Ada perasaan sedih ketika Elena menebus obat untuk persediaan selama sebulan, melihat uang hasil keringatnya selama sebulan di pasar grosir hanya numpang lewat bagaikan tiupan angin. Namun juga ada sedikit rasa lega ketika obat persediaan selama sebulan telah aman di dalam tas selempangnya. Seperti lolos dari lubang jarum karena persedian obat di rumah telah habis. Keringat tipis di dahi Ibunya ketika melihat kotak obat yang kosong berucap lebih keras dibanding mulutnya yang dengan tabah tertutup rapat. Namun Elena tetap tenang, karena tanggal gajian di pasar grosir tak pernah bergeser.
Setiap kali dia berjalan melewati gerbang kampus selalu timbul banyak pertanyaan di dalam hatinya. Apakah dibalik gerbang itu ada taman indah yang seperti taman firdaus? Apakah gedungnya megah dengan panel kaca yang bersusun tingkat yang memantulkan sinar matahari bagaikan lampu LED? Setiap pagi berangkat kerja dia selalu melihat orang banyak yang masuk ke dalam gerbang, namun pada saat senja dan berjalan pulang tidak pernah terlihat ada orang yang berjalan keluar dari kampus. Kuliah itu bayarnya mahal, namun kenapa jam belajarnya demikian pendek?
Bahkan dari jauh sudah terlihat sebuah mobil putih parkir di depan cafe. Elena hanya tahu itu mobil sedan, tanpa mengerti merek mahal atau murah, asia atau eropa. Di mata dia semua mobil pasti mahal dan hanya terbagi dua, sedan atau bukan sedan. Bukan sedan berarti yang panjang seperti mikrolet yang tiap hari dia tumpangi menuju pasar grosir.
Namun mobil putih yang parkir di depan cafe itu mengandung arti lebih bagi Elena, hanya dengan melihatnya dapat membuat langkah kaki terasa lebih berat. Dari panjang bayangan hitam di sepanjang jalan kecil itu dia tahu masih ada waktu bagi dia untuk berjalan santai menuju cafe, membuka pintunya dengan perlahan dan menyelinap masuk tanpa ada yang menyadari kedatangannya.
Namun cafe itu terlalu kecil untuk menyelinap masuk tanpa ada yang menyadari, sebuah hentakan pintu yang halus dan bunyi langkah kaki yang berjinjit dapat terdengar dari ujung ke ujung. Lagi- lagi seluruh isi cafe memutar kepala melihatnya.
“Nah, tumben nggak grasak grusuk.” Kata Irwan sambil memperhatikan kumpulan kartu di tangannya.
“Masih belum jam lima soalnya. Belum telat dia.” Kata Robby sambil berusaha meluruskan kakinya yang telah lama tertekuk.
“Sok tahu.”
“Loh beneran kok. Itu lu tanya aja Sherly, mereka ganti shift jam lima. Tapi si Lena ini aja telat mulu. Bener gak Len?”
Elena diam seribu bahasa. Orang yang duduk di samping Robby merusak pemandangan dan suasana hati Elena. Dari ujung matanya Elena melihat si sombong yang juga sedang memegang kartu, Adit hanya sedetik memberikan sebuah lirikan dingin yang membuat Elena merasa bagaikan batu jalanan.
“Giliran lu Rob, bisa kalahin kartu dia nggak?” Kata Adit sambil mengangkat tangannya bersiap- siap membanting kartu di tangannya.
“Bisa dong.”
Sherly yang melihat semuanya tersenyum kepada Elena, kemudian dengan sebelah tangan dia melindungi mulutnya dari pandangan Tim hore, dan mulutnya bergerak. ‘Cuekin aja’.
Waktu bagaikan mengalir, senja semakin menua, malam semakin gelap dan cahaya lampu semakin terasa menyilaukan. Ketika tim hore berjalan pulang jam masih menunjukkan pukul tujuh malam, terasa sudah sangat larut karena setiap malam saat menjaga cafe waktu selalu terasa berjalan dengan lambat. Entah kenapa, Elena merasa bekerja selama delapan jam di pasar grosir selalu terasa lebih cepat daripada bekerja lima jam di cafe.
“Green tea latte satu. Take away.” Sebuah suara yang pelan bergumam menyadarkan Elena dari lamunannya di belakang mesin kasir. Adit berdiri di depan kasir, sorot matanya terlihat malas- malasan, seolah bicara karena terpaksa. Elena melihat bahwa Sherly sudah membawa lap dan berjalan menuju meja yang baru saja ditinggalkan oleh tim hore. Maka dia meninggalkan meja kasir dan mulai membuat pesanan Adit.
“Whoi Rob, lu mau minum lagi nggak?” Adit membuka pintu cafe dan berteriak memanggil Robby. Robby yang sudah menunggu di samping mobil Adit menolak dengan mengibaskan tangan.
Ketika Elena selesai dengan pesanan Adit dan mengurus pembayaran di kasir, ada sesuatu yang aneh ketika dia memberikan uang kembalian kepada Adit. Untuk sedetik Adit memberikan lirikan mata yang diikuti dengan seringai yang seperti sedang mengejek Elena. Hati Elena tercekat, sebuah seringai dari musuh tidak mungkin memiliki arti yang baik. Dengan seketika pikirannya seperti menerawang, mencoba mereka- reka apa yang menyebabkan Adit tersenyum mengejek seperti itu.
Secara naluriah dia langsung mencari barang miliknya yang paling berharga. Hatinya menjadi dingin, seluruh tubuh terasa membeku ketika dia melihat kait gantungan yang menempel di samping pintu ruangan staff. Itu adalah kait yang biasanya di pakai oleh para karyawan untuk menggantung barang- barang milik mereka. Tas selempang berisi obat untuk Ibunya tidak ada di gantungan itu.
Tercekat, masih dalam rasa terkejut yang terasa bagaikan menyihirnya menjadi batu, Elena beberapa kali mengejapkan mata. Ini mimpi kan? Aku sedang tidur di rumah dengan Ibu di sebelahku, hanya saja sedang bermimpi burukkan? Bukan, ini bukan mimpi, di depan matanya Sherly sekarang mengambil sapu dan gagangnya yang panjang mengeluarkan bunyi keras ketika beradu dengan sandaran kursi. Tas selempang coklat yang berisi obat itu benar- benar hilang.
“ADIIIITTTTT.” Elena tak pernah merasa setakut ini. Dia menjerit sekuat tenaga dan berlari ke arah pintu. Seluruh partisi cafe bergoyang seakan hendak rubuh ketika dia dengan keras membuka pintu, hanya untuk melihat mobil putih itu telah melaju dengan cepat meninggalkan cafe, menghilang di telan tikungan di ujung jalan.
“ADIIITTTT.” Dia kembali menjerit sekuat tenaga, yang hanya di balas oleh suara deru mobil dikejauhan. Cafe kembali tergetar hebat ketika pintunya sekali lagi dikuak lebar dengan keras, Sherly memburu keluar. Kaget dan tak mengerti apa yang sedang terjadi, namun apapun itu pastilah sebuah hal besar yang dapat membuat Elena menjerit seperti anak kambing yang hendak disembelih.
“Kenapa Len?” Sherly terkejut melihat wajah Elena yang pucat pasti dengan mata terbelalak, rasa takut yang mencekam di wajah Elena terlihat begitu jelas hingga membuat Sherly memutar kepala ke sekelilingnya. Apa yang membuat Elena demikian takut?
“S-Sher, A-adiit. Tas selempang gue, di-diambil sama Adit.” Kata Elena dengan suara gemetar sambil menggenggam lengan kanan Sherly dengan kedua tangannya, sekarang matanya yang terbelalak mulai basah oleh air mata. Butir- butir keringat mulai timbul di pelipisnya. Kuda yang ekornya dililit kain berapi terlihat lebih tenang dibanding Elena.
“Tenang, Len. Tenang. Dia mungkin hanya bercanda. Sejahat- jahatnya dia gak mungkin mau nyolong, teman- temannya tiap hari di sini. Kita bisa tanya ke teman- temannya.” Sherly menenangkan sambil berusaha membuka cengkeraman jari Elena di lengannya yang mulai terasa pedas saking kuatnya. Seperti cengkeraman koala ke batang pohon.