Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan, membantu sinar kemerahan yang tertinggal oleh matahari yang telah tenggelam di ufuk barat. Orang-orang yang pulang dari kantor berjalan terburu- buru di atas trotoar yang berupa jalanan berpasir. Mempersingkat waktu perjalanan dengan setengah berlari agar mendapatkan lebih banyak waktu bersama keluarga. Debu dan pasir yang mengebul dari injakan kaki memperlihatkan alangkah teriknya matahari yang tidak menyisakan sedikitpun lembab pada jalanan.
Cafe sepi dan kosong, tiga meja bundar di sana hanya berisi tempat tissue dan brosur menu. Memungkinkan bagi Sherly untuk mencuri waktu, dia pamit untuk masuk ke dalam ruang staff dan mengerjakan tugas kuliahnya. Elena hanya sendiri berdiri di belakang kasir, bersandar ke dinding di belakangnya, pikirannya masih menerawang sekitar kenaikan harga obat beberapa hari yang lalu. Namun sekarang rasa kesal telah berganti dengan rasa syukur. Seandainya dia tidak memiliki pekerjaan tambahan di cafe ini, bagaimana caranya mencukupi biaya hidup dengan kenaikan harga yang setinggi itu? Masih beruntung ada pekerjaan di cafe ini, meskipun sebagai akibatnya pekerjaan ini di cafe sekarang terasa semakin penting.
Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam, ketika dua orang gadis terlihat berdiri di depan cafe. Mereka melongok ke dalam cafe dengan ragu-ragu. Celingak celinguk seperti mencari seseorang, akan tetapi masih berdiri di luar cafe. Satu di antara mereka mendekatkan wajahnya ke kaca , berusaha melihat ke dalam cafe. Kaca satu arah yang mudah untuk melihat keluar, akan tetapi sulit untuk melihat ke dalam.
Satu orang gadis berbaju garis-garis horisontal berwarna hijau dengan rambut panjang yang di gerai, wajah manisnya hampir menempel kaca cafe. Matanya menyipit berusaha untuk menembus kaca gelap yang menutupi cafe. Temannya yang berkaca mata berdiri di belakangnya, tangannya mendekap beberapa folder plastik. Penampilan mereka seperti mahasiswi. Tak lama kemudian mereka membuka pintu cafe dan melangkah masuk.
“Selamat Datang di Warung Pojok Kak.” Elena dengan penuh semangat mengucapkan salam sesuai protokol kerja di cafe itu.
“Neng, Aditya sering kesini yah?” Gadis yang berambut panjang bertanya dengan suara lirih. Matanya yang bundar dan bersinar cerah terlihat ceria, namun saat itu terlihat seperti anak sekolah yang sedang di panggil ke ruang guru. Tindakannya terlihat serba ragu- ragu.
“Oh, nyari Kak Adit? Iya sering, tapi sekarang lagi ga ada.”
Gadis itu melirik pin nama di seragam Elena. “Hai, kamu Elena yah, kenalin nama ku Maya.” dia menjulurkan tangan dengan tersenyum mengajak salaman. Wajahnya makin terlihat manis ketika tersenyum, mengingatkan Elena kepada milk shake vanilla with float di buku menu yang super manis.
“Iya , aku Elena, salam kenal juga Kak.” Meski agak canggung tapi Elena menyambut tangannya. Gawat, ada apa lagi nih.