Senja berikutnya, lampu jalan belum dinyalakan namun matahari yang mulai redup masih cukup terang untuk melihat plastik putih yang beterbangan di jalanan, hasil buang sampah sembarangan oleh orang yang tak bertanggung jawab. Adit masih duduk di warung pojok bersama dua temannya, Robby yang gemuk dan Irwan si rocker gagal yang selalu setia dengan kacamata hitamnya. Menghabiskan waktu luang yang seakan tiada habisnya bagi dia. Dia belajar seperti tidak akan pernah ujian, dan masuk kelas sesuka hati seolah dosen akan menunggu dia. Bagi dia waktu seolah berhenti dan umur dia tidak akan bertambah.
“Gimana Rob, kita ke Villa lu aja yah. Refreshing, suntuk nih.” Adit memasang wajah memelas semaksimal mungkin.
“Waduh. Ogah. Besok pagi manajemen keuangan, gue harus masuk deh. Gue gak mau ngulang lagi, kali ini harus lulus.”
“Lu kalo ngomong sama Adit jangan sebut- sebut soal lulus. Kata lulus itu gak ada di kamus dia. Dia kagak bakalan ngerti.” Irwan berkata sambil tertawa.
“Bukan gitu, lu kaga setress Wan, tiap hari kek gini doang? Duduk, ngopi, biliar, ngopi lagi, trus pulang.”
“Itumah elu doang. Kaga semuanya kek gitu.” Robby tertawa terbahak- bahak.
“Gue bingung. Bokap lu gak pernah nanyain yah Dit? Gila luh, sebulan masuk gak sampai seminggu. Sisanya nongkrong.”
Robby diam mendengar kata- kata Irwan yang sebenarnya bermaksud bercanda. Adit mendengus kesal. Wajah memelas yang dia pasang telah berganti dengan wajah ketus. Sangat jelas terlihat dia tidak nyaman dengan pertanyaan Irwan. Namun tidak semua temannya tahu mengenai ini.
“Bokap gue gak ada waktu buat keluarga, kalo untuk bisnis banyak waktunya.”
Nada sinis di dalam kata- kata Adit agak mengejutkan bagi Irwan. Tidak butuh menjadi sensitif untuk mengerti bahwa pembicaraan mengenai ayahnya harus di hentikan.
“Biliar aja yuk. Tengah malam pulang, besok masih bisa kuliah.” Irwan mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Iya, billiar aja yuk Dit. Tar malam pulang, begitu pulang kan langsung tidur, tidurkan gak mungkin berasa suntuk.”
“Aduuh. Suntuk gue.” Dengan agak kesal dia meminum kopi hitam di meja yang sudah dingin. Cangkir kopi yang berbunyi dengan keras ketika diletakkan kembali menggambarkan suasana hatinya. Wajahnya yang dingin membuat pembicaraan terhenti, dingin dan datar bagaikan panel kaca di depannya.
Irwan dan Robby bertukar pandang, agak bingung menghadapi Adit yang sedang kumat ego nya. Ini bukan pertama kali mereka dihadapkan kepada situasi seperti ini. Terkadang Adit seperti tidak mengerti, tidak semua orang lahir di keluarga dengan kekayaan yang dapat menjamin kehidupan tujuh turunan di bawahnya. Lulus atau tidak lulus tidak akan mengubah kehidupannya, gelar pendidikan menjadi kurang penting jika dari lahir sudah memiliki gelar anak orang kaya. Dan tidak semua orang memiliki kebebasan seperti dia.
Panel kaca mendadak bergetar oleh sentakan pintu cafe yang didorong dengan kasar, mereka semua sontak melihat ke arah pintu. Elena seperti biasa berlari masuk ke dalam cafe dengan terengah- engah.
“Nih anak gak pernah jalan santai yah?” Robby bergumam.