dipastikan. Antara coklat, kuning jeruk, atau hijau tua. Tiang besi itu menyangga sebuah neon box yang bergambar seekor ular yang sedang melilit gelas champagne, ular itu meleletkan lidah seolah kehausan. Neon box yang dulunya putih ini telah berwarna kehitaman dibungkus oleh debu dan jelaga, pertanda dia telah menjadi saksi hingar bingar jalan raya itu selama puluhan tahun.
Elena berjalan masuk ke dalam bangunan tua itu. Bagian dalamnya sangat bersih dan rapih, bertolak belakang dengan bagian luarnya. Cat putih dan lampu yang bersinar terang membuat siapapun akan melupakan penampakan luar bangunan tua. Masih sepi, hanya ada Winda, apoteker wanita langganan dia yang sedang merapikan etalase kaca yang mengelilingi ruangan itu.
“Loh, lu pagi amat Len. Gue barusan mau telpon elo.”
“Kenapa? Obatnya habis?” Elena bertanya dengan cemas. Obat di dalam lemari rumah hanya tersisa beberapa butir.
“Obatnya ada, tapi harganya berubah.”
“Yah. Naik atau turun?” Dengan polos Elena bertanya.
“Kalau turun masa gue perlu nelpon?”